The Dream Team Ingin Bergerak Cepat, Tapi…
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
[ENSIKLOPEDI] Saat menjabat Menko Bidang Perekonomian Kabinet Gotong Royong, ia ingin bergerak cepat pada strategi penciptaan lapangan kerja. Sungguh ia risau tiga tahun terbengkalai sehingga banyak rakyat Indonesia tidak mendapat pekerjaan yang layak. Ia juga sangat galau mengenai utang Indonesia. Menurutnya, dibandingkan dengan utang pada IMF dan Bank Dunia, justeru yang paling gawat adalah utang dalam negeri Indonesia.
Kala itu, ia juga ingin mempertimbangkan jenis pajak. Jangan sampai (pajak) membebani perusahaan yang justru menciptakan lapangan kerja, seperti mebel dan kerajinan tangan. Perbaikan ekonomi tidak mungkin dilakukan tanpa adanya investasi. Juga ingin proyek konstruksi jalan laut, prasarana udara mulai kita laksanakan kembali. Kalau tidak, kita tidak siap masuk AFTA yang sudah diambang pintu.
Selama tiga tahun lebih, ia aktif ikut dalam tim negosiasi dengan IMF. Meskipun sesekali ada ketertundaan dalam melakukan kesepakatan dengan IMF, ia harapkan pemerintah dapat dengan cepat menyetujui langkah yang dapat diambil bersama dengan IMF.
Ekonom kawakan ini masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) bagai suatu ‘kecelakaan’. Kendati kemudian, ia menemukan kenikmatan tersendiri dalam mempelajari ilmu ekonomi itu. Maka, begitu meraih gelar SE, pada 1964, ia melanjut ke Universitas Berkeley, California, AS. Ia merai gelar MA di universitas ini pada 1966. Gelar doktor (Ph.D.) pun diraih di universitas ini empat belas tahun kemudian. Disertasinya berjudul, Political Economy: The Case on Indonesia under the New Order, 1966-1980.
Ayahnya memberinya nama Dorodjatun. Nama itu rupanya diambil dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Karena tanggal lahir Djatun, 25 November 1939 di Rangkasbitung, Jawa Barat, bertepatan dengan hari naik tahtanya Sultan.
Mantan Dekan FE UI ini selain sering memberikan tanggapan di koran-koran, juga banyak menulis. Setidaknya ada tiga bukunya terbit di Singapura, oleh ISEAS, dan tiga lainnya diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, ADC New York, dan Universitas Tokyo/Unesco.
Ia memang rajin membaca, mulai dari buku ekonomi, politik, filsafat, sejarah, sampai mitologi dan novel. Anggota berbagai kelompok studi di luar negeri ini menyukai novel karangan Boris Pasternak dan Solsyenitsin dari Rusia, serta Kawabata dan Mishima dari Jepang. Ekonom yang sempat ditahan ketika Peristiwa Malari (1974) ini adalah bekas anggota regu renang mahasiswa UI. Sampai saat ini ia masih rajin berenang, di samping jogging.
Suami Emiwati (kepala dokumentasi Matari Advertising, Jakarta) ini sangat terkenal di kalangan pelaku pasar. Dia juga dianggap pandai dalam melakukan lobi, apalagi terhadap AS. Penunjukan dirinya sebagai Menko Perekonomian pun disambut positif pasar. Bahkan, karena faktor namanya, tim ekonomi Kabinet Gotong Royong yang dipimpinnya disebut banyak orang sebagai The Dream Team.
Kendati belakangan harapan yang terlalu besar digantungkan kepada tim ini, tidak sepenuhnya dapat dipenuhi. Bahkan tim ini sering bersilang pendapat di media massa, terutama dengan Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional yang lebih berperangai sebagai pengamat.
Setelah enam bulan masuk tim ekonomi, Djatun panggilan akrab Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti- berdiskusi di depan masyarakat Indonesia di Washington, USA. Pada diskusi itu, ia berbicara gambling. Ia membeberkan unek-uneknya soal utang dalam negeri Indonesia. Menurutnya, dibandingkan dengan utang pada IMF dan Bank Dunia, justeru yang paling gawat adalah utang dalam negeri Indonesia.
Pada kesempatan itu, ia juga mengungkap isu yang melibatkan para obligor raksasa maupun menengah. Diakuinya, isu itu sangat kompleks. Apalagi, sering dipolitisasi dan diplintir. Ia mengaku sedang berpacu melawan waktu yang mepet, terutama dengan deadline berakhirnya tugas BPPN pada Desember 2003.
Dalam diskusi saat ramah-tamah dengan sekitar 200 orang masyarakat Indonesia di KBRI Washington, yang juga dihadiri antara lain Atase Pertahanan RI di AS Brigjen Hendrawan Ostefan, dan Ketua IKI (Ikatan Keluarga Indonesia) Ambar Abbink, ia bicara apa adanya. Diskusi itu dipandu KUAI KBRI Thomas Aquino Samodra Sriwijaya, mantan Dubes RI di AS.
