Advokat Peduli HAM
Todung Mulya Lubis
[DIREKTORI] Konsistensi dalam membela keadilan dan hak asasi manusia (HAM) mengangkat nama Todung Mulya Lubis ke jajaran advokat dan aktivis HAM papan atas di Indonesia. Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) ini pernah menangani beberapa kasus peradilan, hukum dan HAM yang mendapat perhatian publik di Indonesia maupun luar negeri.
Todung Mulya Lubis lahir di Muara Botung, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 4 Juli 1949. Namanya mempunyai makna khusus. Todung artinya payung yang berguna untuk melindungi orang dari panas dan hujan. Sedangkan Mulya artinya mulia, perbuatan dan hatinya mulia.
Sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, Todung dibesarkan di tengah keluarga yang menjunjung tinggi nilai disiplin dan demokrasi. Meski demikian, Todung juga mengaku pernah berbuat nakal. Salah satunya, mencuri ayam karena dorongan dan pengaruh teman-temannya. Orangtuanya yang berwiraswasta dan sering berpindah-pindah rumah membuat Todung sering berpindah-pindah sekolah. SD di Jambi (1963), SMP di Pekanbaru (1966) dan SMA di Medan (1968).
Pada tahun 1969, Todung hijrah ke Jakarta dan masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ketika kuliah, Todung muda memilih kerja paruh waktu di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tanpa dibayar. Semasa mahasiswa hukum, dia juga giat sebagai aktivis berdemonstrasi memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru. Selanjutnya, atas bantuan duta besar Amerika, dia akhirnya melanjutkan sekolah ke Law School, University of California, Berkeley, Amerika Serikat dan lulus tahun 1978.
Todung menikah dengan Damiyati Soendoro pada tahun 1983 dan dikaruniai beberapa orang anak. Todung bertemu pertama kali dengan istrinya saat ditugaskan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menangani kasus penggusuran lahan di Surabaya. Selama enam bulan di sana, benih-benih asmara tumbuh antara Todung dan sang istri yang saat itu bekerja sebagai dokter gigi di Puskesmas.
Todung bersama Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM) menggagas Yap Thiam Hien Award pada tahun 1992, sebuah penghargaan tertinggi bagi mereka yang berprestasi besar dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia.
Sikap keras dan tegas praktisi hukum, pendiri sekaligus pemimpin konsultan hukum Law Firm Mulya Lubis & Associates ini mulai diasah saat menjadi mahasiswa. Ketika itu, sebagai aktivis, dia ikut menentang kebijakan Presiden Soeharto membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dia dan kawan-kawannya sebenarnya bukan tidak menyetujui pembangunan TMII, tapi saat itu, dana yang digunakan untuk pembangunan tersebut menurut mereka sebaiknya dialihkan untuk pembayaran gaji guru dan pembangunan rumah sakit.
Selanjutnya, banyak upaya yang dipelopori Todung untuk memprotes ketidakadilan yang dilakukan penguasa terhadap masyarakat atau yang dilakukan sekelompok warga terhadap warga lainnya. Misalnya, dia menjadi salah seorang pendiri Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama aktivis HAM, Munir (alm). Dia juga tercatat sebagai tokoh di balik organisasi antikorupsi di negeri ini yakni Dewan Pengawas Transparency International (TI) Indonesia dan Indonesia Coruption Watch (ICW). Sebelumnya, Todung juga adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan anggota Pembentuk IMPARSIAL.
Pada tahun 1981-1985, dia menjadi Ketua Dewan HAM Regional Asia, Manila, Filipina. Kemudian anggota International Bar Association (IBA) sejak 1983, anggota Koalisi HAM Asia, Bangkok, Thailand (1982-1986), anggota Indonesian Human Right Monitor (2002), anggota Dewan Pengawas Indonesian Procurement Watch (IPW, 2002).
