Pelopor Netralitas Politik PNS

[ENSIKLOPEDI] Pada era kepemimpinannya, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) mereformasi diri dengan Empat Paradigma Baru yaitu demokratis, netral, profesional dan sejahtera. Sehingga Korpri tidak mudah lagi dijadikan sebagai ‘mesin’ peraih suara bagi kekuatan politik mana pun seperti era sebelumnya. Ia seorang pelopor netralitas politik pegawai negeri sipil.
Menelusuri jejak karir H. Muhammad Feisal Tamin sama dengan menapak tilas kisah sukses seorang pegawai negeri sipil. Ia meniti karir dari golongan II/A hingga mencapai golongan tertinggi IVE, dari eselon V kasub-bagian sampai eselon I Sekretaris Jenderal Depdagri. Saat itu karena jabatannya ia pun menjadi Ketua Korpri. Kemudian dalam Munas 15-18 Febuari 1999, yang melahirkan Empat Paradigma Baru Korpri, ia menjadi Ketua Umum Terpilih. Lalu dalam Kabinet Gotong-Royong, ia menjabat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
Feisal mengaku memiliki kepuasan tersendiri bisa menjalani semua jenjang dan pangkat itu dengan baik. Karena untuk naik dari jenjang yang satu ke jenjang yang lain harus melalui tahapan seleksi. Seleksi berlangsung alamiah dan sejalan dengan kriteria serta aturan formal.
Dengan pengalaman karir yang panjang, ia mampu melihat pergerakan dunia kerja di lingkungan PNS yang tidak selalu berjalan mulus. Ada yang karirnya mulus lurus, tetapi kemudian mandeg, ada juga yang karirnya melompat-lompat. Semuanya ia saksikan dan ia rekam sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas PNS yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Menteri PAN.
Ia misalnya menyaksikan ketika mulai menjadi PNS di tahun 1961 pada zaman Bung Karno, selama 5 tahun, orang-orang tertentu yang satu partai dengan menteri atau atasannya begitu cepat naik karirnya. Pada waktu itu unsur-unsur kolusi dan nepotisme memang sangat memungkinkan. Bahkan organisasi karyawan dengan sengaja membela kedudukan menterinya. Sehingga di dalam setiap lembaga negara terdapat kapling-kapling. PNS (aparatur birokrat profesional karir) menjadi terkotak-kotak menurut paham politik pimpinannya. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki paham politik yang berbeda dengan pimpinannya, ia akan mengalami kesulitan, tersisihkan, tidak berkembang karirnya, bahkan dikeluarkan atau diberhentikan.
Kemudian, pada sekitar tahun 1969 terdapat kebijaksanaan pemerintah untuk melarang golongan IV (golongan tertinggi PNS) untuk ikut dalam kegiatan politik. Pada awal masa Orde Baru ada kesepakatan dari beberapa Sekjen Departemen untuk membentuk sebuah wadah pegawai negeri. Wadah itulah yang menjadi embrio kelahiran Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), yang baru terwujud pada tahun 1981. Sebelumnya organisasi pegawai negeri hanya ada dalam lingkungan departemen tertentu saja, seperti di Depdagri ada lembaga bernama Kokar Mendagri. Pembentukan Korpri bertujuan menyatukan langkah-langkah bagi pegawai negeri dalam memperkuat dirinya tentang visi dan misinya serta menunjang segala hasil pemerintahan yang baik.
Selama dua pelita, Korpri masih menampakkan wujud loyalitas kepada bangsa dan negara serta rekan kerja pemerintah. Namun memasuki tahun 80-an, Korpri mulai mengalami penyimpangan, di mana Korpri digunakan sebagai alat dalam mendukung kekuasaan. Pada masa itu, bukan hanya Korpri yang menjadi alat kekuasan, ABRI juga mengalami hal yang sama. Korpri dan ABRI digunakan sebagai ‘mesin’ peraih suara dalam pemilu untuk kepentingan Golkar.
Dalam jenjang karir puncaknya sebagai PNS, pada 1998 Feisal diangkat menjadi Sekjen Depdagri yang berarti secara otomatis diangkat pula menjadi Ketua Umum Korpri. Dalam posisi sebagai orang nomor satu di Korpri, ia melihat terjadinya degradasi fungsi dan politisasi lembaga itu. Banyak pula pengurus Korpri yang ternyata sudah pensiun dari PNS. Kondisi itu mendorong Feisal perlu segera melakukan pembenahan. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mengadakan reformasi internal Korpri. Reformasi diri ini dilakukan oleh Korpri sendiri dalam Munas Korpri (15-18 Febuari 1999). Dari munas ini lahirlah Empat Paradigma Baru Korpri, yaitu: Demokratis, Netral, Profesional dan Sejahtera. Dengan paradigma baru tersebut, maka Korpri sulit untuk dijadikan “mesin” peraih suara bagi kekuatan politik manapun.
Netralitas politik merupakan salah satu paradigma yang secara serius diperjuangkannya. Hal itu membuatnya tidak lagi menduduki posisi Sekjen Depdagri. Ia diganti! Karena hal itu soal prinsip, ia menerima konsekuensi itu dengan lapang dada. Sebab pada saat itu ada desakan kekuasaan yang mengharapkannya tidak netral tetapi berpihak pada kekuasaan. Bila ia mengikuti desakan kekuasaan, berarti hal itu berlawanan dengan hasil Munas yang diterimanya sebagai amanah untuk memperjuangkan netralitas Korpri. Netralitas dalam pengertian tidak memihak kepada partai politik manapun, tapi juga tidak menjadi diskriminatif dalam memberikan pelayanan publik.
Setelah Megawati Soekarnoputri menggantikan kedudukan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden, Feisal pun dipercaya menjabat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Ia langsung mempelajari posisi dan peta aparatur pegawai negeri yang terbaru. Menurut pandangannya, terlihat jelas bahwa kualitas aparatur jauh dari apa yang diharapkan Kulitas SDM PNS sangat kurang memadai. Hal ini terlihat jelas dengan jumlah pegawai yang 75 persen adalah hanya lulusan SMU atau di bawahnya. Hanya 25 persen pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan di atas SMU.
Di samping itu, komposisi pegawai yang bekerja di bagian adminitrasi tidak proposional dengan pegawai yang ada di bagian fungsional dan operasional. Terlalu banyak pegawai yang menempati posisi administrasi. Masalah lainnya adalah distribusi penyebaran pegawai yang tidak merata atau proposional. Ia mencontohkan jumlah pegawai di Pulau Jawa tiga kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah pegawai yang ada di seluruh Kawasan Indonesia Timur. Padahal, luas Pulau Jawa hanya sepertiga dari luas Kalimantan. Namun, jumlah PNS yang seharusnya melayani masyarakat secara merata ternyata terpusat di Pulau Jawa.
Ditinjau dari segi kelembagaan, ternyata juga diperlukan restrukturisasi hampir secara menyeluruh. Sebab, ditemukan pula adanya lembaga dengan struktur yang tumpang tindih, baik secara fungsi maupun jabatan. Dari segi tata pelaksanaan, prosedur kerja, mekanisme, sistem, tidak memenuhi prinsip dasar manajemen, akuntabilitas yang minim kemudian ditambah dengan pelayanan publik yang masih kurang. Dari sini Feisal beranggapan perlu dilakukan langkah-langkah restrukturisasi dan perbaikan sistem kerja yang baru menuju kepada manajeman modern dan profesional.
Salah satu gagasan yang dikemukakannya adalah melakukan langkah rasionalisasi. Namun ia meminta langkah tersebut jangan diidentikkan dengan mengurangi, memberhentikan atau bahkan memecat pegawai. Melainkan merupakan sebuah langkah praktis untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dialami PNS yaitu tingkat komposisi pegawai, SDM, distribusi penyebaran, manajemen dan lain-lain persoalan yang tidak rasional.
Menurutnya, masalah yang paling mendesak dilakukan adalah tidak membiarkan jika jumlah PNS yang produktif hanya 40 persen sedangkan sisanya sekitar 60 persen tidak produktif. Masalah besar ini harus segera dicari jalan keluar. Namun, ia menyadari jalan itu harus melalui proses dan konsekuensi. Konsekuensinya pun sangat besar, salah satunya diperlukan adanya tambahan waktu dan dana yang besar untuk kembali medidik dan memberikan pelatihan kepada pegawai yang tidak produktif itu sehingga akhirnya mereka menjadi pegawai yang profesional, yang menjadi ahli dalam setiap bidang pekerjaannya.
Feisal menyadari mengenai kemungkinan terjadinya kegagalan dalam meningkatkan performa SDM yang ada. Bila ternyata pegawai tersebut tidak bisa lagi ditingkatkan kinerjanya, maka langkah rasionalisasi dengan sangat terpaksa akan menggunakan perangkat hukum melalui PP No. 32 tahun 79 tentang pensiun dini. Meskipun harus membayar uang pensiun dan memberi tunjangan seumur hidupnya, namun bila itu merupakan langkah terbaik, maka terpaksa dilakukan. Menurut pandangannya, daripada seorang PNS tetap bekerja dan menjadi virus yang menularkan sifat tidak profesional, tidak cakap, dan malah mengganggu kinerja secara umum, maka pelepasan PNS itu barangkali merupakan langkah yang terbaik. Tetapi, pemensiunan itu hanya akan dilakukan apabila PNS yang bersangkutan telah mengikuti berbagai kesempatan yang diberikan untuk meningkatkan kualitasnya, seperti pelatihan-pelatihan keterampilan yang menunjang kinerjanya Atau bila terpaksa akan dipensiunkan didahului pembekalan keterampilan tambahan agar yang bersangkutan tetap memiliki pekerjaan di luar PNS. Sehingga ia bisa produktif di masyarakat.
Jumlah PNS di Indonesia saat ini (2002) sebanyak 4 juta, atau sekitar 1,9 persen dari seluruh jumlah penduduk. Angka itu pergerakannya cukup kecil dari tahun ke tahun, mengingat Indonesia menerapkan sistem rekrutmen zero growth, di mana penerimaan pegawai baru hanya untuk mengganti pegawai lama yang pensiun, meninggal, atau mengundurkan diri.
Ditambahkannya, dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki rasio PNS sebesar 20-30 persen dari populasi masyarakat, maka jumlah PNS Indonesia secara kuantitatif masih cukup kecil, jauh dari ukuran global. Hal itu, logikanya berarti masih dapat ditambah. Namun jika ada penambahan harus diikuti dengan peningkatan kulitas PNS. Dari kondisi ini, Feisal memaparkan, diperlukan kualifikasi jabatan, ujian penyaringan yang benar, fit and propertest bagi orang-orang yang akan masuk ke dalam jabatan baru. Tidak ketinggalan, proses rekrutmen juga harus mengikuti prosedur yang benar, tidak lagi mengenal istilah calon karyawan titipan. Sehingga pengukuran dilakukan berdasarkan prestasi kerja, kinerjanya, dan track recordnya yang harus dipantau dan di-relay terus menerus oleh atasannya. Bukan karena kedekatannya pada seseorang atau atasan secara pribadi.
Feisal Tamin lahir di Dompu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 15 Juni 1941. Masa kecil hingga remaja dilalui di tempat kelahirannya. Di daerah itu menapaki jenjang pendidikan dari Sekolah Rakyat (SR) hingga Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Ia masuk SPMA karena lambatnya pengumuman kelulusan SLTP yang harus dilihatnya di Singaraja, Bali. Sementara ia tinggal di NTB. Ketika pengumuman kelulusan, pendaftaran SMA di Pulau Jawa sudah tutup bahkan kegiatan belajar mengajar sudah berjalan. Akhirnya ia kembali ke Sumbawa dan di sana ada SPMA yang baru dibuka.
Tiga tahun menempuh pendidikan SPMA, ia tamat tahun 1960. Tahun itu juga ada proyek Pampasan perang di Sumbawa, dan ia ikut ambil bagian di dalamnya. Setelah setahun bekerja di Sumbawa, Feisal mulai berpikir untuk lebih memajukan karirnya. Sebab, bila tinggal di sana, kemungkinan untuk maju tidak terlalu besar.
Tahun 1961, Feisal berangkat menuju Jakarta. Ia mendapat pekerjaan sebagai karyawan di Departemen Agraria. Departemen ini kemudian bergabung dengan Departemen Dalam Negeri tahun 1967. Feisal menjalani setiap jenjang kepegawaian dan kepangkatan serta jabatan yang disesuaikan atau dinyatakan dengan eselon. Ia meniti karir dari eselon paling rendah dalam struktur PNS yaitu kepala sub-bagian, yang dulu masuk eselon V (sekarang eselon IV). Melalui perjalanan karir yang panjang, ahirnya ia menduduki eselon tertinggi sebagai Sekretaris Jenderal Depdagri. Karirnya sebagai Sekjen berhenti pada tahun 1999. Sebelum diangkat menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal pernah menjadi anggota MPR Fraksi Utusan Golongan mewakili Korpri/PNS.