Nilai utang luar negeri itu sama dengan dalam negeri, yakni kurang lebih USD 70-an miliar. Sekitar USD 70 miliar di luar, USD 70 miliar dari dalam. Bedanya, utang dari luar itu berupa soft loan, sehingga jangka pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga pinjaman ODA (official development assistance) bahkan 0,3 persen. Pinjaman dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen. “Tetapi, yang dari dalam negeri itu kan sama dengan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), yakni kurang lebih 17 persen. Coba bayangkan,” katanya.
Ia mengajak hadirin berhitung. Dalam hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sekitar Rp 655 triliun. Dengan bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya Rp 60 triliun setiap tahun. “Itu sama dengan USD 6 miliar toh. Yang di luar paling banter hanya USD 2 miliar, Anda bayar. Yang di luar selalu bisa dijadwalkan kembali. Dan, ini kebanggaan Indonesia.
Sejak dulu, tak pernah ngemplang. Indonesia terkenal di lembaga multilateral. Kita nggak pernah ngemplang, selalu bayar. Tapi, jika mepet, kita minta penjadwalan kembali, yaitu dari pokok (pembayaran pokok utang, Red), principal, dan dari bunga,” jelasnya. Yang parahnya adalah utang dalam negeri. Sebab, harus dibayar lewat budget (anggaran negara).
“Itu diambil dari penghasilan negara, masuk sebagai pengeluaran, lalu dikasih ke bank-bank yang bangkrut itu. Supaya bank-nya enggak bangkrut, kita kasih obligasi. Lantas, kita kasih penghasilan pada bank, sehingga bank jalan. Jadi, itu sebetulnya kita subsidi bank-bank itu. Tapi kalau kita tenggelamkan bank itu, sekian juta nasabah bank kita ini nggak punya lembaga penjamin. Tidak ada deposit insurance, seperti yang semestinya,” katanya.
Di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah yang harus ganti. Kalau di AS, jaminannya dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100 ribu USD. Sedangkan untuk Indonesia, untuk jumlah berapa pun, tidak ada jaminan seperti itu.
Di Indonesia tidak ada. Karena itu, terpaksa dikasih blanket guarantee (jaminan menyeluruh) saat krisis 1998. Nggak peduli sebabnya, pokoknya semua yang berurusan dengan bank, digaransi. Jadi, enak saja, diganti. “Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi. Yang hebat, on budget dan off budget digaransi,” ungkapnya.
Ia mengaku tengah berupaya bagaimana mengurangi beban dalam negeri. “Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial kan hanya Rp 2,85 triliun. Sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi Rp 60 triliun. Coba, berapa juta orang miskin bisa ditolong, kalau bisa dikurangi. Tapi, untuk mengurangi, bond-nya itu harus di-redeem (bond redemption, penebusan obligasi). Bond-nya itulah yang bisa ditarik kalau obligor besar, penghutang besar yang bikin berantakan negeri kita ini, memenuhi kewajibannya membayar utang-utang itu. “Ini lupa dilakukan selama 4 tahun,” ujarnya dengan nada tinggi.
Ia tidak berhenti sampai di situ. Soal obligor ini dicecarnya terus, dengan kalimat mengalir deras dan bahasa lugas. “Jadi, para obligor besar itu, baik top 21, top 50, dan top 100, kecil sekali pengembaliannya. Bahkan, 39 bank yang dibekukan kewajibannya Rp 27 triliun. Tapi, cuma bayar Rp 1 triliun sampai kini. Itu sudah empat tahun!” imbuhnya.
Ia melihat saat ini masalah itu makin kompleks dan gawat. “Sudah mau habis, Desember 2003, kalau tidak diselesaikan, pas nanti itu BPPN nya habis tugasnya. Tahun 2004 saya harus bikin pidato ibu (Presiden Megawati, Red) di MPR: ‘Saudara-saudara sebangsa setanah air, ternyata sesudah kita hitung pengembalian yang dilakukan oleh para obligor besar dan bank-bank beku itu, tak mungkin mengembalikan seluruh Rp 655 triliun. Masih tersisa kurang lebih Rp 400 triliun yang harus dibawa sebagai beban utang dalam negeri Indonesia.’ Terus, bagaimana reaksi rakyat?” papar Djatun panjang lebar.
Suasana ruang pertemuan hening. Seolah paham betapa persoalan utang yang dihadapi Indonesia, khususnya Menko Perekonomian, begitu dahsyat. “Ini yang saya pusingkan sekarang. Saya mulai bilang sama mereka. Bayar dong,” katanya. Yang jadi masalah, ungkap Djatun, syaratnya ketika itu melalui kontrak perdata. “Karena syaratnya dulu, kontraknya itu dibikin kontrak perdata. Karena out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan), ya segitu disetujui dua-duanya tanda tangan pemerintah Indonesia saat Pak Habibie dan kemudian dengan orang obligornya tandatangan, itu settle.
