Inspirasi Pemimpin Bijak

Joko Widodo
 
0
1866
Joko Widodo
Joko Widodo | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Di tengah kegalauan hati rakyat melihat kondisi kepemimpinan di negeri ini sehingga digambarkan bagai negeri auto pilot, negeri persepsi dan tebar pesona, publik mencari-cari figur yang pantas didaulat sebagai pemimpin (walikota/bupati, gubernur dan presiden). Salah satu figur yang mendapat sorotan mata publik adalah Joko Widodo (Jokowi) Walikota Solo (2005-2015) yang kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2017).

Kepemimpinan Jokowi telah menjadi oase di tengah kegersangan dan kegalauan hati publik atas kondisi negeri yang punya presiden tapi rasanya tanpa pemimpin. Presiden yang mengaplikasikan politik sebagai persepsi, bukan sebagai wahana idealisme pengabdian kepada negeri. Setidaknya, Jokowi telah menginspirasi publik tentang seorang pemimpin yang bijak dan tulus mengayomi rakyat, melayani dan memimpin dengan hati.

Jokowi, memang bukan pemimpin yang pandai memaparkan visi-misi dengan bahasa saintifik, abstrak dan puitis penuh retorika. Sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Solo, dia hanya berpegang pada tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945:

“… membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Amanat Pembukaan UUD 1945 itulah visi dan misinya, baik dalam kapasitas sebagai Gubernur DKI atau Walikota Solo, maupun dalam strata kepemimpinan publik manapun, mulai dari lurah, camat, walikota/bupati, gubernur hingga presiden.

Bagi Jokowi, sumpah seorang pemimpin adalah mencakup kesanggupannya untuk “memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Dia memilih taat kepada konstitusi, bukan kepada konstituen.

Kata (amanat) melindungi dalam kalimat Pembukaan UUD 1945 itu sangat kuat melekat dalam hati dan pikirannya. Maka tatkala belum lama menjabat sebagai Walikota Solo (2005), Jokowi amat gundah dan tersentak saat Kepala Satpol PP mengajukan permintaan dana untuk membeli 600 pentungan dan 600 tameng sebagai kelengkapan pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Sejenak dia menatap sang Kepala Satpol PP yang bertubuh besar dan sangar itu. Kepala Satpol PP itu pun menjelaskan perlunya pentungan dan tameng itu untuk menertibkan warga kota Solo, di antaranya pedagang kali lima yang merupakan salah satu sumber kesemrawutan di kota Solo.

Saat itu, Jokowi memang sudah membentuk tim kecil untuk menyurvei keinginan warga kota Solo sebagai panduan kebijakannya. Salah satu hasil survei itu, mayoritas warga menginginkan agar pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota ditertibkan dan dipindahkan.

Jokowi menarik nafas dalam-dalam. Kendati tatapan matanya mengarah tajam kepada Kepala Satpol PP itu, tetapi dalam hati dan pikirannya, dia menatap rakyatnya, terutama para pedagang kaki lima yang berjuang mempertahankan hidup tetapi sekaligus menimbulkan kesemrawutan. “Dagang di kaki lima itu hidup mereka, keluarga dan anak-anaknya,” ujar Jokowi mengulang suara hatinya dalam percakapan dengan TokohIndonesia.com.

Advertisement

“Untuk apa ratusan pentungan dan tameng itu. Kita (pemerintah) ini mau menggebuki atau mengayomi rakyat?” Jokowi bertanya, sekaligus menjelaskan dan meyakinkan Kepala Satpol PP itu bahwa pentungan dan tameng tersebut tidak perlu. Dia menegaskan bahwa pemerintah tidak pantas melakukan kekerasan apalagi kepada rakyatnya sendiri. Jokowi pun memerintahkan supaya seluruh tameng dan pentungan dikumpulkan dan dikunci dalam gudang. Selanjutnya, Jokowi juga mengganti Kepala Satpol PP dengan seorang wanita, bukan lagi pria berbadan besar dan berwajah sangar.

Sungguh fenomenal, Jokowi mengubah performa Satpol PP Solo menjadi bekerja dengan hati nurani tanpa kekerasan. Komunikasi adalah kunci terbaik, daripada dengan kekerasan. Jokowi berketetapan memimpin dengan hati dalam proses penataan Kota Solo yang diaplikasikan pula oleh Satpol PP Solo bekerja dengan hati nurani tanpa kekerasan. Dengan demikian, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 26 Tahun 2010 tentang penggunaan senjata api bagi satuan polisi pamong praja, tidak berlaku di Solo. Pemerintah Kota Solo cukup memberikan peluit kepada Satpol PP untuk melaksanakan tugasnya.

Pada awalnya banyak pihak yang menanggapi sinis kebijakan Jokowi itu. Di benak mereka yang sinis itu: “Bagaimana bisa menertibkan para pedagang kaki lima tanpa kekerasan?” Tapi Jokowi yakin penataan Kota Solo dapat dilakukan tanpa kekerasan, asalkan dilandasi ketulusan hati dan kebijakan yang berorientasi melindungi dan mencerdaskan rakyat. Memang, bagi umumnya pejabat, menertibkan kesemrawutan kota tanpa kekerasan suatu hal yang tidak mungkin. Tapi bagi Jokowi, justru itulah cara terbaik dan paling mungkin karena paling manusiawi. Memang, cara itu tidak mungkin dilakukan secara instan, tetapi harus dengan tulus, sabar dan ulet.

Sebelumnya, tiga wali kota Solo yang telah berusaha memindahkan para PKL itu sudah angkat tangan. Sebab para PKL mengancam akan membakar kantor wali kota kalau digusur. Ancaman membakar kantor walikota itu tidak bisa dianggap sebagai gertakan saja, sebab kantor walikota Solo sudah dua kali dibakar massa, yakni 1998 dan 1999.

Jokowi tentu tak ingin hal itu terulang kembali. Maka dia pun terjun secara langsung. Dia berketetapan mengawali pemindahan pedagang kaki lima dari kawasan Banjarsari, sebuah kawasan paling elite di Solo. Di tempat itu ada 989 PKL yang bergabung dalam 11 paguyuban. Lalu, dia mulai dengan membangun komunikasi langsung dengan para pedagang kaki lima itu. Jokowi sudah punya ide untuk meluluhkan hati para pedagang kaki lima itu. Sebagai eksportir mebel, Jokowi telah merasakan keampuhan lobi makan siang. Maka Jokowi pun memantapkan rencana pemindahan PKL dengan diawali lobi makan siang bersama di Loji Gandrung, rumah dinas walikota Solo.

Pertama kali para koordinator paguyuban tersebut dijamu makan siang di Loji Gandrung. Tampaknya, para PKL itu sudah menduga hendak dipindahkan, maka mereka datang memenuhi undangan makan siang dengan membawa aktivis lembaga swadaya masyarakat. Jokowi juga menyadari hal itu. Dia pun bicara hal-hal yang bersifat umum tentang pembangunan kota Solo, tanpa menyinggung sedikit pun pemindahan PKL. Setelah itu, mereka dipersilahkan pulang. “Tidak ada acara lain, Pak?” tanya para PKL itu sebelum pulang. “Enggak. Cuma makan siang,” jawab Jokowi.

Beberapa hari kemudian, para PKL itu kembali diundang. Lagi-lagi cuma makan siang. Begitu berlangsung sebanyak 53 kali selama tujuh bulan, dia sabar dan ulet, belum mengungkapkan rencana pemindahan PKL itu. Lalu pada jamuan ke-54, semua pedagang kaki lima di Banjarsari diundang. Jokowi pun mengutarakan rencananya untuk memindahkan mereka ke Pasar Klitikan. Terjadi dialog yang akrab, tanpa ada bantahan berarti.

Para pedagang mengutarakan kekuatiran, di tempat yang baru, mereka akan kehilangan pembeli. Jokowi berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Dia juga memperlebar jalan dan membuat satu trayek angkutan kota ke Pasar Klitikan. Semua janji itu dia penuhi.

Selain itu, para pedagang minta kios diberikan gratis. Permintaan ini tidak bisa dijawab langsung oleh Jokowi. Dia harus minta persetujuan DPRD dulu. Setelah sempat ada tarik-ulur, akhirnya dia berhasil meyakinkan Dewan sehingga setuju. Para pedagang tak harus mengeluarkan uang untuk menempati kios barunya. Mereka hanya diwajibkan membayar retribusi Rp 2.600 per hari. Dengan cara ini, selain para PKL sudah dapat langsung menempati kios baru tanpa membayar lebih dulu, juga Jokowi yakin dalam delapan setengah tahun modal pemerintah Rp 9,8 miliar membangun Pasar Klitikan itu sudah bisa kembali. Para PKL itu pun sepaham.

Relokasi pedagang kaki lima dari Banjarsari ke Pasar Klitikan pun dilakukan dengan mengadakan pawai yang meriah. Dengan dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap, para pedagang berpawai mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng sebagai simbol kemakmuran. Mereka pindah dengan senyum dan rasa bangga, tidak dikejar-kejar Satpol PP sebagaimana lazimnya di kota lain. Pawai meriah itu sekaligus sebagai promosi sehingga lokasi baru tersebut diserbu masyarakat pembeli.

Jokowi tidak sepaham dengan anggapan bahwa para PKL itu menuruti keinginannya karena sudah termakan budi diajak makan. Itu pandangan yang sempit dan salah. Menurut Jokowi, yang benar adalah karena mereka diwongke, dihargai dan dimanusiakan. Makan siang bersama itu hanya bagian dari rangkaian proses komunikasi manusiawi, dimana mereka dihargai. Dari pengalaman itu, Jokowi berpandangan membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. Kuncinya, pimpin dengan hati. Layani mereka sebagai sesama, bukan orang asing apalagi sampah.

Setelah berhasil memindahkan PKL dari Banjarsari, dilanjutkan dengan memindahkan PKL dari wilayah lainnya, ada 23 lokasi. Termasuk yang berada di jalan depan Stadion Manahan, mereka disediakan shelter dan gerobak. Begitu pula para penjual makanan di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Tempat ini menjadi lokasi kuliner paling ramai yang buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo.

Jokowi juga membenahi pasar-pasar tradisional, dalam lima tahun mencakup 15 pasar. Juga menata bantaran kali, relokasi 1.581 kepala keluarga. Dalam hal tata ruang, dia ingin menjadikan Solo sebagai ecocultural city. Dia canangkan, dari 2010 sampai 2015 akan ada kota dalam kebun. Kemudian, sampai 2025 akan ada kota dalam hutan. Program ini secara riil telah diawali dengan mengganti pagar-pagar dengan tanaman. Kini warga Solo telah menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari telah kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman.

Demikian sekelumit kepemimpinan Jokowi. Walikota yang memimpin dengan hati, arif dan bijaksana. Kepemimpinan peraih Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama dari Presiden Republik Indonesia, 12 Agustus 2011, itu telah menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin bijak, untuk membawa negeri ini mencapai cita-cita masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Dari Majalah Tokoh Indonesia | Maret 2012

Baca juga dalam versi Majalah Tokoh Indonesia Edisi Khusus 06: Jokowi, Inspirasi Pemimpin Bijak, http://www.tokohindonesia.com/pustaka/mtik-06-jokowi-basuki/index.html#/34/

Data Singkat
Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia / Inspirasi Pemimpin Bijak | Ensiklopedi | Pemimpin, Pelayan, Bijak, Tulus

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini