Sosok Pekerja Keras

Haryono Suyono
 
0
4861
Haryono Suyono
Haryono Suyono | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Bekerja keras dengan tulus, kreatif dan inovatif. Itulah salah satu yang patut diteladani dari mantan Menteri Negara Kependudukan ini. Dia seperti tidak kenal lelah, sepanjang hari bekerja keras dengan kreatif bahkan sampai melebihi panggilan tugasnya. Dia juga seorang tokoh yang terbuka, bersahaja dan teguh pada prinsip. Dia pejabat Orde Baru yang karya pengabdiannya belum tertandingi hingga saat ini, di bidang kependudukan dan keluarga sejahtera.

Bagi ahli komunikasi massa ini, bekerja keras denga tulus, kreatif dan inovatif, mengalir laksana alunan musik symphoni dalam kehidupannya sehari-hari. Dinikmati sedemikian indah untuk mewujudkan impian menjadi rahmat bagi orang lain dan alam semesta.

Kerja keras sudah menjadi filosofi hidup Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya yang meraih gelar master dan doktor dari University of Chicago, Amerika Serikat ini. Dia percaya bahwa dengan kerja keras, apa yang dicita-citakan, suatu ketika, akan menghasilkan buah. Sejak kecil saya biasa bekerja keras,” kata Haryono dalam wawancara khusus dengan tim wartawan Tokoh Indonesia, di ruang kerjanya, Gedung Granadi Lantai 4.

Haryono lahir di Desa Pucang Sewu, Pacitan, Jawa Timur, tanggal 6 Mei 1938, dari pasangan Alimoeso dan Padmirah. Menuruni sifat ibunya, Padmirah, mantan Menko Kesra dan Taskin ini adalah pria yang ulet dan pekerja keras. “Saya percaya bahwa dengan kerja keras suatu ketika cita-cita kita akan menghasilkan buah,” kata Haryono.

Sewaktu kecil, Haryono selalu mendampingi ibunya, karena ayahnya, seorang guru Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar), sering pindah tempat mengajar dari satu desa ke desa pegunungan lainnya di kabupaten Pacitan. Haryono sangat menghormati dan membanggakan perjuangan ibunya yang membuat dirinya terbiasa bekerja keras dan kemudian menjadi orang penting di negeri ini.

Sebagai anak kampung, dia biasa melakukan pekerjaan kasar. Rumah orang tuanya di desa Pucang Sewu, Pacitan, terletak antara desa pegunungan dan pinggiran kota. Ibunya memanfaatkan posisi ini dengan membuka warung kecil, menampung barang-barang dari desa untuk keperluan orang-orang kota, seperti daun jati dan kayu bakar. Daun jati digunakan sebagai pembungkus. Orang-orang desa menjual barang-barang itu kepada ibunya untuk ditukar dengan beras, garam dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.

Pengalaman di masa kecil itu mendarah daging pada dirinya. Dia mengerjakan apa saja yang disuruh ibunya. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Tetapi mendidik anak-anaknya dengan penuh disiplin dan taat pada agama dan orang tua.

Ibunya jeli memanfaatkan peluang dengan banyaknya orang-orang desa yang datang ke kota untuk memasok barang-barang kebutuhan orang kota. “Ibu saya yang menampungnya. Di antara orang-orang desa itu ada yang tidak langsung datang ke pasar. Mereka yang ingin cepat kembali, tetapi butuh beras atau garam, ibu saya yang menukarnya (barter) dengan barang-barang bawaan mereka dari desa. Soalnya orang-orang desa tidak mau pusing, kadang-kadang pasrah saja, asalkan keperluan mereka terpenuhi,” tutur Haryono.

Ibu Padmirah juga cukup bijaksana. Tak jarang penduduk desa satu atau dua hari membantunya bekerja di dapur atau membersihkan halaman. Setelah itu, mereka selalu diberi beras atau barang kebutuhan lainnya. Sang Ibu sering menyuruh Haryono untuk menyiapkan dua atau tiga liter beras sebagai upah.

Begitu juga kalau langganan tidak datang dua atau tiga hari, Ibu Padmirah sering menanyakan, kenapa tidak datang, khawatir dia sakit. Kalau sudah begitu, Ibu Padmirah menyuruh Haryono menunggu warung, agar bisa pergi ke desa menengok para langganannya.

Advertisement

Ke sana Ibu Padmirah membawa beras dan keperluan lainnya. Jadi ibunya tidak hanya mengambil keuntungan dari orang-orang desa, melainkan lebih bijaksana lagi dengan tetap menjalin hubungan persaudaraan dengan mereka. Itulah kesan yang mendalam di dalam hati Haryono, sehingga sampai sekarang dia punya perhatian yang sangat besar terhadap masalah orang-orang kecil.

Selain itu, ibunya menanamkan jiwa dagang dalam dirinya. Jadi, dalam melakukan sesuatu, Haryono tahu untung ruginya. Selain itu, dia juga diajari untuk hidup mandiri. Haryono sering mendapat upah dari ibunya karena berbelanja barang-barang kebutuhan orang-orang desa di pasar. Dari situlah dia mulai menanamkan kemandirian dan rasa percaya diri. crs-sh-am (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 26)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini