Gubernur di Masa Sulit
Sutiyoso08 | Belajar Tersenyum dan Cengengesan

Sebagai pemimpin sipil, awalnya Sutiyoso merasa berat sekali ketika harus menerima kritikan dari sana-sini. Sebab selama di ketentaraan, ia tidak biasa dikritik. Sekali atasan dikritik, itu alamat ditempeleng langsung, sebuah tradisi di ketentaraan.
Namun, Sutiyoso segera sadar bahwa ia sedang memimpin organisasi sipil.
Maka ia pun belajar untuk bisa tampil sungguh-sungguh sebagai orang sipil. Ia segera mengubah performance lamanya yang sudah terbentuk sebagai militer, seperti harus berjalan tegap dan bermuka garang. Ia juga belajar untuk terbiasa tersenyum, termasuk belajar agar bisa cengengesan segala. Untuk setiap kritik yang disampaikan warga, jika konstuktif akan didengar, introspeksi, dilakukan perbaikan dan sebagainya. Namun kepada kritik yang asal saja, ia lewatkan, masuk kuping kiri keluar kuping kanan.
Perilaku kepemimpinan yang dahulu struktur komando ikut disesuaikannya. Sebagai perwira militer Sutiyoso mengerti betul ada hal-hal yang baik dan positif dari tradisi kemiliteran, yang bisa diadopsi dan diterapkan di lingkungan sipil. Proses penyesuaian tentu tetap ada.
Tentang disiplin pegawai dan etos kerja, misalnya. Sebagai pelayan masyarakat, Sutiyoso berprinsip etos kerja pegawainya adalah melayani warga 24 jam sehari. Termasuk istrinya, Setyorini, diajaknya bekerja 24 jam sehari memberikan pelayanan yang terbaik tanpa mengenal kamus setengah-setengah. Apalagi kepada staf dan pegawai, mereka itu malam-malam seringkali harus dibangunkan Sutiyoso agar jangan sempat tertidur melayani warga.
Jika Sutiyoso melihat atau mengingat sesuatu yang perlu diminta penjelasan dari anak buah, tanpa mengenal waktu, tengah malam sekalipun, dia akan menelepon. Dia tidak mau menunda-nunda. Sebab bila ditunda bisa tidak ingat lagi besoknya. Baginya tidak ada istilah kerja setengah-setengah. Melainkan harus total untuk melayani warga Ibukota. ch robin s – sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)