Sastrawan Angkatan 45
Rustandi Kartakusuma
[ENSIKLOPEDI] Budayawan dan sastrawan angkatan 45, Mh Rustandi Kartakusuma, yang akrab dipanggil Uyus, meninggal dunia dalam usia 87 tahun, Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur. Pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 20 Juli 1921, itu tidak menikah sampai akhir hayatnya. Pada masa mudanya, dia dikenal sebagai sastrawan yang produktif. Dimakamkan Jumat siang 11/4 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon, Cibubur.
Uyus pernah mengajar di Yale University dan Harvard University, Amerika Serikat. Juga pernah memberikan kuliah di Massachusetts Institute of Technology atas undangan Stichting voor Culturele Samenwerking. Sempat setahun tinggal di Belanda dan belajar musik di Muzieklyceum, Amsterdam.
Pada masa tuanya, sejak 13 November 1996, Uyus tinggal di Panti Jompo setelah sebelumnya menumpang di rumah kakaknya di Kebon Sayur, Jakarta. Tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri ia menganugerahkan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan atas jasanya mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan Sunda. Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi juga menganugerahkan penghargaan Sastra Rancage atas kumpulan cerpennya. ti/tsl
***>
Rustandi Kartakusuma
Span>astrawan yang sempat berpolemik dengan St. Takdir Alisjahbana ini, lahir di Ciamis, Jawa Barat 20 Juli 1921. Berlatar belakang Pendidikann Sekolah Desa kemudian pindah HIS Kristen, HBS bagian B di Bandung (1941). Pada zaman Jepang masuk Sekolah Guru Tinggi di Jakarta, setelah tamat sempat menjadi Guru SMP di Garut, tapi setahun kemudian kembali ke Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Islam dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ketika Republik Indonesia sudah di proklamasikan, Rustandi mendapat tugas memimpin serombongan mahasiswa untuk memberikan penerangan ke Bali dan Kepulauan Sunda Kecil (sekarang Nusa Tenggara). Sekembalinya menjalankan misi yang lamanya tujuh bulan itu, ia melapor kepada Menteri Penerangan M. Natsir dan tidak mau menerima ajakan agar terus bekerja disitu, ia memilih aktif dalam bidang kebudayaan dan kesusasteraan. Ia kemudian pergi ke Yogyakarta, untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Gajah Mada jurusan Sastra dan Filsafat, serta Sekolah Tinggi Islam (Yogyakarta), Tetapi setahun kemudian ia pulang ke Jawa Barat bergabung dengan Kompi Juhro, tetapi tidak lama, ia kembali ke Ciamis, tanah kelahirannya dan mulai menulis sajak-sajak dalam bahasa Indonesia.
Akhir dasawarsa 1940-an, sajak dan esai-esainya mulai tampil dalam majalah-majalah terkemuka di Indonesia saat itu, seperti Pudjangga Baru, Mimbar Indonesia, Zenith, dll. Dengan karyanya berupa kumpulan sajak yaitu Prabu dan Putri (terbit 1950), di susul dengan Rekaman dari Tujuh Daerah (1951).
Tahun 1951, mendapat tawaran untuk mengajar bahasa Indonesia di Yale University, Amerika Serikat. Setelah setahun, ia mendapat tawaran untuk memberikan kuliah musim panas di Harvard University dan MIT (Massachusset Institute of Technology), Amerika serikat. Mendapat undangan dari Sticussa (Stichting voor Culture Samenwerking) untuk berkunjung Belanda selama setahun. Dari sana ia pergi ke Belgia dan Spanyol selama setahun, kemudian ke Jerman untuk beberapa bulan, lalu akhirnya ke Paris dan sempat bekerja sebagai karyawan di KBRI.
Sekembalinya dari perjalanan yang memakan waktu lebih kurang lima tahun itu. Rustandi yang telah melihat sendiri kebudayaan barat di pusat-pusatnya, berpendapat bahwa bangsanya seakan-akan mengikuti anjuran St. Takdir Alisjahbana hendak menghirup roh kebudayaan barat, namun dilihatnya bahwa yang sebenarnya dianggap kebudayaan barat itu hanyalah kebudayaan Belanda belaka yang di Barat sendiri tidak dipandang tinggi. Pandangan itu lalu di tuangkan dalam esai panjang berjudul Internasionalisasi Ciliwung”yang dimuat dalam majalah Siasat secara bersambung.
Banyak yang dikemukakan Rustandi pada masa itu, yang kesemuanya berhubungan dengan kebudayaan nasional. Menurut pendapat Rustandi dalam pemikiran kebudayaan nasional Indonesia, terdapat dua aliran. Yang pertama, aliran St. Takdir Alisjahbana yang mutlak berkiblat ke Barat. Yang lain, aliran Sanusi Pane, yang menganggap kebudayaan nasional Indonesia itu harus merupakan paduan dari Arjuna (Timur) dengan Doktor Faustus (Barat).
Tahun 1956 ia diminta memberikan prasaran dalam Kongres Pemuda Sunda tentang kebudayaan. Sejak itu minatnya kepada kebudayaan daerah semakin berkembang. Tahun 1963, mulai menulis cerita pendek dalam bahasa Sunda dan kemudian setelah menjadi pemimpin redaksi majalah Mangle (1964), ia pun menulis roman yang dimuat secara bersambung, disamping kritik dan esai. Dalam masa itu pulalah, ia banyak membimbing para pengarang muda yang menulis dalam bahasa Sunda, diantaranya AAM Amalia, Ningrum Julaeha, Adang S, dll. Setelah berhenti dari Mangle, Rustandi menjadi redaktur majalah Gondewa. Pada waktu memimpin Gondewa iapun banyak membimbing para pengarang yang lebih muda diantaranya Eddy D. Iskandar, Holisoh M.E, dll.
Pada masa demokrasi terpimpin, Rustandi masuk organisasi LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), bahkan sempat menjadi ketua IV tingkat nasional. Selain tentang sastra, ia pun mendalami musik dan film. Belajar musik ia lakoni ketika berada di Belanda di MuziekIyceum di Amsterdam, Belanda (1952-1953). Dalam dunia filmpun ia banyak menulis skenario film Lagu Kian Menjauh, walaupun tidak pernah dibuat filmnya. Pada Festival Film Medan 1974, Rustandi menjadi pemenang Sayembara Penulisan Kritik Film Nasional.
Tahun 1960, dalam kongres kebudayaan yang diselenggarakan oleh BMKN di Bandung, Rustandi menolak hadiah Sastra Nasional yang diberikan kepadanya, untuk dramanya Kembang Merah yang Merah Semua (1958). Pada tahun 1991, majalah Mangle membuat nomor khusus untuk menghormati Rustandi yang genap berusia 70 tahun. Tahun 1992, menerima Hadiah Rancage karena jasanya telah membimbing para pengarang dalam bahasa Sunda yang kemudian menjadi para pengarang andalan dalam bahasa Sunda. Ditahun 2004, mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI, Megawati Soekarnoputri atas jasanya mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan Sunda.
Secara garis besar esai-esai Rustandi dapat dijadikan tiga golongan: yang ditulis sebelum berangkat ke Barat. Yang merupakan esai tentang hal-hal yang universal. Sepulang dari Eropa, esai-esainya memperlihatkan pandangan tajam tentang situasi kebudayaan dan kesenian nasional. Ketiga, esai-esainya tentang kebudayaan daerah Sunda memperlihatkan perhatiannya yang besar terhadap perkembangan kebudayaan daerahnya.
Budayawan yang juga sastrawan angkatan 45 yang pernah mengikuti PEN Club di Dublin, Irlandia (1953) itu meninggal dunia pada tanggal 11 April 2008, dalam usia 87 tahun di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur, jenazahnya dimakamkan di TPU Pondok Rangon, Cibubur. http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/rustandi.html