Pelaku Prinsip Kemajemukan
Theo L Sambuaga
[ENSIKLOPEDI] Mantan Menteri Tenaga Kerja, kelahiran Manado, 6 Juni 1949, ini pantas dijuluki sebagai seorang pelaku (teladan) prinsip kemajemukan. Ia teguh dalam prinsip bahwa kemajemukan adalah kekuatan dan kebersamaan adalah keniscayaan. Prinsip inilah yang dilakoni dalam jejak langkah perjalanan hidupnya, baik dalam kehidupan keluarga, terutama dalam karir politiknya. Termasuk, ketika mantan aktivis mahasiswa (GMNI) ini memilih Golkar sebagai wadah aktivitas politiknya dan saat berketetapan mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar 2004.
Jejak rekam politisi kalem ini kami sajikan dalam enam rangkaian. Juga kami lengkapi dengan transkrip wawancara wartawan TokohIndonesia.Com di rumah kediamannya, Jalan Tjut Njak Dien, Jakarta, Jumat 10 Oktober 2003, pada bagian lain.
01 | Kemajemukan Adalah Kekuatan Bangsa
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar ini berkeyakinan kemajemukan adalah kekuatan bangsa, bukan kelemahan. Sebab itu, kemajemukan harus dihimpun dan dikembangkan secara sinergis menjadi kekuatan bangsa. Kemajemukan telah terangkai menjadi mozaik Indonesia dan keindonesiaan yang sangat indah sebagaimana tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Mantan Menteri Negara Perumahan dan Pemukiman ini memang dibesarkan dalam budaya kemajemukan. Ia lahir dari keluarga etnis Minahasa, yang beragama Kristen tetapi sejak kecil ia selalu memilih organisasi yang menampung kemajemukan, seperti Pramuka, GSNI, GMNI, KNPI, AMPI dan Golkar. Ia selalu ingin bergaul dengan orang yang berbeda latar belakang dengannya. Sehingga ketika sudah dewasa, ia sungguh menikmati kemajemukan atau pluralisme sebagai kekuatan dan anugerah dari Tuhan.
Menurut alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), ini dalam percakapan dengan Wartawan TokohIndonesia.Com di rumah kediamannya, Jalan Tjut Njak Dien, Jakarta, Jumat 10 Oktober 2003, kemajemukan harus dihargai dan dimanfaatkan menjadi suatu potensi dan kekuatan untuk membangun bangsa ini. Kepentingan bangsa harus ditempatkan di atas kepentingan golongan atau kelompok, agama, suku, etnik, ras, asal-usul dan budaya. Dalam hal ini harus terbina kebersamaan yang memadukan hal-hal yang baik dari semua unsur-unsur kemajemukan itu menjadi suatu kekuatan.
Kemajemukan ini termasuk perbedaan, mendorong untuk menjadi lebih kreatif. Seseorang bukan dilihat dari suku atau agamanya, tetapi dilihat dari kemampuan, komitmen dan idealisme membangun bangsa. Kita harus belajar hidup bersama dalam perbedaan bukan mematikan perbedaan.
Prinsip kemajemukan ini pula salah satu alasan utama ia memilih Golkar sebagai wadah aktivitas politiknya. Termasuk hal yang mendorongnya berketetapan untuk mengikuti proses pencalonan presiden melalui Konvensi Partai Golkar. (Pada awal proses mengikuti Konvensi Partai Golkar, Theo didukung resmi sebagai Capres antara lain oleh DPD Partai Golkar Sulawesi Utara, DPD Partai Golkar Sulawesi Tengah, dan DPD Partai Golkar Gorontalo, serta oleh Ikatan Keluarga Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (IKA-GMNI) yang merupakan unsur kemasyarakatan).
Ia merasa ada sesuatu yang ingin disumbangkan pada negara ini dalam posisi mencalonkan diri sebagai calon presiden dari partai Golkar. Pertama, untuk ikut memberikan pilihan kepada rakyat, termasuk dirinya untuk dipilih oleh rakyat. Kedua, ia merasa harus membangun kepercayaan baik bagi diri sendiri dan bagi rakyat bahwa siapapun kita, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Jangan khawatir, takut, minder, jangan merasa mempunyai perasaan minority complex.
“Jadi saya ingin membangun suatu pemikiran bahwa jangan karena agama kita agama Kristen atau kita orang Manado, terus kita merasa bahwa ini bukan milik kita untuk menjadi presiden. Harus kita hilangkan pemikiran begitu. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, mempunyai kesempatan yang sama. Mari kita buktikan, biarlah rakyat yang memilih sehingga kalau dipilih itu bukan karena agama atau suku kita,” katanya.
Ia yakin rakyat sudah luas wawasannya, kuat komitmen perjuangannya, juga daya kreatifitasnya sehingga kalau dia memilih, dia akan memilih orang yang terbaik , yang mempunyai kemampuan memimpin, mempunyai kemampuan menawarkan pemikiran-pemikiran atau program.
“Mungkin saya tidak akan jadi presiden, jadi calon pun tidak, tapi setidaknya saya ingin membangun atau menunjukkan suatu perasaan atau keyakinan di tengah-tengah masyarakat bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kita pantas untuk dipilih oleh rakyat dan kita pantas untuk menawarkan diri,” ujar alumni KSA IV Lemhanas 1994 ini.
Ia yakin kalaupun rakyat atau jajaran partai Golkar tidak memilihnya, itu bukan karena mereka tidak suka, atau bukan karena mereka melihat bahwa dia beragama Kristen, orang Minahasa, minoritas. “Saya yakin mereka tidak pilih saya karena ada yang lebih baik dari saya dari sekian opsi yang ada. Saya hormati itu. Inilah yang Golkar bangun, kesadaran dan konfidens ini di tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan suatu proses sosialisasi prinsip-prinsip kemajemukan tadi,” ujarnya.
Ia memang tidak menempatkan prinsip kemajemukan itu hanya sekadar prinsip di menara gading. Tetapi ia mengejawantahkannya dalam setiap aktivitasnya. Sejak kecil ia sudah ditempa dalam kemajemukan itu.
Pria kelahiran 6 Juni 1949 ini menikmati masa kanak-kanak dan remajanya, mulai dari SD sampai SMA, di Manado tanah kelahirannya. Theo dibesarkan dalam keluarga yang sederhana dan menghargai kemajemukan. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil. Sedangkan ibunya, seorang ibu rumah tangga, yang telaten menjaga dan mendidik delapan anak-anaknya.
Masa kanak-kanaknya sempat diwarnai dengan pergolakan karena perang. Dalam usia yang masih belia, kelas 2 SD, ia turut menyaksikan pertempuran Permesta yang berlangsung cukup lama antara tahun 1958-1960. Waktu itu, ia menyaksikan sendiri bagaimana para tentara dari kedua belah pihak tewas berguguran. Ia bersama orang tuanya dan semua penduduk terpaksa mengungsi ke hutan. Peristiwa ini meninggalkan bekas di hati Theo hingga dewasa bahwa kekerasan bukanlah jalan keluar dan jangan ditiru.
Semenjak SMP, Theo sudah aktif mengikuti kegiatan organisasi Pramuka tahun 1960-1961. Kegiatan Pramuka yang diikutinya hingga SMA ini, membawanya mengenal dunia organisasi dan mewarnai karakter dan jiwa kebangsaannya. Masuk bangku SMA, ia menjadi Ketua Umum Ikatan Siswa SMAN I Manado (semacam OSIS sekarang), dan aktif memimpin Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) di Sulawesi Utara (1967).
Tamat SMA di Manado, Theo melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia tahun 1978. Selama kuliah di Jakarta ia juga terus aktif berorganisasi tanpa pernah melupakan pesan orang tuanya untuk tidak mudah menyerah, berani menghadapi tantangan dengan berusaha keras, bekerja keras dan belajar keras. Pesan ini pula yang selalu dipegangnya selama hidup ‘menumpang’ di rumah pamannya di Jakarta saat kuliah hingga tamat dari FISIP UI.
Kegemaran berorganisasi semakin menyatu dalam hidupnya saat ia kuliah di Jakarta, jauh dari orang tua. Ia terus berkarya hingga mencapai posisi puncak dalam berbagai kegiatan organisasi dengan menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Mahasiswa (DM) Universitas Indonesia (1973-1974), Pimpinan Pusat GMNI (1970-1976). Di dunia kepemudaan, ia menjabat Wakil Sekretaris Jenderal dan kemudian Sekretaris Jenderal DPP KNPI (1981-1984), Ketua DPP Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) (1984-1989), dan anggota Dewan Penasihat Asian Youth Council-AYC (1987-1992).* Majalah Tokoh Indonesia Edisi 05/Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
02 | Ditahan Tanpa Diadili
Semasa mahasiswa, Theo turut bergabung dengan mahasiswa yang anti TMII. Sewaktu menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Theo bersama Ketua Umum, Hariman Siregar ditahan karena Peristiwa Malari, 15 Januari.
Pada waktu itu demonstrasi yang menolak modal asing masuk ke Indonesia, khususnya modal Jepang marak. Puncaknya, ketika mahasiwa turun ke jalan secara besar-besaran berdemonstrasi menolak kedatangan PM Jepang Tanaka. Namun, aksi ini diboncengi dan disalahgunakan oleh pihak tertentu sehingga timbul pencurian, pembakaran dan penjarahan yang dimulai dari Juanda hingga merambat ke Kota dan Senen.
Akibat peristiwa ini, para pimpinan mahasiswa dan beberapa tokoh masyarakat ditahan karena dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan yang dituduh dipicu oleh demonstrasi mahasiswa. Theo sempat ditahan selama 22 bulan tanpa diadili. Orang yang diadili waktu itu hanya beberapa orang yakni Hariman Siregar, Aini Halid dari Jogja dan Syahrir.
Ia bersama kurang lebih 14 pimpinan mahasiswa, termasuk Ray Leimena dari DM UKI dan beberapa senior seperti Dorojatun Kuncoro-jakti, Marsilam Simanjuntak, Adnan Buyung Nasution dan Tiap Kian Hin pengacara kondang waktu itu juga ditahan. Selama 22 bulan, hampir dua tahun, di usia sekitar 25 tahun, Theo mendekam dalam tahanan hingga akhirnya dibebaskan tanpa diadili.
Para aktivis mahasiswa yang pernah ditahan ketika itu, dalam perjalanan hidup berkutnya, umumnya berhasil menduduki jabatan-jabatan penting. Dorojatun Kuntjoro-jakti menjadi Menko Perekonomian, Marsilam pernah menjadi Mensekneg. Namun, bila ditelusuri lebih seksama, dari para aktivis peristiwa Malari waktu itu, Theo masih terbilang paling muda. Meskipun begitu, Theo menjadi orang pertama dari antara mereka yang menjadi menteri. Menteri Tenaga Kerja pada Kabinet Pembangunan VII (1998), dan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999).
Selama ditahan, Theo bertemu dengan berbagai macam orang, mulai dari tahanan politik, jenderal, budayawan, tokoh agama hingga kriminal, Di tahanan itu ia belajar bahwa segala sesuatu yang diperbuat harus dipertanggungjawabkan, meskipun ditahan hanya karena dugaan atau fitnah.
Dalam tahanan, Theo semakin menghargai nilai kebebasan, karena di dalam tahanan ia merasa kehilangan banyak kesempatan untuk berbuat banyak hal dalam hidup ini, baik bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Selama dalam tahanan, Theo mengisi waktu dengan belajar dan banyak membaca buku, baik buku pelajaran maupun buku-buku umum. Ia juga memperdalam kemampuan bahasa Inggrisnya karena kebetulan di penjara itu ada beberapa orang guru bahasa Inggris.
Perbedaan latar belakang rupanya tidak menjadi penghalang untuk saling tolong-menolong di antara para tahanan. Kesadaran untuk tolong menolong semakin tumbuh melihat kenyataan bahwa sebagian besar dari antara mereka hanya bisa hidup dari jatah tahanan dan sebagian lagi mendapat kiriman dari keluarga.
Sekitar tahun 1974-1975 terdapat banyak tahanan yang dituduh terlibat G30S PKI tidak mempunyai keluarga dan kalaupun mempunyai keluarga mereka tidak dibesuk. Mereka hanya hidup dari jatah makanan yang jauh di bawah standar kehidupan layak. Keadaan inilah yang membuat mereka saling membantu dalam menjaga kondisi kesehatan dan saling menguatkan.
Theo sendiri termasuk beruntung karena meskipun ia jauh dari orang tua, ia masih mempunyai keluarga di Jakarta yaitu pamannya. Ia juga merasa mendapat perhatian ekstra dari teman-temannya terlebih lagi perhatian besar dari pacarnya Erna Soedaryati Soekardi yang kemudian menjadi isterinya. Waktu itu ia sudah pacaran dengan adik kelasnya itu selama dua tahun. * Majalah Tokoh Indonesia Edisi 05/Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
03 | Aktivis GMNI Pilih Golkar
Pengalaman pahit dalam tahanan tidak membuat ia kapok. Tidak berapa lama kemudian, setelah keluar dari tahanan, ia kembali aktif di GMNI. Ia pun sempat belajar membuka usaha namun keinginan untuk aktif dalam organisasi mengantarkannya masuk ke KNPI tahun 1978 hingga menjadi Wakil Sekretaris Jenderal dan kemudian Sekretaris Jenderal DPP KNPI (1981-1984).
Setahun kemudian, 1979, Theo memutuskan terjun ke dunia politik dan bergabung menjadi aktivis di Golkar. Apa alasannya memilih Golkar? “Sewaktu saya terjun ke politik tahun 1978/1979, hanya ada tiga Parpol yaitu PDI, PPP dan Golkar. Di samping alasan-alasan lain yang lebih subyektif, mungkin lingkungan saya karena sudah di Golkar. Pilihan lain bisa ke PDI, di sana banyak teman pada waktu itu, kalau dilihat dari hubungan historis GMNI, meskipun GMNI sebenarnya independen. Tetapi saya lihat sebagai satu wadah, PDI waktu itu kurang mempunyai konsep-konsep dan program-program yang menyentuh upaya untuk mengejar kemajuan. Kalau PPP, waktu itu mereka hanya menerima kader Islam, sehingga saya tidak bisa.
Lalu ia pilih Golkar, karena selain berlatarbelakang kebangsaan juga menawarkan suatu upaya-upaya pembaharuan dan pemikiran-pemikiran, konsep-konsep, dan program-program untuk menyejahterakan bangsa, program meningkatkan partisipasi rakyat dan seterusnya. Golkar menawarkan doktrin karya-kekaryaan, berideologi Pancasila yang juga sama dengan PDI, tapi di samping itu dia menjelaskan bahwa membangun itu orientasi kita kekaryaan, orientasi kepada achievement. “Sehingga saya tertarik masuk ke situ, walaupun saya juga melihat berbagai masalah yang ada di dalam,” katanya.
Di lingkungan Partai Golkar, Theo beranjak dari bawah. Mulai dari Wakil Ketua Pokja Departemen Hubungan Luar Negeri dan Cendekiawan (1984-1993), Wakil Sekretaris Jenderal (1993-1998) hingga Ketua DPP Partai Golkar merangkap Ketua Pengurus Pusat Badan Informasi Komunikasi (BIK) Partai Golkar (1998-sekarang).
Tahun 1982 ia duduk di DPR/MPR RI mewakili golongan Pemuda, dan selanjutnya terpilih sebagai anggota DPR/MPR RI Fraksi Karya Pembangunan-FKP (sekarang Fraksi Partai Golkar) dari Jawa Timur selama dua periode (1987-1997), dan mewakili Sulawesi Utara (1997-1998). Selama 15 tahun lebih di DPR RI, ia duduk di Komisi I yang membidangi Hankam, Luar Negeri, dan Penerangan, serta dipercaya sebagai Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen-BKSAP (1987-1990) pada umur 38 tahun, Wakil Ketua Komisi I (1990-1994), dan Ketua BKSAP (1994-1997). Pada 1 Oktober 1997, ia terpilih sebagai Ketua FKP DPR-RI.
