Terpilih Ketua Mahkamah Konstitusi
Jimly Asshiddiqie
[ENSIKLOPEDI] Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dengan meraih 5 suara dari delapan anggota MK yang hadir dalam sidang perdana MK di Kantor Mahkamah Agung di Jakarta, Selasa 19/8/03. Sementara hakim agung Dr Mohammad Laica Marzuki terpilih sebagai wakil ketua. Laica Marzuki sendiri tidak hadir karena sakit.
Pria kelahiran Palembang 17 April 1956 ini diangkat menjadi hakim konstitusi atas pilihan DPR. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia ini sebelumnya aktif sebagai salah seorang tim ahli pemerintah untuk penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi. Ia juga tim ahli Badan Pekerja MPR yang telah memberikan pemikiran dalam proses amandemen UUD 1945.
Achmad Roestandi yang memimpin sidang perdana itu mengatakan, setiap anggota hakim memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi ketua dan wakil ketua. “Akan tetapi, Pak Laica tidak dapat memberikan suaranya dalam pemilihan karena tidak hadir, meskipun beliau tetap boleh dipilih,” kata Achmad Roestandi.
Proses pemilihan ketua dan wakil ketua MK memakan waktu sekitar tiga jam. Setiap hakim konstitusi memilih satu nama dari sembilan nama yang ada di kertas suara. Ia dibolehkan melingkari namanya sendiri.
Pada pemilihan ketua, Jimly langsung terpilih hanya dalam satu kali putaran dengan perolehan lima suara dari delapan anggota hakim. Nama lain yang memperoleh suara dalam pemilihan ketua adalah anggota MPR utusan daerah, Dr Haryono SH MCL.
Pemilihan wakil ketua berlangsung ketat, sampai tiga kali putaran. Pada putaran pertama muncul tiga nama, yaitu Haryono (3), Laica Marzuki (3), Achmad Roestandi (1 suara), dan satu orang abstain. Pada putaran kedua Haryono dan Laica sama- sama memperoleh empat suara. Baru pada putaran ketiga Laica unggul dengan lima suara dan Haryono empat suara.
Jimly kepada pers seusai pemilihan mengatakan, meski pelimpahan kasus dari MA ke MK belum dilakukan, para hakim telah diminta untuk sudah mulai mempelajari kasus-kasus yang sebelumnya ditangani MA. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, pelimpahan itu paling lambat dalam waktu 60 hari. Rencananya, diskusi pembahasan soal kasus-kasus itu akan sudah dilakukan pada sidang kedua. “Tapi belum masuk ke materi perkaranya. Prioritas pada kasus judicial review akan dilakukan sesuai urutan masuknya pengajuan,” kata Jimly. ti
***
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie was born in Palembang, 17 April 1956. This Professor of the Faculty of Law, University of Indonesia, graduated from his bachelor degree (1977-1982) and his master degree (1984-1987) from University of Indonesia. While finishing his doctoral degree in the Faculty of Law, University of Indonesia, in 1987-1990, he also attended a sandwich program in cooperation with Rechtssfaculteit Rijks-Universiteit and Van Vollenhoven Institute, Leiden.
Jimly was also registered as a visiting researcher in the School of Law, University of Washington, Seattle, USA in 1989 (under the supervision of Prof. Dr. Daniel S. Lev), attended a Post-Graduate summer refreshment course on Legal Theories and Legal Philosophy program of instruction for Lawyers, Harvard Law School, Cambridge, Massachussett in 1944 (under the direction of Prof. Dr. Austin Wakeman Scott and the supervision of Prof. Dr. Charles Davies and Prof. Dr. Roberto Mangabera Unger), and a Visiting Researcher, Kyoto University, Kyoto, Japan in 2003. Under the official invitation of French Government, he conducted a comparative study visit between the Constitutional Court of the Republic of Indonesia and the Constitutional Court of French in Paris and the Constitutional Court of Austria in Vienna, June – July 2003.
This father of four children has a wish to build the institution of the Constitutional Court in accordance with public expectation and contribute to the attempts of constitution enforcement as the Highest Constitution in order to implement democracy and governance based on the rule of law. mk
***
Jimly Asshiddiqie Belum Berpikir Jadi Politisi
Jimly Asshiddiqie membuat keputusan yang terkesan mendadak. Mantan ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu mengajukan pengunduran diri ke presiden sebagai hakim konstitusi Selasa lalu (7/10). Mengapa dia mendadak mundur? Benarkah Jimly akan maju dalam Pilpres 2009? Berikut penuturan Jimly kepada Jawa Pos di kantornya, gedung MK, Jakarta.
Keputusan mundur Anda cukup mengejutkan. Sebagian kalangan ada yang mengkritik Anda. Ada yang menyebut Anda bukan negarawan. Komentar Anda?
Saya menanggapi reaksi masyarakat itu biasa saja. Sebab, keputusan mundur ini juga biasa bagi saya. Menurut saya, yang disebut negarawan adalah seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri dan golongan. Orientasi dalam bekerja adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Dia juga harus bekerja secara profesional. Kalau soal isu negarawan, saya sudah mengabdi kepada negara ini sejak lama. Tahun 1993, saya sudah menjadi staf ahli menteri pendidikan dan kebudayaan. Saya juga pernah menjadi asisten wakil presiden pada 1998-1999. Menjadi anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc I (PAH I), Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam rangka Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada 2001, dan tugas kenegaraan lain. Saya juga pernah menjabat ketua MK sejak 2003. Intinya, yang perlu saya tegaskan, pengunduran diri saya tidak ada hubungannya sama sekali dengan negarawan atau tidak. Hanya aktivitas biasa. Jangan berlebihan.
Ada yang menilai mundur Anda itu sangat politis. Anda bakal bersaing dalam Pilpres 2009. Anda akan bersaing merebut kursi RI 2, bahkan RI 1?
Begini, saat bertemu dengan Ketua DPR Agung Laksono, saya disuruh mundur akhir Desember 2008 atau awal Januari 2009. Saya jawab kelamaan. Kalau saya mundur menjelang Pemilu 2009, asumsi pengunduran diri saya terkait politis bakal lebih menguat. Saya bisa dinilai benar-benar mengincar itu (capres atau cawapres, Red). Padahal, pengunduran diri saya ini tidak mengarah ke sana. Saya mundur karena saya menilai masa transisi untuk memilih hakim konstitusi sudah berjalan mulus. Hakim-hakim konstitusi yang terpilih juga sudah tepat dan baik.
Kalau ditarik menjadi isu politis, coba saja dianalisis sendiri. Saya tidak mempunyai parpol. Kalau tidak punya parpol, bagaimana bisa mengarah ke sana (maju pilpres, Red). Ada yang memberikan nasihat kepada saya, kalau sudah menjadi negarawan, jangan menjadi politisi. Saya sudah dianggap sebagai negarawan. Saya juga tidak mau berpihak dan menjadi partisan. Tugas saya sebagai hakim konstitusi memang akan selesai. Tapi, saya akan membantu siapa saja untuk kepentingan negara dan bangsa.
Sudah ada parpol yang melamar atau mendekati Anda?
Belum.. Saya juga belum berpikir menjadi politisi. Soal itu jangan dibicarakan sekaranglah.
Ada anggapan, Anda mundur karena kecewa tak lagi terpilih menjadi ketua MK?
Pertama, yang perlu diketahui, saya justru yang mengajak Pak Mahfud (Mahfud M.D., ketua MK sekarang, Red) masuk MK. Saat berkunjung ke beberapa daerah, termasuk ke Jatim, saya selalu bilang Pak Mahfud adalah sosok yang tepat menggantikan saya di MK. Ceritanya, saat ada kunjungan di Kediri, Jawa Timur, ada ceramah, saya mengatakan kepada publik yang hadir bahwa Mahfud adalah pengganti saya yang tepat. Saat itu saya juga menyebut Yusril (mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Red) sebagai sosok yang layak masuk MK. Jadi, MK di bawah Pak Mahfud dan hakim-hakim yang lain tinggal melanjutkan kinerja yang telah dilakukan. Tidak ada rasa kecewa. Saya ikhlas menyerahkan palu kepada orang yang tepat.
Kalau begitu, mengapa dalam bursa pemilihan ketua MK, Anda mau dicalonkan kembali?
Saya sebenarnya sudah menolak dari awal. Sebelum pemilihan anggota MK periode 2008-2011, saya sebenarnya sudah mau berhenti dan tidak mau dicalonkan. Tapi, beberapa parpol besar tetap mendorong saya agar maju lagi. Ada lima parpol yang mengatakan dan mendukung saya agar maju lagi. Karena menghormati yang mendukung, saya akhirnya bersedia dicalonkan. Tapi, tetap saya bilang bahwa saya akan mundur.
Apa saja kelima parpol itu?
Pokoknya, lima partai besar. Yang bisa saya katakan, saya dekat dengan semua parpol. Saya berhubungan baik dengan para pimpinan parpol besar. Saya dekat dengan Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PAN. Bahkan, yang ideologinya berbeda dengan saya seperti PDIP, saya juga dekat. Dengan PKB dan Gus Dur, saya juga dekat. Bahkan, saya baru saja menemui Gus Dur. Bicara soal bangsalah. Jadi, insya Allah, hubungan dengan parpol akan saya jaga terus dengan baik.
Bagaimana soal kabar bahwa Anda bakal masuk ke Mahkamah Agung (MA)? Bahkan, ada isu bakal jadi ketua menggantikan Bagir Manan?
Semua isu itu kurang realistis. Soal capres atau cawapres, misalnya, siapa masyarakat bawah yang kenal saya? Saya ini kurang dikenal di masyarakat. Memang banyak yang melakukan puja puji kepada saya. Bahkan, ada yang ngefans berat kepada saya. Tiap hari, orang yang senang kepada saya itu mengirimkan SMS berupa pujian. Saya sampai capek membalasnya. Tapi, kan jumlahnya sedikit. Di kalangan elite atau masyarakat perkotaan, saya memang dikenal. Dikenal sebagai pejabat yang bersih, misalnya. Tapi, kan saya juga harus menghitung, saya tetap kurang dikenal masyarakat. Belum populer. Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) yang masih kuat. Sebagai ketua MK, memang saya terkenal. Tapi, untuk menjadi capres atau cawapres, tentu suara saya sangat kurang. Jadi, saya harus realistis.
Lalu soal MA. Memang saya mendengar ada yang mengatakan saya calon ketua MA. Tapi, lagi-lagi kurang tepat. Sebab, ketua MA itu ditentukan dalam rapat pleno para hakim agung. Dalam rapat pleno itu, para hakim agung yang memilih dan memberikan sendiri suara terhadap calon ketua MA-nya. Pemilihan ketua MA itu sama dengan pemilihan ketua MK. Artinya, calon terpilih dari internal. Lha saya, kan masih di MK sampai akhir November.
Tapi, kalau ada yang mengusulkan Anda masuk menjadi hakim agung, kan ada peluang jadi ketua MA…
Saya belum bisa berkomentar. Saya hanya berpikir yang realistis saja saat ini.
Apa rencana Anda setelah mundur?
Biasa, saya mengajar. Kembali ke kampus. Saya juga masih membantu MK dari luar. Misalnya, menyosialisasikan dan lebih memperkuat jaringan MK ke perguruan tinggi. Saya juga sedang menyelesaikan editing buku saya yang akan diterbitkan Maxwell. Rencananya, judulnya The Fundamental of Indonesia Constitutional Law. Buku ini akan menjadi panduan resmi universitas-universitas di luar negeri, seperti AS dan Inggris. Buku ini akan menjadi buku pegangan resmi mahasiswa asing yang ingin tahu tentang persoalan hukum dan konstitusi di Indonesia. Buku ini merupakan panduan terlengkap yang pernah ditulis tentang konstitusi di Indonesia.
Apa program berat MK di masa depan?
MK saat ini telah menjadi lembaga yang mapan dan tertib secara administrasi. Meski berusia muda, MK mampu membangun struktur, kultur, budaya, dan mekanisme kerja yang sangat profesional. Jangka pendek, tugas berat yang menanti adalah munculnya perselisihan hasil Pemilu 2009 mendatang. Juga persoalan pilkada.
Menangani perselisihan pemilu pada Pemilu 2009 lebih berat daripada Pemilu 2004. Objek sengketanya lebih kompleks dan sangat rumit. Misalnya, dulu perolehan angka suara legislatif hanya dipengaruhi kursi. Tapi untuk 2009, dipengaruhi juga parliamentary threshold. Saya kira tugas hakim konstitusional ke depan menjadi lebih berat. Akan lebih banyak sengketa yang masuk.
Perasaan Anda sekarang?
Saya ini orang yang ikhlas dan legawa. Kini saya akan lebih bebas dan netral. Saya mendapat banyak nasihat dari para kiai dan ulama agar tetap netral dalam berperilaku dan tetap dalam koridor kebenaran. Kebenaran beragama, bermasyarakat, dan bernegara. (suyunus rizki ekananda/kum)
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Dianugerahi Bintang Mahaputra
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Dr. Jimly Asshiddiqie dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana oleh negara. Penyerahan penghargaan dilakukan Sabtu (15/8/2009). Penghargaan itu diberikan atas jasanya memimpin MK selama dua periode, yakni, 2003-2006 dan 2006-2008. Berkat kepemimpinannya, keberadaan MK menjadi dikenal oleh publik.
Jimly bersyukur karena negara memberikan penghormatan Bintang Mahaputra Adipradana. “Saya baru mendapatkan surat pemberian penghargaan ini pada Jumat (ini),” katanya di Jakarta, Jumat (14/8).
Dia mengaku penghargaan tersebut sebenarnya adalah penghargaan untuk MK, karena dari sembilan hakim konstitusi semasanya, lima orang di antaranya mendapatkan Bintang Mahaputra Utama.
