Merasa Lebih Marhaenis
Rachmawati Soekarnoputri
[DIREKTORI] Dia putri kedua Bung Karno dari Fatmawati. Dari semua saudaranya, tampaknya dia merasa paling artikulatif membicarakan ajaran Marhaenisme. Bahkan di depan publik seringkali Rachma, panggilan akrabnya, meremehkan kakaknya sendiri, mantan Presiden Megawati, yang juga Ketua Umum PDIP.
Sikapnya yang dianggap publik terlalu menyepelekan dan cenderung membenci kakaknya sendiri itu, terlihat dari berbagai pernyataannya terutama saat Megawati menjabat Presiden Republik Indonesia. Rachma seperti ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih pantas memimpin Indonesia dari kakanya Megawati.
Namun Pemilu 2004 telah menunjukkan pernyataan publik. Partai Pelopor yang dipimpin Rachma sangat tidak sebanding dengan dukungan rakyat pemilih kepada PDIP pimpinan Megawati.
Pada Pemilu 2004 itu tiga putri proklamator Bung Karno tampil dengan membawa biduk partai sendiri. Megawati Sukarnoputri dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rachmawati Sukarnoputri mengusung Partai Pelopor (PP) dan Sukmawati Sukarnoputri memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis.
Ketiga partai itu (PDIP, Partai Pelopor dan PNI Marhaenis) itu memiliki hubungan sejarah dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Sukarno. Kendati PDIP dan Partai Pelopor berasas Pancasila dan hanya PNI Marhaenis, yang secara tegas menyatakan asas Marhaenisme ajaran Bung Karno.
Namun Rachma tampaknya merasa paling marhaenis dari kakak dan adiknya. Dia lebih artikulatif membicarakan ajaran Marhaenisme.
Bung Karno mengajarkan marhaenisme sebagai teori perjuangan, sekaligus sebagai teori politik dengan tiang penyangga sosionasionalisme dan sosio demokrasi. Ajaran ini lahir sebagai jawaban terhadap praktis kolonialisme dan imperialisme penjajah Belanda di tanah air.
Sukarno menggali ajaran ini dari rahim budaya Indonesia. Pada masa-masa pergerakan nasional, Sukarno kuliah di Bandung dan menemukan jodoh Inggit Garnasih. Sehingga dia sangat intim dengan budaya Sunda.
Suatu ketika, Sukarno berjalan di persawahan di daerah Bandung Selatan, ia berkenalan dengan seorang petani bernama Abdi Marhaen. Petani itu punya sawah sendiri, memiliki cangkul dan rumah sebagai tempat tinggal. Akan tetapi, sekalipun memiliki alat produksi sendiri, kehidupannya sangat tidak layak.
Gambaran kehidupan petani Marhaen ini, kemudian dijadikannya salah satu pilar ajaran Marhaenisme. Bung Karno melihat, kala itu mayoritas penduduk Indonesia, hidup seperti Abdi Marhaen. Maka dia pun memberi nama ajaran (paham) ini “Marhaenisme”. Misinya adalah memperjuangkan kesejahteraan sosial (sosio demokrasi) pada seluruh kaum marhaen yang mengalami penindasan dan pengisapan di negeri ini.
Dalam catatan Tokoh Indonesia, Bung Karno memiliki sembilan isteri, yakni: (1) Oetari; (2) Inggit Garnasih, mempunyai dua anak angkat yakni Ratna Juami dan Kartika; (3) Fatmawati, memberinya lima anak yakni Guntur Sukarnoputra 1944, Megawati Sukarnoputri 1947, Rachmawati Sukarnoputri 1950, Sukmawati Sukarnoputri 1952 dan Guruh Sukarnoputra 1953; (4) Hartini melahirkan Taufan Sukarnoputra 1951-1981, Bayu Sukarnoputra 1958; (5) Dewi Sukarno melahirkan Kartika Sari Sukarno 1967; (6) Haryati; (7) Yurike Sanger; (8) Kartini Manoppo melahirkan Totok Suryawan 1967; dan (9) Heldy Djafa. e-ti/crs