Theo mengakhiri tugasnya di DPR RI setelah diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada Kabinet Pembangunan VII (1998), dan sebagai Menteri Negara Perumahan dan Permukiman pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999). Pada September 1999, ia mengundurkan diri dari Kabinet untuk mengikuti Pemilu, dan terpilih sebagai anggota MPR RI mewakili Sulawesi Utara. Di MPR hasil Pemilu 1999 itu, ia dipilih sebagai Ketua Panitia Ad-Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR, dan Ketua Komisi A Sidang Umum MPR 1999 yang menghasilkan GBHN 1999-2004.
Sejak tahun 2000, ia duduk di PAH I dan Komisi A yang membahas Perubahan UUD 1945, dan menjabat sebagai Wakil Ketua PAH I, dan Wakil Ketua Komisi A pada Sidang Tahunan MPR 2002 dan 2003. Di MPR, ia juga menjabat Sekretaris Fraksi Partai Golkar-FPG (1998), dan Wakil Ketua FPG (1999-2003).
Dalam20 tahun terakhir, ia menjadi narasumber dan peserta di berbagai seminar dan konferensi yang bertema kepemudaan, politik, hubungan internasional, keamanan dan pertahanan, ekonomi, lingkungan hidup, tenaga kerja, pariwisata, perumahan dan permukiman, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sebagai delegasi DPR RI, ia mengikuti Sidang Umum Asean Inter-Parliamentary Organization (AIPO) di Jakarta (1985 dan 1992), Kuala Lumpur (1993 dan 1995), Ketua Working Committee AIPO ke-17 di Bali (1997), Delegasi ke Konferensi Inter-Parliamentary Union-IPU di Sofia, Bulgaria (1988).
Kemudian menjadi Ketua Delegasi DPR RI ke Konferensi Parlemen tentang Pariwisata di The Hague, Belanda (1989), Konferensi IPU di Kopenhagen, Denmark (1994), Madrid, Spanyol (1995), Bucharest, Rumania (1995), Istambul, Turki (1996), Beijing, RRC (1996), Seoul, Korea Selatan (1997), Kairo, Mesir (1997), Sidang Umum Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF) IV, Phuket, Thailand (1996), dan Sidang Umum APPF V di Vancouver, Canada (1997). Bahkan pada Konferensi IPU di Seoul, Korsel (1997), ia terpilih sebagai Ketua Komisi Politik, Keamanan Internasional, dan Perlucutan Senjata IPU.
Ia juga hadir sebagai Penasihat Delegasi RI pada KTM COMINAC, Jakarta (1984), KTT GNB New Delhi, India (1983), KTM GNB Bali (1992), KTM GNB Bandung (1995), KTT GNB Jakarta, (1996), Konferensi HAM PBB di Jenewa, Swiss (1993 dan 1994), dan Sidang Umum PBB New York (1983, 1985, 1991, dan 1995).
Sebagai Ketua DPP Partai Golkar, ia memimpin delegasi pada Konferensi Internasional Partai Politik Asia Pasifik (ICAPP) I di Manila, Philipina (2001), dan ICAPP II di Bangkok, Thailand (2002), saat itu ia dipilih sebagai Standing Committee ICAPP.
Ketika menjabat Menteri Tenaga Kerja, penggemar olahraga tenis dan renang ini memimpin Delegasi RI pada Konferensi Menteri Tenaga Kerja ASEAN di Hanoi, Vietnam (1998). Sedangkan sebagai Menteri Negara Perumahan dan Permukiman, ia terpilih sebagai Presiden Eastern Organization for Housing and Planning (EAROPH) pada konferensi di Bali (1998), dan memimpin Delegasi RI pada Sidang ke-17 Commission on Human Settlements PBB di Nairobi, Kenya (1999). * Majalah Tokoh Indonesia Edisi 05/Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
04 | Sukses Atas Dukungan Isteri
Di balik keberhasilannya, Theo tidak lupa dengan seorang perempuan yang turut berperan dalam kehidupannya. Istrinya, Dra. Erna Soedaryati Soekardi, sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya karena sejak mahasiswa hingga berkeluarga, Theo sibuk mencari nafkah dan mengikuti berbagai organisasi sehingga banyak waktu yang tersita.
