Politisi Lintas Profesi

Aziz Syamsuddin
0
1008
Lama Membaca: 34 menit

04 | Asuhan Seorang Bankir

Aziz Syamsuddin
Aziz Syamsuddin | Tokoh.ID

Masa kanak-kanak sampai remaja Aziz Syamsuddin banyak dihabiskan di banyak kota. Dia terpaksa mengikuti jejak langkah sang ayah dalam meniti karier sebagai bankir. M. Aziz Syamsuddin, demikian nama ini disematkan kepada putra bungsu dari lima bersaudara pasangan berbahagia, Bapak Haji Syamsuddin Rahim dan Ibu Hajjah Chosiah Hayum.

Sang ayahanda adalah seorang pegawai negeri tulen yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri di PT. Bank Negara Indonesia (BNI) 1946.

Sedangkan, sang ibunda adalah seorang wiraswastawati kecil-kecilan yang ulet. Beliau punya semacam konveksi busana wanita. Beliau merancang, menjahit, dan memasoknya ke toko-toko pakaian.

Dari buah cinta keduanya lahirlah lima orang anak: seorang perempuan dan empat orang laki-laki. Yang pertama perempuan, yang kedua laki-laki, yang ketiga laki-laki (meninggal dunia), yang keempat laki-laki, dan yang kelima Aziz Syamsuddin.

Syamsuddin adalah seorang lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Beliau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi hingga menamatkan perguruan tinggi.

Setelah menyandang gelar kesarjanaan (S-1), Syam senior melamar kerja ke BNI 1946, dan akhirnya diterima di salah satu bank papan atas milik pemerintah itu.

Syam senior pertama kali mengawali kariernya di BNI di Jakarta, sebagai pegawai biasa. Sekitar 1979, dia dipindah-tugaskan ke BNI 1946 Cabang Singkawang, Kalimatan Barat.

Tak lama berselang, Syam senior kembali pindah tugas ke BNI 1946 Cabang Tanjung Balai Karimun, Riau. Dipindahkan lagi ke BNI 1946 Cabang Jember, Jawa Timur. Dari Jember, dia dimutasikan kembali ke BNI 1946 Cabang Kota Padang, Sumatera Barat. Kota persinggahan terakhir Syamsuddin Rahim sebagai abdi negara adalah Jakarta.

Kini, Syam senior telah menunaikan pengabdiannya (pensiun) di bank milik pemerintah tersebut. Syams senior tengah menikmati masa tuanya bersama keluarga besar sembari bermain dengan cucu-cucunya.

Tidak Dimanja Orang Tua
Pria muda kelahiran Jakarta, 31 Juli 1970, ini dididik dan dibesarkan dengan sentuhan penuh kasih sayang, namun tetap dibarengi penerapan disiplin tinggi serta penanaman ajaran agama Islam yang ketat, dari kedua orang tuanya.

Advertisement

Di masa kecil, Aziz digembleng kedua orang tuanya dengan nilai-nilai agama. Setiap hari, dia harus mengaji. Selain itu, Aziz dan empat kakaknya diwajibkan sudah berada di rumah sebelum masuk waktu Maghrib agar bisa sholat Maghrib berjamaah. Disiplin menunaikan shalat Maghrib berjamaah di rumah diterapkan sampai Aziz menyelesaikan bangku SMA.

Sewaktu ayahnya kembali ditarik ke kantor pusat BNI 1946 di Jakarta, kondisinya relatif tidak memungkinkan lagi misalnya untuk shalat Maghrib berjamaah setiap hari, paling-paling pada hari Sabtu dan Minggu.

Mengingat kesibukan masing-masing anggota keluarga, dengan spirit yang sama, disiplin kumpul bersama tidak lagi terbatas pada saat shalat Maghrib berjamaah.

Setelah berada di Jakarta, waktu-waktu khusus berkumpul, antara lain, saat sarapan pagi, makan malam, atau shalat subuh berjamaah.

Dari disiplin dan aturan kumpul bersama yang digariskan orang tuanya itu, Aziz menangkap satu kesan sangat bermakna yang tetap membekas di jiwanya sampai saat ini.

Apa itu? Esensi dari penerapan disiplin itu bukan segi kuantitasnya, tapi kualitas dari kebersamaan tersebut. Kualitas kebersamaan yang harus diptakan.

Dalam suasana kebersamaan itu, seluruh anggota keluarga bisa saling berkomunikasi, tukar pikiran, dan berdialog secara terbuka satu sama lain.

Sang ibunda adalah sosok paling keras dalam menanamkan nilai agama kepada kelima anaknya, karena ayahnya (kakeknya Aziz) adalah seorang guru agama.

Akan halnya sang ayahandanya, menurut Aziz, meski sosoknya keras dan gigih dalam memegang pendirian namun tetap memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup masing-masing. Itu terbukti, misalnya, Aziz tidak dipaksa untuk menjadi seorang bankir, mengikuti jejaknya.

Dia juga diberikan kebebasan untuk bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan, tapi tetap diawasi dan diwanti-wanti oleh kedua orang tuanya agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas seperti pemakaian obat-obat terlarang.

Aziz mengaku, orang tuanya menerapkan perlakuan yang sama kepada kelima anaknya. Tidak ada perlakuan istimewa kepada anak bungsu atau kepada anak sulung.

Pernah satu saat, tidak ada pembantu yang mengurusi segala pekerjaan rumah. Mulai dari anak pertama sampai anak kelima mendapatkan pembagian tugas mengurusi rumah. Aziz selalu memilih tugas mencuci piring dan gelas kotor seusai makan dan membereskan seluruh kamar, mulai dari kamar ayah-ibu sampai kamar keempat kakaknya. Dia tidak mau menyapu, mengepel, atau membersihkan halaman.

Pembagian pekerjaan rumah itu tetap berlaku sampai Aziz memasuki bangku kuliah, terlebih saat pembantu pulang mudik berlebaran atau ketika si pembantu tiba-tiba mengambil cuti. Dia tetap memilih mencuci piring dan membereskan kamar-kamar.

Kebiasaan tersebut akhirnya membentuk pola hidup Aziz yang terbiasa tampil bersih dan rapi, di manapun dan kapan pun dia berada. Aziz tidak pernah mau keluar rumah bila tidak dalam keadaan badan yang bersih dan pakaian yang rapi. Kebiasaan untuk selalu bersih memang ditanamkan sejak dulu di dalam keluarga. Sampai-sampai, bila belum mencuci kaki dan menggosok gigi, Aziz tidak diperbolehkan naik ke tempat tidur. Aturan itu juga berlaku bagi kakak-kakaknya.

Orang tua Aziz terbiasa memberikan hadiah kepada anak-anaknya yang nilai rapornya bagus. Hadiah itu bisa berupa mainan, sepeda, atau sepatu kets merek Puma, yang saat itu sedang menjadi mode.

Sebagai seorang kepala cabang BNI, ayahnya mampu memberikan materi yang mencukupi kepada anak-anaknya. Tapi, untuk urusan uang harian, dia tidak royal.

Sebagai bentuk disiplin lain yang diterapkan kepada Aziz dan empat kakaknya, sang ayah sangat membatasi uang saku mereka.

Seingat Aziz, waktu di bangku SD, dia hanya dijatahi 50-75 rupiah setiap hari. Sewaktu di SMA, Aziz tetap dijatah uang sakunya Rp 1.500 untuk satu minggu.

Bahkan, sampai dia menyandang status sebagai mahasiswa pun uang saku masih dijatah. Untuk keperluan satu minggu, Aziz dijatah uang saku Rp 100.000.

Uang itu sudah mencakup kebutuhan fotokopi dan sebagainya, termasuk untuk nonton film, misalnya. Sedangkan, untuk membeli buku kuliah, barulah dibolehkan meminta uang tambahan. Praktis, dengan uang yang terbatas itu, Aziz relatif sulit menyisihkan uangnya untuk ditabung. Sampai-sampai, selama empat tahun kuliah, dia tidak pernah bisa menonton film di bioskop dengan biaya sendiri. Bukan karena tidak suka tapi lantaran dia tidak punya uang untuk membeli tiket film. Begitu pun halnya konser musik, dia nyaris tidak pernah menontonnya.

Sehingga, sampai sekarang, dia bukan orang yang gandrung menonton film bioskop atau menonton konser musik. Karena sudah terpatron dan sudah terbiasa. Dia tidak pernah melakukannya dengan inisiatif pribadi, kecuali bila diajak istri dan anak-anaknya.

Malahan, hampir dua tahun terakhir ini, Aziz mengaku tidak pernah menonton film. Kalau pun pergi nonton sekadar untuk menemani anak dan istrinya. Tidak aneh bila diajak ngobrol seputar film-film yang sedang in saat ini, dia tidak bisa nimbrung karena ?buta? tentang perkembangan film-film.