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
***
53 Persen PNS “Makan” Gaji Buta
Bandar Lampung, Kompas – Sekitar 53 persen dari empat juta pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia mendapat gaji buta atau hanya 47 persen yang produktif dan profesional. Akibatnya, beban negara semakin berat karena setiap tahun pemerintah mengeluarkan lebih besar anggaran belanja untuk pegawai, dibandingkan biaya pembangunan kemasyarakatan.
Demikian Menteri Negara (Menneg) Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) M Feisal Tamin menjawab wartawan usai wisuda peserta pendidikan dan latihan (Diklat) kepemimpinan eselon II angkatan VIII, Rabu (14/5/03) di Bandar Lampung. Diklat tingkat nasional ini diikuti 104 peserta dari provinsi-provinsi yang terdapat di wilayah Sumatera bagian Selatan, Banten, dan sejumlah departemen di Jakarta.
Feisal Tamin mengatakan, anggaran yang dikeluarkan pemerintah setiap tahun bagi belanja rutin pegawai negeri mencapai 80 persen. Sementara anggaran pembangunan yang ditujukan kepada masyarakat luas atau bersifat kemasyarakatan (publik) hanya 20 persen. Meski demikian, sebanyak 53 persen pegawainya justru “makan” gaji buta.
Secara matematis, 53 persen dari empat juta pegawai itu artinya sama dengan 2,12 juta pegawai yang “makan” gaji buta. Feisal mengatakan, pegawai yang ada dalam kategori itu adalah mereka tidak bekerja profesional karena penempatan yang tidak tepat. Organisasi tempat pegawai itu ditugaskan menjadi tidak berfungsi baik dalam tugas pelayanan publik.
Jutaan pegawai itu dikategorikan menerima gaji buta, juga karena kemampuan akademis yang dimiliki tidak bisa memenuhi beban tugas yang diberikan. Jadi, selain faktor penempatan yang salah, juga karena mutu sumber daya manusia yang dimiliki masih rendah. Ada 75 persen PNS tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas.
Perampingan
Atas masalah itu, dan kondisi ekonomi negara sedang terpuruk, lanjut Feisal, pemerintah memandang penting melakukan restrukturisasi organisasi atau lembaga pemerintah, terutama di daerah. Pemerintahan harus dijalankan dalam batas-batas efektivitas dan efisiensi dengan memprioritaskan kepentingan rakyat banyak.
Dalam kerangka itulah munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003. “Rencana pemerintah untuk melakukan perampingan dinas-dinas itu dalam rangka mengefektifkan dan memfungsikan kembali peran lembaga-lembaga pemerintah agar lebih profesional dalam melayani masyarakat luas,” tegasnya.
Menneg PAN mengatakan, idealnya setiap kabupaten dan kota itu hanya terdiri dari 11 hingga 14 dinas dan ditambah badan-badan.
“Kalau sudah lebih dari 17 organisasi, itu identik dengan pemborosan atau tidak efektif. Ada kabupaten dan kota yang membentuk dinas kelautan dan perikanan, meski dia tidak memiliki wilayah laut. Contoh konkret terjadi di Kota Metro, Provinsi Lampung. Apakah sesuai dengan kondisi daerahnya, ini harus dihitung, bila tidak sesuai maka tidak perlu dibentuk,” tegasnya.
Kehilangan jabatan
Menneg PAN mengakui, dengan adanya restrukturisasi itu akan berdampak kehilangan jabatan pada sejumlah pejabat atau pegawai. Mungkin juga ada pegawai yang mempersoalkan, misalnya, untuk apa ada program diklat kalau tidak mendapat jabatan.
Hal terpenting adalah pertanyaan pada diri sendiri, bagaimana jabatan bisa diperoleh melalui peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.
Saat memberikan pengarahan kepada para wisudawan, Menneg PAN juga mengingatkan PNS sebagai aparatur pemerintah sangatlah berat seiring perkembangan zaman dan derasnya arus globalisasi. “Karena itu, sebagai aparatur negara jangan hanya bermain golf atau tenis saja, namun harus belajar, agar lebih profesional dalam melayani masyarakat yang kian berkembang,” katanya. e-ti, Kompas 17 Mei 2003