“Saya mendapatkan Bintang Mahaputra Adipradana bersama lima mantan hakim konstitusi yang mendapatkan Mahaputra Utama. Sedangkan tiga hakim konstitusi lainnya saat ini masih bertugas,” katanya. Menurut Jimly, penghargaan untuk mantan hakim MK tersebut secara tidak langsung memberikan bukti bahwa MK berhasil terpatri di hati rakyat.
***
Mundur Sebagai Hakim Konstitusi
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. “Saya merasa bisa lebih bebas berbicara kepada publik setelah mundur. Selama menjadi hakim, saya tidak bisa bicara bebas karena harus membatasi diri,” jels Jimly.
Jimly bersama Ketua MK Mahfud MD bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa 7 Oktober 2008 melaporkan pengunduran dirinya tersebut. Seusai bertemu Presiden, Jimly menggelar jumpa pers di Kantor MK. Namun dia menolak ketika ditanyakan alasan pengunduran dirinya. Dia mengakui tak ada masalah antara dirinya dan Ketua MK Mahfud MD.
Dia bahkan mengungkapkan bahwa banyak yang tahu kalau dia yang tarik-tarik Mahfud untuk masuk sebagai hakim konstitusi. Kemudian, Mahfud MD terpilih menjadi Ketua MK menggantikan Jimly.
Menurut Jimly, selepas menjabat hakim di MK, dia akan lebih bebas dan netral. Dia mengaku mendapat masukan dari berbagai kalangan, khususnya ulama, agar tetap menjaga netralitas. Karena itu, dia belum terpikir untuk menerjuni politik praktis.
Jimly menjadi Ketua MK periode 2003-2008. Ia mengakui tugasnya di MK sudah selesai meski seharusnya hingga 2013. Ia merasa sudah mengantarkan hakim MK periode 2008-2013 dan cukup mendampingi mereka.
***
Diberhentikan dan Diangkat Kembali
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberhentikan dan kemudian mengangkat kembali Jimly Asshiddiqie sebagai satu dari sembilan hakim di Mahkamah Konstitusi atau MK. Jimly diambil sumpahnya bersama lima hakim konstitusi lain di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (16/8/2008).
Jimly diambil sumpahnya bersama lima hakim konstitusi lain di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (16/8/2008) yakni Akil Mochtar, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, Ahmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati. Mereka diangkat sebagai hakim konstitusi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 71 E Tahun 2008 dan Nomor 72 B Tahun 2008 tertanggal 15 Agustus 2008.
Acara itu, antara lain dihadiri, Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, dan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa.
Kemudian dalam pemilihan Ketua MK yang berlangsung terbuka di ruang sidang pleno gedung MK, Jakarta, Selasa (19/8/2008), Jimly Asshiddiqie yang sudah dua periode menjabat ketua MK digantikan Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, SH, SU, yang terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011. Ia didampingi Abdul Muhktie Fadjar sebagai wakil ketua MK. Pemilihan berlangsung terbuka dalam dua putaran. Pada putaran pertama, Mahfud dan Jimly sama-sama meraih empat suara dan satu suara abstain. Pada putaran kedua, Mahfud unggul atas Jimly dengan 5-4 suara.
Pilihan DPR
Jimly dan Akil adalah hakim konstitusi pilihan DPR. Maruarar adalah hakim konstitusi dari jalur MA. Sedangkan Mukthie Fadjar, Ahmad Sodiki, dan Maria Farida adalah hakim konstitusi yang mewakili pemerintah, yang ditetapkan setelah melalui proses penyaringan seleksi yang panjang sejak Februari 2008 yang dipimpin anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution. Ketiganya merupakan hasil penyaringan tim seleksi yang menghasilkan 15 nama calon hakim konstitusi.
Sabtu malam, MK juga menggelar pelepasan tiga hakim konstitusi periode 2003-2008 yang memasuki masa purnabakti. Ketiganya adalah I Dewa Gede Palguna, Harjono, dan HAS Natabaya. Jimly dan Mukthie Fadjar sebenarnya juga memasuki masa purnabakti, tetapi mereka terpilih kembali.
Seusai pelantikan dan pengambilan sumpah, enam hakim konstitusi itu menandatangani berita acara pelantikan. Setelah itu Presiden dan para pejabat negara didampingi istri masing-masing memberikan ucapan selamat.
Selain enam hakim konstitusi yang dilantik dan diambil sumpahnya sehari sebelum peringatan hari ulang tahun ke-63 kemerdekaan Republik Indonesia, tiga hakim konstitusi lain sudah dilantik dan diambil sumpah sebelumnya. Mereka adalah Arsyad Sanusi dan Muhammad Alim dari unsur MA serta Mahfud MD yang dipilih DPR. e-ti