Fokus Pada Busana Muslim
Itang Yunasz
[DIREKTORI] Di jagad fashion Indonesia, namanya masuk dalam deretan perancang busana ternama Tanah Air. Meski sempat merambah bidang lain, pada akhirnya pemilik empat label fashion ini tetap setia menjalani pilihan hidupnya sebagai desainer. Belakangan ia lebih berkonsentrasi dalam merancang busana muslim.
Menjadi perancang busana bukanlah cita-cita Itang Yunasz. Saat masih kanak-kanak, putra pasangan Yunas St. Pengeran dan Yuliana ini justru lebih berhasrat menjadi tentara seperti ayahnya. Meski berkarir di dunia militer, ayah Itang memiliki bakat terpendam di bidang seni. Itang masih ingat benar saat ayahnya menggabungkan helai demi helai kain perca menjadi sebuah lukisan yang indah. Darah seni itu di kemudian hari rupanya juga mengalir deras di dalam diri Itang Yunasz. Itulah mengapa anak keenam dari delapan bersaudara ini mantap memilih karirnya sebagai perancang busana.
Pilihannya menjadi perancang busana sempat terkendala lantaran di masa awal ia merintis karir, belum ada sekolah khusus desainer. Namun pemilik nama asli Yusjirwan Yunasz ini tak patah semangat, ia mendalami ilmu merancang busana secara otodidak. Perkenalannya dengan seorang desainer Italia bernama Renato Balestra, kian membuka jalannya untuk menjadi perancang busana profesional. Balestra tak hanya menularkan ilmunya di dunia fashion tapi juga memberikan kesempatan pada Itang untuk magang di Roma, Italia pada tahun 1979. “Pertamanya memang agak canggung. Namun karena saya dekat dengannya, pengembangan bakat saya jauh lebih gampang,” kata pria Minang kelahiran Jakarta, 31 Desember 1958 ini seperti dikutip dari situs pdat.co.id.
Setelah dua tahun merantau di negara orang, Itang kembali ke Indonesia pada tahun 1981. Kemudian Itang mengikuti Lomba Perancang Mode (LPM) Femina di Jakarta dan berhasil meraih juara kedua sekaligus berhak atas hadiah uang tunai sebesar Rp 6 juta. Uang itulah yang kemudian dijadikannya sebagai modal membuka usaha. Dua peragawati termuka di masa itu, yakni Enny Soekamto dan Danny Dahlan digandeng menjadi rekan bisnisnya.
Pada tahun 1986, Itang melebarkan sayap bisnisnya dengan mendirikan PT Yunasz Astabrata yang memproduksi busana dengan merek Itang Yunasz atau berlogo SZ. Itang kemudian membidik para eksekutif muda pekerja kantoran dengan meluncurkan rancangan busana formal nan elegan berlabel Tatum.
Belakangan, Itang mulai mendesain busana muslim dengan merilis label Preview untuk segmen masyarakat menengah ke bawah. Kreativitas Itang tadi bisa terlihat dari baju koko yang sering dikenakan Ustadz Jefri Al Buchori. Desainnya yang simpel, kasual, namun tetap terlihat santun menjadikan baju yang populer di kalangan masyarakat umum dengan sebutan koko UJ itu menjadi baju koko paling laris di Indonesia.
Selain merancang busana-busana eksklusif, Itang juga banyak membuat busana massal, salah satunya adalah baju almamater Universitas Indonesia yang setiap tahunnya dibuat untuk para mahasiswa baru universitas negeri bergengsi tersebut. Meski diproduksi secara massal, tak membuat busana rancangannya terkesan murahan.
Tren busana muslim yang kini semakin menggeliat membuat para perancang berlomba-lomba menciptakan busana muslim yang modern. Itang juga tidak mau ketinggalan. Setelah sukses meluncurkan Preview dengan baju kokonya, suami Yeni Mulyani ini meluncurkan rancangan busana muslimah dengan nama Marrakech. “Saya juga didorong istri saya yang memakai baju muslim untuk membuatkan baju muslim yang tidak bikin pemakainya kelihatan tua. Juga ada permintaan dari beberapa orang yang meminta saya membuat baju muslimah,” tutur Itang.
Tahun 2010, setelah sekitar 15 tahun lamanya tak menggelar fashion show tunggal, Itang kembali muncul dengan desain yang menawarkan beragam gaya dalam pergelaran busana bertema “Heaven Sent”. Dalam pagelaran busana itu, Itang menampilkan puluhan rancangan busana muslim terbarunya. Itang ingin koleksinya memanjakan perempuan muslim yang selalu memberi perhatian khusus terhadap gaya berpakaian agar selalu tampil cantik. “Saya memiliki filosofi yang memfokuskan diri menyajikan aura cantik, suci, elegan, dan berkarakter kuat pada busana muslim yang dikenakan kaum Hawa,” kata Itang seperti dikutip situs tempo interaktif.
Itang juga menyadari para wanita pemakai busana muslim perlu melewati berbagai tahapan dalam mencapai kesempurnaan mengenakan busana penutup aurat sesuai dengan kaidah agama. Oleh karena itu, dalam pagelaran busananya saat itu, ia memberikan pilihan koleksi busana muslim yang beragam. Untuk para pemula, busana muslim rancangan Itang membawa aura nyaman dan muda dengan menghadirkan warna terang bermotif pakis dan ornamen kepeng logam.
Selain merancang busana-busana eksklusif, Itang juga banyak membuat busana massal, salah satunya adalah baju almamater Universitas Indonesia yang setiap tahunnya dibuat untuk para mahasiswa baru universitas negeri bergengsi tersebut. Meski diproduksi secara massal, tak membuat busana rancangannya terkesan murahan.
Pengalaman selama puluhan tahun membuat setiap rancangan sesederhana apapun yang dihasilkan Itang selalu terlihat berkelas. Selain mengandalkan pengalaman, kreativitasnya juga didorong kekayaan imajinasi lewat inspirasi. Inspirasi itu, kata Itang, bisa datang di sembarang tempat. Bahkan di kamar mandi sekalipun. “Sehabis bepergian, semua hal terekam dalam pikiran,” paparnya. “Bila sedang duduk di kloset atau berendam, saya memejamkan mata. Biasanya, ide-ide akan bermunculan. Lalu saya tumpahkan lewat gambar pada secarik kertas,” tambah desainer senior ini.
Selain berkarya di dunia fashion, ia juga pernah terjun ke dunia musik dan seni peran. Sekitar tahun 80-an, ia pernah mengeluarkan beberapa album, namun yang paling sukses diterima pasar adalah Heidy dengan tembang hitsnya Aku Cinta Padamu. Diakuinya, menyanyi sudah menjadi hobinya sejak kecil, meski bukan yang utama. Namun karena keterbatasan waktu, mau tak mau Itang harus memilih. Desainer pun menjadi pilihan hidupnya dengan pertimbangan seorang desainer dituntut untuk lebih banyak tinggal di tempat kerja agar selalu dapat berhubungan dengan pelanggan. Sedangkan seorang artis harus selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. “Kalau saya main film, wajah bisa memudar. Kalau saya menyanyi, suara bisa hilang atau tidak digemari lagi,” kata Itang yang merasa lebih mantap sebagai desainer.
Meski sosoknya sudah dikenal luas masyarakat, Itang mengaku belum merasa sukses sebagai perancang busana. Karena menurutnya, ukuran sukses seorang desainer adalah apabila karyanya sudah diterima di banyak negara. Namun untuk sampai ke sana, seorang desainer Indonesia seperti Itang merasa menemui kendala pendukungan dana untuk pengembangan karirnya. Ini berbeda dengan para desainer Jepang, yang sering didanai oleh seseorang atau sebuah perusahaan untuk menjadi seorang desainer yang top di negara lain. eti | muli, red