Ia bersyukur kepada Tuhan karena 26 tahun berumahtangga, mereka bisa bertahan melewati berbagai masalah dan berharap mereka sekeluarga bisa terus melangkah ke masa depan. Meskipun mereka berbeda latar belakang kultural dan etnis, istrinya dari suku Jawa beragama Katolik dan mertuanya beragama Islam sedangkan Theo dari Minahasa beragama Kristen Protestan, mereka tetap hidup rukun. Theo beserta isteri pergi ke gereja sama-sama, kadang ke gereja Katolik dan kadang ke gereja Protetan, pada intinya mereka berbakti bersama.
Kalau Lebaran, Theo sekeluarga berlebaran ke mertuanya dan ikut ‘sungkem’ Lebaran. Bila Natal, orang tuanya dan keluarga yang beragama Islam datang ke rumah. Sambil tersenyum Theo mengatakan bahwa ketika bertemu pertama kali dengan isterinya, ia tidak bertanya tentang agama dan sukunya. Baru belakangan ia tahu asal-usul isterinya.
Mereka dikaruniai dua putra, yang paling besar Eddy Khrisna Patria Sambuaga, MSc berumur 25 tahun, lulusan Master dari School of Engineering, Standford University, Palo Alto, California, AS yang sempat bekerja di Silicon Valley AS selama 3 tahun. Ia kini pulang ke Jakarta dan sudah berada di Jakarta selama dua minggu. Anak yang kedua bernama Jerry Adithya Ksatria Sambuaga kini menjadi mahasiswa University of San Fransisco, California, AS.
Theo yang sudah kenyang makan asam garam di dunia organisasi dan politk mengaku enjoy menjalani kehidupannya sehari-hari. Ia bersyukur atas berkat dan anugerah yang ia rasakan. Apapun posisinya, jabatannya, bahkan tidak mempunyai jabatan sekalipun, ia menganggapnya sebagai berkat yang harus disyukuri dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Itulah pemikiran yang ia rasakan dan mendapat dukungan dari keluarganya. * Majalah Tokoh Indonesia Edisi 05/Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
05 | Horison Indonesia Baru
Sebagai salah seorang bakal calon presiden dari Partai Golkar ia merumuskan platform, visi dan misinya di bawah thema Horison Indonesia Baru. Dalam paltformnya disebutkan bahwa masalah utama Indonesia dewasa ini adalah kesejahteraan umum yang semakin menjauh dari rasa keadilan masyarakat, kecerdasan bangsa yang menurun akibat tidak meratanya kesempatan memperoleh pendidikan, dan martabat bangsa di kancah internasional yang semakin tersudut.
Kondisi tersebut terjadi karena bangsa Indonesia masih terperangkap dalam krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan solidaritas nasional melonggar, pengangguran membengkak, kualitas pendidikan merosot, kemiskinan meningkat, kepastian hukum tak menentu, serta keamanan dan ketertiban sosial yang memprihatinkan.
Solusinya adalah kepemimpinan nasional yang tangguh dan berkarya, serta berdasarkan platform Partai Golkar, mampu menghimpun seluruh potensi bangsa dan menggerakkan pemerintahan dan pembangunan nasional bagi terselenggaranya kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa. Platform tersebut adalah: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, serta membangun masyarakat adil, makmur, dan demokratis dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila.
Sementara visinya adalah penyelenggaraan negara yang maju, modern, dan demokratis, guna tercapainya kehidupan bangsa yang sejahtera, cerdas, aman, dan damai dalam wadah NKRI.
Visi itu kemudian dijabarkan dalam tujuh misi yakni: (1) Menyelenggarakan pemerintahan yang tangguh, berkarya, dan berwatak good governance dengan mengembangkan demokrasi, civil society, dan otonomi daerah; (2) Menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menyelenggarakan keamanan dan ketertiban sosial; (3) Membangun perekonomian berbasis pemberdayaan rakyat; (4) Meningkatkan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mutu kehidupan rakyat; (5) Memberantas dan menutup peluang segala bentuk penyimpangan dan KKN; (6) Menjaga keberlangsungan daya dukung sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup; dan (7) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, mengembangkan lingkungan kawasan yang kondusif, dan memanfaatkan peluang globalisasi bagi kepentingan pembangunan nasional. * Majalah Tokoh Indonesia Edisi 05/Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy