Soemantri Praptokoesoemo
Soemantri Praptokoesoemo (dokpri/Tokoh.ID)

Prof. Soemantri Praptokoesoemo, S.H. (1912–1992) adalah seorang tokoh multitalenta yang memadukan semangat nasionalisme dengan visi kesejahteraan sosial. Sebagai akademisi dan teknokrat, ia mendirikan Fakultas Kesejahteraan Sosial pertama di Indonesia dan menciptakan lambang Adicita Pekerjaan Sosial, yang menjadi simbol kebanggaan pekerja sosial. Dedikasinya terhadap bangsa dan negara tercermin dalam berbagai inisiatif sosial dan pendidikan yang ia rintis, yang berdampak signifikan pada pembangunan sosial Indonesia, khususnya di masa-masa awal kemerdekaan.

Soemantri Praptokoesoemo lahir di Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah, pada 12 Juni 1912. Saat masih kecil, ia dan kedua adiknya mengalami kesedihan mendalam karena Sang Ayah dipanggil Tuhan begitu cepat. Setelah kejadian itu, Soemantri Praptokoesoemo, ibu, dan adik-adiknya pindah ke Madiun untuk tinggal bersama pamannya, seorang Bupati Wonosobo. Di Madiun, Soemantri Praptokoesoemo memulai pendidikan dasarnya di Inlandsche School, sebuah sekolah untuk pribumi, sebelum kemudian pindah ke Blora mengikuti pamannya yang diangkat sebagai Adjunct Djaksa.

Di Blora, Soemantri Praptokoesoemo melanjutkan pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah yang ditujukan untuk anak-anak elite pribumi dan lulus pada tahun 1926. Sebelum masuk HIS, Soemantri Praptokoesoemo menyaksikan kejadian yang sangat membekas di ingatannya. Pamannya harus menyembah dan berjalan jongkok (mlaku ndhodhok) di hadapan residen Belanda untuk memastikan agar Soemantri Praptokoesoemo bisa diterima di sekolah tersebut. Pengalaman ini membuat Soemantri Praptokoesoemo merasakan betapa tidak adilnya sistem pamong praja kolonial yang sangat diskriminatif terhadap pribumi.

Akibat pengalaman ini, Soemantri Praptokoesoemo menolak mengikuti jejak keluarganya menjadi pegawai pamong praja. Ia memilih jalur pendidikan yang lebih independen dan bebas dari intervensi kolonial. Soemantri Praptokoesoemo menolak tawaran untuk masuk ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah yang dirancang untuk melatih pegawai negeri pribumi, dan memilih melanjutkan studinya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya (1926-1930), dengan cita-cita menjadi hakim, sebuah profesi yang ia anggap lebih merdeka karena tidak berada di bawah pengaruh residen Belanda.

Awal Karir Aktivisme dan Pergerakan Nasional

Di MULO, Soemantri Praptokoesoemo mulai tertarik dengan pergerakan nasional yang pada saat itu semakin kuat. Ia sering mendengar pidato tokoh-tokoh pergerakan yang menyoroti ketidakadilan sosial dan diskriminasi rasial yang dialami oleh pribumi. Salah satu bentuk diskriminasi yang ia rasakan adalah ketika siswa-siswa dari HIS, seperti dirinya, harus mengulang kurikulum dari Europeesche Lagere School (ELS) setelah masuk MULO. Hal ini membangkitkan semangat Soemantri Praptokoesoemo untuk aktif di organisasi siswa.

Ia turut mendirikan Indonesische MULO Vereeniging (IMV), sebuah organisasi siswa nasionalis yang bertujuan memperjuangkan hak-hak siswa pribumi. Di IMV, Soemantri Praptokoesoemo menjabat sebagai Wakil Ketua. Selain itu, ia juga aktif di organisasi Jong Java, salah satu organisasi pemuda yang memiliki pengaruh besar dalam pergerakan nasional. Pengalaman berorganisasi di masa mudanya ini mengasah keterampilan kepemimpinannya yang kelak berguna dalam karier sosialnya.

Setelah lulus dari MULO, Soemantri Praptokoesoemo melanjutkan pendidikannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung. Di AMS, ia mengembangkan minatnya pada bahasa asing, terutama bahasa Prancis yang pada saat itu merupakan bahasa internasional diplomasi.

Selama di AMS, Soemantri Praptokoesoemo mengikuti kursus-kursus yang diberikan oleh mahasiswa Rechtshoogeschool te Batavia, termasuk kursus yang disampaikan oleh Mohammad Yamin, tokoh penting dalam pergerakan nasional. Soemantri Praptokoesoemo juga bergabung dengan organisasi Indonesia Moeda di Bandung, sebuah organisasi pergerakan pemuda yang berorientasi pada kemerdekaan nasional.

Pendidikan Tinggi di Rechtshoogeschool dan Skripsi Sosial Ekonomi

Setelah menamatkan pendidikan di AMS, Soemantri Praptokoesoemo bercita-cita melanjutkan studinya ke Eropa, terutama Prancis atau Belanda, untuk mendalami ilmu hukum dan sosiologi. Namun, impiannya untuk belajar di luar negeri kandas karena ia tidak berhasil memperoleh beasiswa. Sebagai gantinya, ia memilih melanjutkan studinya di Rechtshoogeschool te Batavia, sekolah tinggi hukum yang terletak di Batavia (sekarang Jakarta). Di sana, ia mengambil jurusan Sociologisch Economisch, sebuah pilihan yang mencerminkan ketertarikannya pada studi sosial-ekonomi dan masalah kesejahteraan masyarakat. Selama masa kuliah, ia tetap aktif di berbagai organisasi, termasuk Unitas Studiosorum Indonesiesis (USI), Jong Java dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI).

Soemantri Praptokoesoemo lulus dari Rechtshoogeschool pada tahun 1942 dengan skripsi yang berjudul “De Sociaal Economische Toestand Van De Desa Plered (Purwakarta) – Met Nadruk op de Keramische Industrie”, yang membahas kondisi sosial ekonomi Desa Plered dengan fokus pada industri keramik. Skripsi ini menggambarkan kepeduliannya terhadap masyarakat pedesaan dan pengembangan industri lokal sebagai bagian dari kesejahteraan sosial.

Advertisement

Karier di Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, Soemantri Praptokoesoemo bekerja di Gunseikanbu Naimubu Rumokyoku Koseika (Bagian Sosial Kantor Perburuhan, Departemen Dalam Negeri) di Jakarta. Di posisi ini, ia terlibat dalam berbagai program sosial yang dicanangkan pemerintah pendudukan Jepang, termasuk program Nugyo Imin (transmigrasi petani) ke Lampung dan menangani masalah romusha, buruh paksa yang bekerja di bawah tekanan tentara Jepang. Ia juga menangani program bantuan bagi fakir miskin dan mereka yang kehilangan pekerjaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kantor Perburuhan Jepang berubah menjadi Kementerian Sosial Indonesia, di bawah pimpinan Menteri Sosial pertama, Iwa Koesoemasoemantri. Di masa-masa awal kemerdekaan ini, Soemantri Praptokoesoemo menunjukkan keberaniannya dalam peristiwa pengibaran bendera merah putih di Kementerian Dalam Negeri. Ketika tentara Jepang mencoba menurunkan bendera tersebut, Soemantri Praptokoesoemo tetap gigih mengibarkannya kembali, meskipun diancam oleh Kempeitai, polisi militer Jepang.

Perjuangan di Masa Agresi Militer Belanda dan Peran di Kementerian Sosial

Saat Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, Kementerian Sosial dipindahkan ke Yogyakarta, dan Soemantri Praptokoesoemo tetap aktif dalam melaksanakan tugas-tugas sosialnya. Di masa revolusi fisik ini, ia membantu para pejuang gerilya di Yogyakarta dengan mengorganisasi anak-anak jalanan untuk menjadi kurir penghubung yang berani. Ketika Agresi Militer Belanda II pecah pada tahun 1948, kantor Kementerian Sosial di Yogyakarta dihancurkan oleh tentara Belanda. Soemantri Praptokoesoemo harus membangun kembali organisasi sosial dari awal, sebuah tugas yang menantang tetapi berhasil ia laksanakan dengan dedikasi tinggi.

Lambang Adicita, LSD, dan DNIKS

Setelah kemerdekaan, Soemantri Praptokoesoemo berperan besar dalam menyusun struktur organisasi Departemen Sosial Republik Indonesia. Ia mengembangkan berbagai metode bimbingan sosial yang dirancang untuk membantu masyarakat marjinal, termasuk anak-anak jalanan, fakir miskin, dan korban perang. Pada 20 Desember 1949, Soemantri Praptokoesoemo menciptakan lambang Adicita Pekerjaan Sosial, yang menjadi simbol Kementerian Sosial Indonesia dan juga dijadikan simbol kebanggaan bagi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).

Pada tahun 1952, saat menjabat sebagai Sekjen Departemen Sosial, Soemantri Praptokoesoemo mendirikan Lembaga Sosial Desa (LSD), sebuah organisasi yang bertujuan memajukan pembangunan masyarakat pedesaan melalui program kesejahteraan sosial. Musyawarah Pendewasaan L.S.D, Jawa Tengah, kemudian menganugerahkan Soemantri Praptokoesoemo gelar ‘Bapak L.S.D”. Gelar ini juga diberikan kepada Gubernur Jawa Tengah Mochtar dan Soewarso (Pemimpin Jajaran Tunanetra Distarastra Pemalang).

Soemantri Praptokoesoemo juga memelopori pembentukan organisasi non-pemerintah Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial, yang kemudian menjadi Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS).

Soemantri Praptokoesoemo pernah memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Kerja Sosial Internasional Ke-6 di Madras, India. Pada tahun 1957-1958, ia juga belajar kesejahteraan sosial di Inggris melalui Course of Instruction in Social Welfare.

Soemantri Praptokoesoemo juga pernah mewakili Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional, seperti Konferensi Internasional Pekerja Sosial ke-13 di Washington (1966) dan pertemuan PBB di Jenewa (1967).

Peran dalam Pendidikan dan Lembaga Sosial

Pada tahun 1961, Soemantri Praptokoesoemo mendirikan Fakultas Kesejahteraan Sosial di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), fakultas yang kelak menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), fakultas tertua di lingkungan Universitas Muhammadiyah. Soemantri Praptokoesoemo menjabat sebagai Dekan hingga tahun 1985 dan berperan besar dalam melahirkan tenaga profesional di bidang kesejahteraan sosial.

Ia juga merintis berdirinya beberapa lembaga sosial lainnya, seperti Panti Rehabilitasi Penderita Cacat Netra “Wisma Tan Miyat” pada tahun 1959 dan Karang Taruna pada tahun 1960. Program Karang Taruna bertujuan untuk menampung kegiatan sosial remaja, agar mereka bisa berkontribusi dalam pembangunan sosial masyarakat.

Selain itu, pada tahun 1964, Soemantri Praptokoesoemo mendirikan Sekolah Pekerja Sosial Tingkat Atas (SPSA) di beberapa kota seperti Bandung, Yogyakarta, dan Malang, serta Akademi Pendidikan Pekerja Sosial. Lembaga-lembaga ini menjadi pionir dalam pelatihan pekerja sosial profesional di Indonesia. Ia juga mengajar di berbagai universitas, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM), PTIK (Guru Besar), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan IKIP/UPI Bandung – di mana ia diangkat sebagai Guru Besar Luar Biasa pada tahun 1978.

Penghargaan dan Akhir Hayat

Soemantri Praptokoesoemo pensiun dari Kementerian Sosial pada tahun 1969, namun terus aktif mengajar dan berkontribusi dalam dunia pendidikan hingga akhir hayatnya. Ia wafat pada 13 Maret 1992 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Yayasan Wredatama “Giri Tama” Tonjong, Bogor, Jawa Barat.

Atas jasa-jasanya yang luar biasa, Soemantri Praptokoesoemo dianugerahi sejumlah tanda kehormatan, termasuk Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Satyalancana Kebaktian Sosial, serta Satyalancana Dwidya Sistha. Ia juga dianugerahi penghargaan sebagai pencipta lambang pembangunan kesejahteraan sosial Adicita Pekerjaan Sosial pada tanggal 20 Desember 1949. Pada tahun 2002, dalam Konferensi Nasional Pekerja Sosial Profesional Indonesia di Bandung, Soemantri Praptokoesoemo menerima penghargaan “Perintis Pendidikan Pekerjaan/Kesejahteraan Sosial Indonesia”.

Sepanjang hidupnya, Soemantri Praptokoesoemo dikenal sebagai penulis yang produktif, membuat berbagai buku dan artikel tentang pekerjaan sosial di Indonesia. Karyanya menjadi warisan penting bagi perkembangan kesejahteraan sosial dan pendidikan di Indonesia. (atur/TokohIndonesia.com, diolah dari berbagai sumber termasuk soemantripraptokoesoemo.com)

Unduh Lampiran Dokumen

File Pidato Prof. Soemantri Praptokoesoemo, SH pada acara Dies Natalis Ke XXII, P.T.I.K di Jakarta Tahun 1968

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini