Visioner di Balik Transformasi Kompas Gramedia
Agung Adiprasetyo
Agung Adiprasetyo adalah pemimpin visioner yang berhasil membawa Kompas Gramedia, salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia, melewati era disrupsi digital dengan strategi inovatif dan kepemimpinan yang kuat. Berkarier dari bawah hingga menjadi CEO Kompas Gramedia (2006–2015), ia menerapkan berbagai strategi transformasi, termasuk 5C Values, konsep Triple M (Multimedia, Multichannel, Multiplatform), integrasi single newsroom, dan mengembangkan ekosistem KG Inc. Setelah pensiun, peraih penghargaan CEO Terbaik Kedua versi Majalah SWA (2010) ini terus berbagi ilmu melalui seminar dan buku-buku.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Agung Adiprasetyo lahir di Semarang, 18 Oktober 1958. Ia merupakan lulusan SMA Loyola, Semarang, dan melanjutkan studi di IKIP Sanata Dharma jurusan Bisnis, lulus pada tahun 1981. Ia kemudian memperoleh gelar Magister Manajemen dari Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) Jakarta.
Kariernya di dunia media dimulai dari posisi dasar. Pada tahun 1983, ia bergabung dengan Harian Kompas sebagai pegawai di bagian iklan dengan tugas mengecap tanda bukti iklan. Meski memulai dari pekerjaan sederhana, dedikasi dan kerja kerasnya membawanya ke jenjang yang lebih tinggi dalam perusahaan.
Saat menempuh pendidikan di Sanata Dharma, Agung Adiprasetyo mengalami keterbatasan finansial sehingga tidak mampu membeli buku untuk menyelesaikan skripsinya. Ia harus membaca dan mencatat isi buku di toko buku karena tidak mampu membelinya. Pengalaman ini kemudian membuatnya meminta agar buku di toko Gramedia tidak semuanya dibungkus plastik, sehingga mahasiswa yang kurang mampu tetap bisa membaca dan memperoleh ilmu.
Seiring waktu, Agung Adiprasetyo menunjukkan kapabilitasnya dalam mengelola bisnis media. Pada tahun 1998, di tengah krisis keuangan yang melanda Indonesia, ia diangkat sebagai Direktur Bisnis sekaligus General Manager (GM) Iklan Kompas. Posisi ini menjadi ujian besar baginya untuk membantu Kompas tetap bertahan di industri media yang tengah menghadapi perubahan besar.
Keberhasilannya dalam mengelola bisnis membawa Agung Adiprasetyo ke posisi strategis di Kompas Gramedia. Pada tahun 2000, ia diangkat sebagai Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas. Puncak kariernya terjadi pada tahun 2006 ketika ia dipercaya menjabat sebagai CEO Kompas Gramedia. Selama masa kepemimpinannya, ia terus berinovasi dan mendorong perusahaan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Sebagai CEO, Agung Adiprasetyo tidak hanya berfokus pada pertumbuhan bisnis, tetapi juga pada transformasi budaya perusahaan. Ia dan timnya merancang strategi jangka panjang untuk memastikan Kompas Gramedia tetap kompetitif di era digital. Salah satu langkahnya adalah membentuk Holding Company sebagai fondasi pengembangan bisnis ke berbagai sektor.
Agung Adiprasetyo juga memperkenalkan 5C Values – Caring, Credible, Competent, Competitive, dan Customer Delight – sebagai pedoman utama bagi seluruh karyawan dalam membangun budaya kerja yang kuat. Ia percaya bahwa kesuksesan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh strategi bisnis, tetapi juga oleh nilai-nilai yang dipegang teguh oleh setiap individu dalam organisasi.
Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, industri media mengalami pergeseran besar akibat digitalisasi. Banyak pihak, termasuk tokoh teknologi dunia seperti Bill Gates, memprediksi bahwa media cetak akan segera mati. Namun, Agung Adiprasetyo melihat digitalisasi bukan sebagai ancaman, melainkan peluang untuk berkembang lebih jauh.
Untuk menghadapi tantangan ini, ia memperkenalkan strategi Triple M (Multimedia, Multichannel, Multiplatform), yang memastikan bahwa konten Kompas Gramedia dapat diakses melalui berbagai platform, termasuk Media Cetak (koran, majalah, buku), Media Digital (website, aplikasi mobile, media sosial), Penyiaran (radio, televisi), Event dan Pendidikan (seminar, workshop, e-learning).
Sebagai langkah konkret dalam transformasi digital, ia mendirikan Desk Multimedia di Kompas pada tahun 2009. Di bawah kepemimpinannya, Kompas tidak hanya berfokus pada media cetak, tetapi juga mengembangkan bisnis di bidang digital, penyiaran, event, serta pendidikan. Ia juga memperkenalkan konsep single newsroom, yaitu sistem kerja yang mengintegrasikan wartawan cetak, online, dan televisi dalam satu struktur redaksi. Konsep ini memungkinkan produksi berita yang lebih cepat, efisien, dan dapat diadaptasi ke berbagai platform sesuai kebutuhan audiens.
Salah satu inovasi besar yang diperkenalkan Agung Adiprasetyo adalah konsep KG Inc, sebuah ekosistem yang mengintegrasikan seluruh aset konten Kompas Gramedia. Ia mengibaratkan KG Inc sebagai “bendungan besar” yang menampung berbagai bentuk konten, yang kemudian bisa dimanfaatkan kembali dalam berbagai format di seluruh unit bisnis Kompas Gramedia, termasuk media cetak, digital, radio, dan televisi.
Dengan KG Inc, Kompas Gramedia tidak hanya menjadi perusahaan media, tetapi juga sebuah ekosistem yang memungkinkan sinergi antarunit bisnis untuk memperkuat posisi perusahaan di industri media dan komunikasi.
Sebagai pemimpin, Agung Adiprasetyo menyadari bahwa keberlanjutan perusahaan sangat bergantung pada regenerasi kepemimpinan. Ia dipercaya oleh pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, untuk membimbing generasi baru manajer muda yang dinamis, adaptif, dan inovatif.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya adalah mengubah mindset wartawan cetak agar bisa beradaptasi dengan era digital. Banyak wartawan senior yang awalnya enggan belajar keterampilan baru seperti menulis untuk platform digital atau membuat laporan multimedia. Untuk mengatasi tantangan ini, Agung Adiprasetyo menekankan pentingnya pelatihan dan pendidikan berbasis jurnalisme digital.
Ia juga menyadari pentingnya edukasi dalam industri periklanan. Oleh karena itu, ia mendorong agen-agen iklan agar lebih memahami tren periklanan digital berbasis data dan analitik.
Pada tahun 2010, Agung Adiprasetyo dinobatkan sebagai CEO terbaik kedua oleh Majalah SWA. Penghargaan ini diberikan berdasarkan riset terhadap 300 kandidat CEO yang dianggap layak mengikuti kompetisi The Best CEO 2010. Dari jumlah tersebut, hanya 111 nama yang lolos seleksi akhir.
Penilaian dilakukan melalui survei online kepada 30-50 karyawan yang bekerja 1-4 level di bawah CEO masing-masing perusahaan. Kriteria penilaian berdasarkan The 4 Roles of Leadership dan Employee Commitment Index.
Agung Adiprasetyo dinilai mampu mengelola Kompas Gramedia sebagai perusahaan yang semakin terdiversifikasi, tidak hanya berfokus pada media cetak, tetapi juga merambah berbagai sektor. Di bawah kepemimpinannya, Kompas Gramedia berkembang menjadi well-managed company, yang dijadikan benchmark bagi industri media. Dalam kompetisi The Best CEO 2010, Agung Adiprasetyo mengumpulkan poin 94,36, hanya kalah dari Yuslam Fauzi, CEO Bank Syariah Mandiri, yang memperoleh 96,44 poin.
Setelah memimpin Kompas Gramedia selama hampir satu dekade, Agung Adiprasetyo resmi mengakhiri masa jabatannya sebagai CEO pada tahun 2015. Ia kemudian digantikan oleh Lilik Oetama, putra dari pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama. Pergantian kepemimpinan ini dilakukan sebagai bagian dari strategi perusahaan dalam menghadapi perubahan industri dan dinamika bisnis.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai CEO pada tahun 2016, Agung Adiprasetyo tetap aktif berbagi ilmu dan pengalaman melalui seminar, kuliah umum, serta penulisan buku. Salah satu bukunya yang berjudul Memetik Matahari berisi refleksi perjalanan hidup dan kariernya, serta prinsip-prinsip kepemimpinan yang ia pegang selama bertahun-tahun. Buku ini menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama mereka yang ingin mengembangkan karier dan bisnis dengan prinsip kerja keras, inovasi, dan ketahanan dalam menghadapi perubahan.
Melalui berbagai analogi dan kisah nyata, Agung Adiprasetyo menggambarkan bagaimana seseorang bisa menghadapi tantangan dengan cara yang berbeda—lari dari masalah seperti burung unta, mencari alternatif seperti kucing, atau berani menerobos seperti babi hutan. Ia juga menyoroti mentalitas gajah Bangalore, yang menggambarkan orang-orang yang merasa terjebak dalam keterbatasan meskipun sebenarnya mampu berkembang.
Dilengkapi dengan contoh dari tokoh sukses seperti Bob Sadino, Jonan, dan Purnomo Prawiro, buku ini menekankan bahwa keberhasilan bukan sekadar meniru orang lain, tetapi menemukan dan mengembangkan potensi diri sendiri.
Buku-buku lain yang sudah dia tulis diantaranya Menjaga Api (2014), Kodok Pun Bisa Menjadi Kerbau (2019), Saat Kita Ingin Mengubah Orang Lain (2022), dan Biografi Nyanyian Hidup Nafsiah Mboi (2022) yang ditulis bersama wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih.
Perjalanan Agung Adiprasetyo dari seorang pegawai sederhana hingga menjadi CEO Kompas Gramedia menunjukkan bahwa kerja keras, adaptasi, dan inovasi adalah kunci kesuksesan. Keberhasilan Agung Adiprasetyo dalam memimpin transformasi Kompas Gramedia menjadikannya salah satu tokoh media paling dihormati di Indonesia. Pemikirannya tentang inovasi dan adaptasi bisnis masih menjadi referensi penting bagi banyak profesional yang ingin sukses di industri media yang terus berkembang. (atur/TokohIndonesia.com)
Referensi:
- Media Online: Kompas, Tribunnews, Kontan, Gramedia, dan lainnya
- Publikasi: Tesis Aritasius Sugiya, FISIP UI, 2012 (Strategi Transformasi Konvergensi Media, Studi Kasus Grand Strategy Harian Kompas) dan Makalah Ludwig Suparmo, STIKOM Inter Studi (Transformasi Budaya Perusahaan Kelompok Kompas Gramedia)