Dan sesudah settle, pemerintah mengeluarkan surat letter of discharge and release (surat bebas dari tuntutan lain) dan tidak bisa dipidanakan. Sesudah itu, seluruh asset nya dikembalikan ke mereka, ke pemilik lama. Oleh mereka, disuruh dilola, dijalankan terus. Kita bayar management fee sama dia untuk menjalankan itu. Sesudah itu, arus kasnya tidak di-escrow (escrow account, ditaruh di rekening penjamin, red) di bank. Kemudian di perusahaan-perusahaan itu, kita tidak menempatkan chief financial officer (CFO). Now you tell me, siapa, betapa luar biasanya imaginasi penyusun kontrak saat itu. Don’t ask me!” ujarnya, sengit.
Djatun tampak berapi-api membeber isu yang selama ini enggak pernah terungkap di depan publik. Masalah obligor yang diwarisi pemerintah Megawati saat ini, ditambah tetek-bengek keanehan praktik era lama dan jadi beban saat ini dan di masa depan, Djatun tidak mau tedheng aling-aling.
“Lha, sesudah itu diharapkan mereka sukarela menjual aset. Sudah dibuktikan, kita dimaki: ‘Itu harga Indomobil, Indosiar Pak Djatun dan sebagainya.’ Eh, itu bukan aku yang jual! Itu pemilik lama yang jual. Itu kewajiban dia. Kenapa nggak dipenjarakan
saja, seperti dibilang nyonya saya (isteri Djatun, Red). Nggak bisa! Sebab, itu perdata perjanjiannya. Mungkin barang buktinya sudah susah dicari, duitnya sudah lama ke mana, owners-nya lari ke luar negeri semua. Kalau saya panggil, kan mesti pakai red
notice interpol.
Makanya, jangan mau gampang jadi Menko,” tukasnya di akhir kalimat seolah menetralisir tegangnya pembeberan soal obligor itu. Djatun kemudian membuka sedikit cerita awalnya jadi menko. “Ketika saya jadi menko, saya lihat bagian dalamnya. Ini gimana. Siapa in the end of the game, yang tanggung jawab semua ini. Kan obligor itu. Sekarang kita mau coba mereka. Ayo, penuhi janji itu. Tapi, secepat- cepatnya dan sehebatnya, menurut perkiraan saudara Ade Sumantri (pejabat BPPN, Red) dan teman-teman, paling banter kita bisa kembalikan hanya 26 persen. Jadi, yang Rp 400 triliun, itu sisa dalam negeri,” katanya.
Karena itu, Djatun heran kenapa justru IMF yang dicibir. Padahal, bunga pinjaman IMF sangat rendah. “Jadi, banyak cerita diplintir- plintir di luar. Yang kita pakai di LoI IMF itu adalah semua yang tidak dikerjakan pemerintah Soeharto dalam 30 tahun. Saya nggak gerti kenapa disebarkan cerita mengenai IMF. Nggak ngerti saya. Alternatifnya apa? Bank Dunia digituin juga,” ujarnya masygul.
Djatun malah heran, soal obligor ini, para pengkritik itu diam. “Tetapi, obligor yang tidak mau bayar malah tidak dimarahi. Kita yang mau selesaikan malah dibilang mau gampang saja sama obligor. Kita nggak berbuat apa-apa, dimarahin. Kita jual, dibilang harganya terlalu rendah. Kita diam, dimarahi juga. Jadi, mau yang mana ini? Padahal, waktunya sudah mau habis, tahun 2003. Itu cerita utang kita,” tutupnya soal utang.
Djatun minta siapa saja supaya mengedepankan fakta ketimbang persepsi. “Hey, bung. Jangan main persepsi hari-hari ini, tapi main fakta. Asyik kalau main fakta. Soal persepsi memang sengaja dikembangkan oleh orang-orang yang mau bermain politik. Saya nggak main politik. Sampai jam ini, saya nggak mau main politik. Karena itu, lontarkan saja,” jelasnya.
Sebagian hadirin puas campur masygul dengan problematika utang yang dibeber Djatun. Apalagi, Djatun tampil bersemangat, terbuka, dan apa adanya. Itu mengingatkan orang pada integritas, kejujuran, dan idealismenya hingga pernah dua tahun dipenjara tanpa diadili oleh rezim Soeharto ketika Malari 1974. Djatun di AS menghadiri World Economic Forum di New York, sekaligus melakukan pembicaraan dengan IMF, World Bank, dan Treasury (Depkeu AS). Selain Djatun, anggota delegasinya adalah staf pejabat kantor Menko Perekonomian, BPPN, dan Depkeu. e-ti, dari berbagai sumber, antara lain Djon D. Siregar (national@mail2.factsoft.de)