Dia juga salah satu pendiri dan menjadi anggota Dewan KONTRAS 1998, Pendiri Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM, 1992), anggota Dewan Penasihat Perlindungan Internasional Indonesia (CI, 2002), anggota Komisi HAM Asia, Hong Kong (1984-1986), Pembentuk Dewan HAM Internet (Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat 1987-1989), Koordinator Jaringan Universitas untuk Pemilihan yang Bebas dan Adil (UNFREL, 1998-1999), Wakil Ketua Dewan Pusat Komisi Pengawasan Pemilihan Umum (PANWASLU, 1999), dan Wakil Ketua Komisi Investigasi HAM untuk Timor Timur (1999).
Berikutnya, dia pernah sebagai anggota Dewan Pengawas Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI, 1996), Kepala Dewan Etis Badan Pengawas Korupsi Indonesia (ICW, 1998), anggota Dewan Pengawas Pusat “Electoral Reform” (CETRO, 1999), anggota Dewan Pengawas Yayasan TIFA (1999), anggota International Chamber of Commerce (ICC, 2000), Ketua Dewan Pengawas Transparency International Indonesia (TI, 2000-2003), lalu menjadi Ketua Dewan Eksekutif TI tahun 2004, dan Ketua Indonesian International Crisis Group (ICG, 2000-2006).
Keputusannya untuk menjadi aktivis kemanusiaan tidak lepas dari minatnya pada dunia seni seperti menulis cerpen, puisi, dan bermain drama. Lulusan Law School, University of California dan Harvard Law School, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat ini bisa melihat lebih dekat penderitaan, tragedi dan ironi sehingga kepekaannya sebagai manusia diasah. Apalagi saat dia bergabung dengan LBH, dia bertemu banyak orang, seperti orang yang tanahnya digusur dan buruh yang di PHK. Semua itu katanya membuat dirinya menjadi lebih manusiawi.
Nama Todung makin dikenal tatkala ia mengukir beberapa prestasi dalam sejarah peradilan Indonesia. Salah satu kasus besar yang pernah dia menangkan adalah ketika ia menjadi pengacara majalah TIME melawan mantan Presiden Soeharto (alm) di awal tahun 2000. Kemenangan itu menjadi catatan tersendiri bagi Todung karena bisa mengalahkan mantan penguasa Orde Baru itu untuk yang pertama kalinya. Namun sayang, tujuh tahun kemudian, kasus ini kembali heboh setelah Mahkamah Agung (MA) lewat putusan kasasinya memenangkan Soeharto atas gugatannya kepada majalah Time. Bagi sejumlah kalangan, putusan ini semakin menambah daftar panjang posisi MA sebagai “mesin cuci” kekuasaan.
Kasus lain yang mendapat sorotan publik adalah ketika Todung menjadi pengacara Isabel Yahya, seorang model yang fotonya dalam karya instalasi Agus Suwage dianggap mengandung unsur pornografi. Dia juga pernah tampil membela korban pelanggaran HAM di Timor-Timur dan Aceh, dan di lain waktu, dia pernah mengecam keras aksi yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) yang mengusir mantan Presiden Abdurrahman Wahid ketika berada dalam diskusi Lintas Agama dan Etnis tentang Rancangan Undang-Undang Pornografi di Purwakarta.
Seiring dengan kegigihannya memperjuangkan keadilan hukum dan HAM, Todung mengaku sering menerima bermacam-macam teror, baik melalui telepon, surat, SMS, sampai ancaman fisik. Pada masa pemerintahan Orde Baru, dia pernah dicekal selama tiga tahun. Selama itu, dia tidak boleh ke luar negeri, tidak boleh ceramah, menulis, dan tidak boleh mengajar. Oleh pemerintahan Soeharto ketika itu, dia dinilai terlampau keras membela tahanan politik.
Menghadapi tantangan demikian, dia mengaku hanya pasrah kepada Sang Khalik. “Kalau tidak merasa melakukan kesalahan tidak perlu takut,” katanya. Masih mengenai teror yang dia terima, dia juga mengatakan, semua orang yang terlibat dalam hal itu akan mengalami seperti yang dia alami.
Selain tantangan seperti disebutkan sebelumnya, Todung juga mendapat tantangan dari organisasi profesinya sendiri yakni Peradi. Ia dinilai telah melanggar etika advokat sehingga pada 12 Mei 2008, Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta memberhentikannya sebagai advokat (mencabut lesensinya sebagai pengacara).
Kasus ini bermula pada tahun 2002, ketika Todung menjadi salah seorang anggota Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan (TBH KKSK), mewakili Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) cq Menteri Keuangan cq Pemerintah RI, dia ditugaskan untuk melakukan legal audit terhadap keluarga Salim, pemilik Sugar Group Companies (SGC). Namun, ketika SGC (pemilik baru) berperkara melawan keluarga Salim dan pemerintah di tahun 2006, Todung berbalik membela keluarga Salim. Atas dasar inilah, Peradi menilai Todung telah melanggar Pasal 4 huruf G dan Pasl 3 huruf B Kode Etik Advokat. Menurut Majelis Dewan Kehormatan, Todung dinyatakan mempunyai konflik kepentingan terhadap keluarga Salim.
Keputusan ini memang tidak serta merta menamatkan karir kepengacaraan Todung yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun itu. “Dia bisa melakukan banding ke majelis kehormatan Dewan Pimpinan Nasional,” ujar Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan saat itu.
Soal kasus ini, pengacara senior Adnan Buyung Nasution memilih membela Todung dan meminta Todung untuk mengabaikan putusan Peradi. “Legalitas Peradi itu tidak ada,” ujarnya. Menurut Buyung, Peradi dibentuk beberapa orang tanpa mandat dari seluruh advokat Indonesia. Padahal, sesuai Undang-Undang Advokat, pembentukan wadah advokat harus melibatkan para pengacara. “Undang-Undang itu saya yang buat, saya arsiteknya,” ujar Buyung. Pengacara yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu meminta Todung tidak mengajukan banding, karena jika itu dilakukan, sama dengan mengakui Peradi.
Todung kemudian keluar dari Peradi dan bergabung dengan Kongres Advokat Indonesia. Tapi oleh organisasi pengacara baru itu (3 Desember 2008), Todung Mulya Lubis juga tetap dinyatakan melanggar kode etik advokat sehingga Todung diberhentikan sementara waktu yakni selama 1 bulan 15 hari.
Persoalan tentang Todung yang sudah tidak diakui sebagai advokat oleh kubu Otto Hasibuan terus berlanjut hingga tahun 2013 tatkala Todung diundang dalam rapat dengar pendapat Badan Legislasi yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat, Senin, 25/3/2013.
Sebagaimana diketahui bersama, Ikatan Advokasi Indonesia (Ikadin) telah terpecah menjadi dua, kubu Todung dan kubu Otto Hasibuan. Ikadin pimpinan Todung mengklaim sebagai pewaris Ikadin yang sah warisan advokat-advokat senior seperti Harjono Tjitrosoebono, Suardi Tasrif, Yap Tiam Hien, Lukman Wiriadinata, Amartiwi Saleh, dan Adnan Buyung Nasution, Sukardjo Adodjojo dan Maruli Simorangkir. Adnan Buyung Nasution bahkan menegaskan bahwa Ikadin pimpinan Todung lah yang sah. Sedangkan Ikadin pimpinan Otto Hasibuan juga mengklaim hal yang sama dengan menyebut diri sebagai Ikadin yang sah.
Perseteruan antara dua kubu ini kemudian terlihat dalam rapat dengar pendapat Badan Legislasi itu. Saat itu, kubu Otto mempertanyakan alasan hadirnya Todung Mulya Lubis beserta jajaran pengurus Ikadin pimpinannya dalam ruang Baleg. “Saya mau pertanyakan alasan Pak Todung hadir dalam rapat ini? Sangat naif rasanya organisasi advokat dipimpin bukan advokat. Terlepas Todung sah atau tidak, dia sudah bukan advokat,” ujar Sekretaris Ikadin versi Otto Hasibuan, Adardam Achyar. Aksi saling ejek pun terjadi di antara kedua kubu, sampai akhirnya mereka memukul meja dan saling berseru. “Keluar! Keluar!” ujar kubu Otto sambil menggebrak-gebrak meja. Todung pun tak peduli akan ejek-ejekan yang ada dan tetap melanjutkan pandangannya soal RUU Advokat.
Dari sekian banyak tantangan yang dihadapinya itu, ada pula hujatan yang agak ‘nyeleneh’ dan tidak mendasar kepada Todung yang disampaikan seorang blogger lewat internet. Sekitar April 2009, Todung disebut sebagai seorang gay alias pria yang menyukai sejenisnya.
Menanggapi tantangan yang satu ini, Todung mengaku sempat geram dan berpikir hendak mengajukan gugatan. Dia mengaku, anak dan stafnya juga sampai kaget dan menanyakan kebenaran berita itu. Namun berkat nasihat temannya yang mengingatkan bahwa menggugat penyebar informasi yang tak bertanggung jawab lewat internet dalam era kini tidak produktif, akhirnya dia pun tidak memperpanjang masalah tersebut. “Diamkan saja, nanti orang akan paham mana berita yang sesungguhnya dan mana yang ‘sampah’. Dalam era keranjingan informasi yang tak disertai kematangan nilai dan norma, semua orang belajar dan berproses menuju titik ekuilibrium antara penyebaran informasi yang bertanggung jawab dan yang tak bertanggung jawab,” kata Todung kepada wartawan mengutip ucapan rekannya.
Di tengah banyak tantangan itu, Todung mengaku bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang mendukungnya. Selain keluarga dan istri, setidaknya ada empat pribadi yang mendapat tempat khusus di hatinya. Salah satunya, Profesor Daniel Lev yang dianggapnya sebagai guru, sahabat, dan teman. Dia mengaku mengenal Daniel sejak tahun 1971 ketika dia menjadi mahasiswa fakultas hukum. Daniel banyak membantu karir dan perjalanan hidup Todung. Sosok kedua menurutnya adalah almarhum Yap Thiam Hien, seorang advokat senior yang gigih menjadi pejuang HAM. Todung mengaku berutang budi padanya. Berkat keteladanan Yap pulalah, Todung bersama Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM) menggagas Yap Thiam Hien Award pada tahun 1992, sebuah penghargaan tertinggi bagi mereka yang berprestasi besar dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia. Seperti diketahui selama ini, Yap Thiam Hien adalah seorang Cina Protestan yang berprofesi sebagai advokat dan berjuang untuk seluruh rakyat Indonesia, tidak untuk orang Cina atau kelompok Protestan saja.
Sosok ketiga yang Todung kagumi adalah ayahnya sendiri, Sati Lubis. Baginya, sang ayah termasuk orang tua yang disiplin, demokratis dan selalu mengajarkan kejujuran dan kesederhanaan. Selain itu, dia juga mengaku kagum pada Gandhi yang dianggapnya sebagai sosok yang jujur, sederhana dan tidak menyukai kekerasan. Buat Todung, keempat sosok tersebut adalah tokoh yang sangat luar biasa.
Meski terjun di dunia hukum dan HAM, Todung rupanya seorang pecinta sastra. Dia mengagumi karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang dan A.A. Navis. Pria yang waktu kecil bercita-cita jadi diplomat ini mengaku sejak sekolah dasar sudah suka membaca novel, biografi dan sejarah, seperti sejarah lahirnya Amerika Serikat, biografi George Washington presiden pertama memimpin Amerika, Thomas Jefferson perumus konstitusi Amerika dan biografi Benjamin Franklin.
Saat ditanya apakah juga menyukai karya novelis muda sekarang seperti Dewi Lestari atau Ayu Utami, Todung mengaku membaca novelnya, tapi menurutnya terlalu gaul. Sehingga dia lebih menyukai karya Iwan Simatupang atau Pramoedya Ananta Toer. Sementara novelis luar, dia menyukai karya John Stamp, Robert Frost dan beberapa penyair Rusia di antaranya Leon Trotsky.
Dengan modal suka membaca, ditambah dengan pengalamannya sebagai advokat dan aktivis, Todung telah menulis beberapa buku di antaranya, ‘Kontroversi Hukuman Mati’, sebuah buku berupa pandangan, analisis, dan tinjauan mengenai hukuman mati dan perbedaan pendapat mengenai pemberlakuannya di Indonesia. Buku ini ditulisnya bersama Alexander Lay.
Kemudian, ada lagi bukunya dalam Bahasa Inggris berjudul ‘In Search of Human Rights’. Buku ini merupakan studi sistematis pertama tentang hak-hak asasi manusia di Indonesia. Dalam buku ini, Todung memaparkan hasil risetnya mengenai betapa berbedanya negara-negara Amerika Serikat dan Afrika dalam hal HAM.
Masih dalam topik HAM, dia juga pernah menulis buku yang diberi judul ‘Jalan Panjang Hak Asasi Manusia’. Buku ini berisi karya tulisnya dari berbagai sumber, terutama media massa, sejak 1990 sampai 2004.
Todung juga pernah membuat buku dengan judul ‘Jam-Jam Gelisah’ (2006), sebuah buku yang memuat puisi-puisinya yang telah muncul di media sejak dekade 70-an, seperti ‘Pada Sebuah Lorong’ yang terbit pada tahun 1968.
Pada tahun 2013, Todung meluncurkan buku berjudul ‘Catatan Harian Todung Mulya Lubis’. Buku yang ditulis dari perspektif seorang praktisi hukum ini berisi catatan Todung tentang beberapa hal terutama hukum, HAM, politik dan kasus korupsi.
Reformasi Tidak Mengurangi Kebobrokan
Menyinggung mengenai reformasi bidang hukum di Indonesia, Todung mengatakan bahwa reformasi di empat pilar hukum yakni pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan advokat, antara ada dan tiada. Dikatakan ada, tapi tidak sesuai dengan harapan. “Lihat apa yang terjadi di Kejaksaan Agung. Begitu banyak berita tentang jaksa yang memeras terdakwa. Ini membuktikan bahwa pemerintah gagal melakukan pembersihan di dalam tubuh Jaksa Agung,” katanya dalam wawancara dengan Male Emporium (ME) beberapa tahun silam. Hal serupa juga menurutnya terjadi di kepolisian dan pengadilan. Dengan menyebutkan beberapa contoh, dia mengatakan bahwa itu baru sebagian kecil dari banyak kasus lain yang serupa.
Todung juga melihat bahwa hancurnya penegakan hukum di Indonesia dikarenakan jumlah advokat hitam yang semakin mendominasi. Hal itu menurut dia berimbas pada advokat-advokat muda yang tidak memiliki panutan atau referensi positif untuk ditiru dalam penegakan hukum. Hal itu dikatakan Todung dalam acara Peringatan 100 Tahun Yap Tiam Hien dan Peluncuran Buku berjudul “Yap Thiem Hien: Pejuang Lintas Bangsa” di Jakarta, 23/5/2013.
Di sisi lain, Todung mengatakan bahwa reformasi di bidang hukum memang ada. “Saya tidak mau menutup mata, reformasi di bidang hukum ada. Contohnya, sekarang untuk memeriksa pejabat yang diduga terlibat korupsi tidak sesulit dulu. Izin dari Presiden pun cepat dan tidak sulit,” ujarnya.
Lebih lanjut Todung menyebutkan potret umum dunia penegakan hukum Indonesia. Untuk mempercepat proses pemberantasan korupsi, pemerintah sudah mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan untuk mengawasi kinerja hakim, pemerintah membentuk Komisi Yudisial. Begitu juga di bidang hukum, pemerintah membentuk Komisi Hukum Nasional. Jadi secara keseluruhan, menurutnya, reformasi di bidang hukum terjadi. Tapi, bersamaan dengan reformasi, kebobrokan tetap berlangsung. Reformasi tidak mengurangi kebobrokan.
Pria yang pernah menjadi dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menjelaskan beberapa penyebab reformasi di bidang hukum sulit diterapkan. Pertama, karena kebobrokan birokrasi pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Menurutnya, sejak Dekrit Presiden Soekarno 1945, kemandirian pengadilan mulai dipreteli. Kekuasaan eksekutif mulai dominan, akibatnya kemandirian yudikatif perlahan-lahan melemah. Sebelum Dekrit Presiden 1945, peradilan Indonesia pernah mengadili menteri, tapi sekarang seperti itu tidak akan ada lagi. Apa lagi semasa Orde Baru, melalui undang undang, Soeharto memberangus independensi peradilan. Inilah puncak kehancuran dari peradilan. Jadi menurutnya, kehancuran itu sudah dimulai sejak lama.
Kedua, pada pemerintahan Orde Baru masyarakat dibiarkan konsumtif demi mendongkrak kemajuan pembangunan. Seiring dengan itu, produk asing masuk Indonesia. Sementara gaji hakim, jaksa, polisi dan advokat terbatas. Akibatnya mereka menjual putusan pengadilan, SP3, surat perintah penahanan dan lain-lain.
Ketiga, political will pemerintah tidak cukup kuat. Dia menyadari bahwa sektor penegakan hukum sangat penting dan rawan dengan korupsi. Untuk terhindar dari korupsi, dia menyatakan, pemerintah harus meningkatkan anggaran di bidang itu, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengadakan training di dalam dan luar negeri.
Ketiga unsur itu menurutnya, banyak memberi kontribusi terhadap hancurnya penegakan hukum, ditambah budaya hukum kompromistis. Menurutnya, di luar negeri, seorang pejabat menerima sesuatu dianggap korupsi, tetapi di Indonesia hal itu dianggap uang terima kasih. Mahkamah Agung yang pernah mengeluarkan kebijakan kode etik hakim di mana hakim boleh menerima hadiah, hal itu juga menurutnya sama saja membuka pintu suap atau sogokan. Sedangkan mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan hukum itu, dia menyatakan masih tidak tahu apakah bisa menyelesaikan masalah itu dalam satu generasi.
Dalam hal menghindari budaya suap menyuap di lingkungan kerjanya, Todung mengaku selalu mengatakan kepada kliennya hanya melayani klien yang mematuhi undang-undang, tidak melanggar hukum, beretika, dan tidak terlibat KKN. Kepada lawyernya, dia juga mengaku selalu mengatakan jangan melakukan penyuapan terhadap hakim, jaksa, atau meminta uang terhadap klien. Walau demikian, dia mengaku pernah juga ada yang nakal, tapi sudah dia berhentikan.
Todung juga menyoroti masalah pemberlakuan hukum Islam lewat perda. Menurutnya, dalam masyarakat majemuk seharusnya tidak ada hukum berdasarkan agama, hukum itu bersifat universal. Hukum tidak mengikat satu kelompok. Sebagai bangsa besar bangsa Indonesia menurutnya harus mengakui kemajemukan. “Apa kita mau Papua, NTT atau Kalimantan Tengah mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan agama?” katanya balik bertanya. Pemberlakuan Perda itu menurutnya merupakan langkah mundur dari kehidupan bernegara. Bio TokohIndonesia.com | cid, red