Dia teringat sekali saat SD dan SMP sedang musim mainan sega/nintendo. Hampir setiap anak di kelasnya dulu punya mainan itu. Tidak untuk Aziz. Jika ingin main itu, dia terpaksa numpang main di rumah tetangga karena dia tidak punya. Bukan karena tak mampu, tapi sang ayah memang tidak mau membelikan mainan itu, dan tidak memperbolehkan anak-anaknya bermain itu. Di rumah tidak ada yang namanya mainan-mainan semacam itu.

Kalau mau main, main sepeda atau olah raga saja. Jangan main-main yang begituan, tidak ada gunanya itu karena tidak menuntut orang untuk berpikir. Kalau di rumah, kamu ngaji dan belajar saja, atau main catur dan domino,? tutur Aziz, mengutip perkataan ayahnya kala itu.

Awalnya, saya sempat kecewa dan sakit hati atas sikap ayah itu. Akhirnya, saya terpaksa menghabiskan waktu mengikuti kegiatan outdoor seperti main basket, voli, karate, sepak bola.

Saat kelas 4 SD, Aziz menjadi juara kelas dan karenanya berhak memperoleh hadiah. Dia lantas minta dibelikan mainan nintendo. Dengan tegas ayahnya menolak permintaan itu.

Pendirian sang ayah tetap tak bergeming sedikitpun walau Aziz sampai merengek-rengek. Karena tak mampu meluluhkan hati sang ayah, Aziz akhirnya minta dibelikan sepatu basket merek Bally yang paling mahal. Dulu, bisa dihitung dengan jari murid yang memakai sepatu itu saking mahalnya. Anehnya, ayahnya langsung mau memenuhi permintaan itu.

Dari pengalaman itu, Aziz bisa memahami bahwa batasan-batasan yang diberlakukan kedua orang tuanya dulu sangat berguna dalam proses perkembangan dirinya. Dan, itu bisa dia rasakan sampai saat ini.

Lahir di Ibukota, Besar di Daerah
Meski dilahirkan di Jakarta, bisa dikatakan masa kanak-kanak dan masa remaja Aziz dihabiskan di daerah. Perjalanan karier ayahanda yang sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lain tak ayal mengimbas pada kehidupannya. Ke mana pun ayahnya dipindah-tugaskan, sebagai putra bungsu dia pasti ikut diboyong.

Saat sang ayah bertugas di Singkawang, dia mengecap pendidikan bangku taman kanak-kanak (TK) sampai menjelang memasuki sekolah dasar (SD).

Ketika ayahnya bertugas di Jember, dia bersekolah di SD Negeri Lor 3 dan melanjutkan ke SMP Negeri 3 Tegalboto, Jember.

Di kota Jember itulah sebuah cobaan berat dari Yang Mahakuasa menghampiri keluarga besar Syamsuddin Rahim. Kakak nomor tiga Aziz dipanggil Sang Pencipta kembali ke haribaan-Nya.

Jenjang pendidikan menengah atas dilaluinya di SMA Negeri 2 Padang. Di SMA, dia aktif di kegiatan OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Dia termasuk siswa yang pintar dan cerdas di sekolahnya. Nilai rapornya pun selalu bagus.

Tak aneh, setamat SMA pada 1989, dia bisa langsung mengenyam perguruan tinggi negeri tanpa harus menjalani proses tes seleksi penerimaan mahasiswa baru (saat itu disingkat Sipenmaru, sekarang istilahnya SPMB).

Melalui program PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), dia diterima sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat.

Tapi, baru mengecap dua semester berkuliah di Unand, Aziz terpaksa meninggalkan kota Padang sekaligus kampus tercinta. Dia kembali harus mengikuti keluarga besarnya karena sang ayah dipindah-tugaskan ke Jakarta.

Kuliah di Dua Kampus
Sesampainya di ibukota, dia langsung mencari perguruan tinggi yang bisa mengaplikasi atau menerima konversi nilai SKS mata-mata kuliah ekonomi yang telah diperolehnya di kampus lama, supaya dia tidak perlu kuliah mulai dari semester pertama lagi.

Aziz mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi, Universitas Krisnadwipayana (FE-Unkris). Setahun kemudian, dia mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FH-Usakti).

Ada latar belakang dan motivasi tertentu mengapa dia mengikuti dua jenis perkuliahan di dua kampus berbeda. Pertama, dirinya adalah mahasiswa pindahan dari perguruan tinggi negeri (PTN). Kedua, dia diterima di PTN tanpa melalui tes Sipenmaru, karena terpilih sebagai peserta PMDK.

Mengingat di Jakarta hanya berkuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), dia tidak puas dan merasa ada kekurangan jika hanya menempuh satu kuliah. Akhirnya, setelah satu tahun kuliah di FE-Unkris, dia pun mendaftar ke FH-Usakti.

Sejak itu, mulailah hari-hari Aziz dipenuhi jadwal kuliah di dua kampus berbeda. Pagi hari dia kuliah hukum di Usakti, dan sekitar pukul 16.00 sore harinya kuliah ekonomi di Unkris. Karena kuliah di Unkris waktu itu dimulai dari pukul 17.00 sore sampai pukul 21.00 malam.

Menurut pengakuannya, saat itu, pada awalnya dia cukup kesulitan mengatur waktu dan pikiran menjalani aktivitas perkuliahan di dua kampus berbeda, dengan dua materi yang berlainan pula. Kebetulan lokasi dua kampus itu tidak terlalu sulit dijangkau dari tempat tinggalnya di kompleks perumahan dinas karyawan BNI, di kawasan Pesing, Grogol, Jakarta Barat.

Dalam perjalanan waktu, selain mengikuti perkuliahan, Aziz juga aktif dalam sejumlah organisasi intrakampus, baik di tingkat fakultas maupun universitas, mulai dari Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Senat Mahasiswa (Sema), hingga Dewan Mahasiswa.

Pada saat ada suksesi pengurus Sema FH-Usakti, Azis ikut mencalonkan diri sebagai ketua. Dia terpilih sebagai Ketua Sema FH.

Sewaktu masih menjabat Ketua Sema FH, bersaing dengan sesama ketua senat fakultas-fakultas lainnya, Aziz Syamsuddin kembali mencalonkan diri dalam pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) ?sekarang istilahnya Presiden Mahasiswa? Universitas Trisakti.

Dari proses itu akan dipilih empat orang Ketua Sema Fakultas untuk duduk dalam kepengurusan Dema Usakti. Aziz pun terpilih sebagai salah satu unsur Ketua Dema Usakti pada 1992.

Aziz menyelesaikan kuliah di Unkris pada tahun 1992 akhir. Berbekal ijazah ekonomi akuntansi dari Unkris, dia langsung bekerja di PT. AIU Insurance, perusahaan joint venture antara Indonesia dan Amerika Serikat yang memfokuskan diri pada asuransi jiwa dan asuransi kerugian.

Setelah lulus dari Usakti, dia pindah kerja dan bergabung dengan PT. Panin Bank sebagai officer development program (ODP) VII dengan tugas utama pada bidang operational banking.

Dua jenis pekerjaan itu digelutinya sesuai dengan kapasitas ilmu ekonomi dan gelar sarjana ekonomi (SE) yang diperoleh dari Unkris. Sekitar pertengahan 1993, dia berhasil menyelesaikan studi hukumnya di FH-Usakti.

Profesi sebagai seorang bankir yang prospektif ternyata belum memuaskan jiwa Aziz. Dia ingin mengaktualisasikan ilmu hukumnya secara lebih konkret. Dan, profesi advokat menjadi pilihannya.

Niatnya untuk alih profesi sebagai advokat sangat terkait dengan latar belakang pendidikan ilmu hukum dan gelar sarjana hukum (SH) yang diperolehnya dari Usakti.

Selain itu, ada faktor lain yang mendorong dirinya untuk berprofesi sebagai seorang advokat. Ceritanya, sewaktu di Panin Bank, batin Aziz didera kekecewaan ketika memproses satu permohonan kredit (sindication loan) dari nasabah bank tempatnya bekerja.

Pangkal persoalannya, meski dia sudah bekerja mati-matian memproses kredit tersebut, kontraknya belum bisa direalisasikan karena belum ada persetujuan dari konsultan hukum. Peran konsultan hukum sangat menentukan dalam final decision apakah satu ajuan kredit bisa di-signing atau tidak.

Kita sudah setengah mati menyusun neraca ini selama enam bulan, tiba-tiba bagian hukum bilang nanti dulu teken kontraknya. Dokumen kita harus dipelajari dulu selama satu bulan. Yang terjadi, kontrak itu justru ditangguhkan.

Akhirnya, setelah setahun bekerja di Panin Bank, dia melamar di sejumlah kantor advokat. Dia sebenarnya diterima bekerja oleh beberapa kantor advokat tapi Aziz menetapkan diri untuk bergabung ke Gani Djemat & Partners (GDP) Law Office, salah satu kantor advokat ternama di Indonesia.

Kiprahnya sebagai advokat di GDP dimulai pada 1994 dan meniti karier mulai dari status magang selama tiga bulan, lawyer (advokat/pengacara), lawyer associate, associate partner, sampai terakhir menjadi managing partner.

Di kantor GDP, dia menemukan proses awal pencarian jati diri dan aktualisasi dalam menyongsong masa depan (to look up the future).

Dua tahun bekerja di GDP, persisnya pada 1996, Aziz menikahi Nurlita Zubaedah, perempuan asal Lampung yang dikenalnya semasa menjadi mahasiswa. Nurlita adalah rekan seangkatan dan sealmamater di Fakultas Ekonomi, Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Dari cinta kasih Aziz-Nurlita lahirlah seorang putri yang cantik dan seorang putra yang gagah. Anak tertua, Safira Arum Syamsuddin, kini duduk di kelas 3 SD High Scope Indonesia, Jakarta. Anak yang kedua, Kharim Nugroho Syamsuddin, duduk di bangku kelas 2 SD High Scope Indonesia.

Pada saat menjadi assosiate, Aziz mendapat penghargaan sebagai lawyer terbaik di Gani Djemat & Partners Law Office. Predikat tersebut diberikan Almarhum Gani Djemat, seorang advokat kawakan dan pimpinan GDP, dengan dasar pertimbangan bahwa dia telah menunjukkan prestasi kerja, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.

Pada tahun 1996, dia diberi kesempatan oleh Gani Djemat untuk melanjutkan studi hukum (S-2) di luar negeri.
Dia mendalami ilmu tentang pasar modal sebagai salah satu bidang Applied Finance di University of Western Sydney, Napean, Australia.

Setelah menyelesaikan studi S-2 di universitas asing tersebut selama 1,5 tahun, Aziz berhak menyandang gelar Master of Applied Finance (MAF), dan mencantumkannya di belakang namanya. Aziz kembali ke Gani Djemat & Partners dan tak lama berselang, dia diangkat sebagai partner.

Pada saat menjadi partner, ia kembali mengambil studi S-2 di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, dengan spesialisasi bidang hak asasi manusia (HAM).

Beberapa bulan setelah menyelesaikan studi di Unpad, dengan menyandang titel Master Hukum (MH), Azis mendapatkan promosi jabatan lagi sebagai managing partners.

Sewaktu menempati posisi strategis sebagai managing partners, dia memutuskan untuk pindah jalur ke politik praktis. Kesempatan terbuka ketika dia ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI dari Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2004.

Agaknya, meskipun sudah menduduki posisi strategis di kantor, Sekretaris Umum Ikatan Alumni FH-Usakti ini sulit menghilangkan nalurinya sebagai organisator.

Keputusannya terjun ke dunia politik praktis sangat dipengaruhi oleh naluri organisator yang telah tertanam, terbentuk, dan terasah dalam jiwanya sejak masih siswa di sekolah menengah sampai menjadi aktivis mahasiswa di kampus.

Tak hanya itu, selama menjadi advokat pun, Aziz masih menyempatkan diri aktif di organisasi massa (Ormas) sebagai anggota Kosgoro 1957, anggota Badan Bantuan Hukum dan HAM Partai Golkar, Penasehat DPD Partai Golkar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

Meski aktivitasnya sebagai advokat terbilang sangat padat dan supersibuk, menangani berbagai persoalan hukum yang dihadapi para klien, dia tak lupa untuk mengaktualisasikan diri di organisasi profesi advokat.

Dia aktif di AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) ?salah satu organisasi profesi advokat terbesar di tanah air. Sampai saat ini, Aziz masih tercatat sebagai anggota Bidang Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AAI Periode 2000-2005.

Sebagai manusia biasa, dia mengalami masa-masa jenuh dalam menjalani profesi advokat. Kompensasi sekaligus momentum terpampang di hadapannya ketika Pemilu 2004 mulai mendekat.

Terbersitlah niat di pikiran dan tekad kuat di jiwa Aziz untuk mencoba memasuki gelanggang politik nasional. Dia pun mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI dalam Pemilu Legislatif 2004.

Bersamaan dengan niatnya itu, dia mengundurkan diri dari kantor advokat Gani Djemat & Partners, tempat di mana selama hampir sepuluh tahun dia memperoleh pengalaman dan pengetahuan hukum yang luas.

Sebelum proses pencalonan itu, sekitar tahun 2002-2003, Aziz melanjutkan studi ke jenjang S-3 mengambil spesialisasi hukum pidana di Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.

Keputusan mantan bankir ini untuk terjun ke dunia politik rupanya tidak salah. Produk asuhan dan didikan seorang bankir ini akhirnya terpilih sebagai anggota DPR-RI. e-ti/af

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments