Hakim Jujur Apa Adanya
Albertina Ho
[DIREKTORI] Perempuan bersahaja yang senantiasa berusaha jujur dalam melaksanakan tugasnya ini dikenal sebagai hakim yang tenang, tidak emosional dan tegas. Namanya makin mencuat saat menjadi hakim ketua yang menyidangkan kasus maestro mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.
Sejak saat itu, wajahnya sering disorot kamera televisi dan media cetak saat mencecar Gayus yang duduk di kursi pesakitan dengan berbagai pertanyaan. Bila terdakwa atau saksi menjawab tidak sesuai dengan inti pertanyaan, Albertina tak sungkan untuk mengulangi pertanyaan dengan gayanya yang santun hingga memperoleh jawaban yang pasti dan diulang dengan jelas. Jika mendapat jawaban yang cukup mencengangkan, ia seolah tanpa ekspresi, wajahnya tetap tenang seolah tak terpengaruh apalagi terkejut. Dengan seksama ia mencermati tiap kalimat untuk kemudian dipastikan lagi untuk meyakinkan.
Terpilihnya Albertina sebagai hakim yang menangani kasus Gayus bahkan mendatangkan pujian dari Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa. Albertina dianggap membawa kabar gembira atas penanganan kasus Gayus Tambunan. “Jadi memang proses perkara di PN Jakarta Selatan ada nuansa cukup menggembirakan karena hakimnya kredibel dan bertanggung jawab serta profesional, apa yang ditunjukkan Albertina Ho patut diacungi jempol,” ujar Harifin.
Kekaguman juga datang dari pengacara senior, Adnan Buyung Nasution yang memuji integritas dan kredibiltas Hakim Albertina. “Ia tidak hanya berpegang pada BAP, melainkan juga selalu crosscheck. Semua bukti ia lihat,” ujar Buyung kepada pers.
Setelah sekitar empat bulan lamanya memimpin persidangan Gayus, Albertina mengetuk palu dan memutus Gayus bersalah pada 19 Januari 2011. Mantan pegawai pajak itu dijatuhi vonis 7 tahun penjara serta denda 300 juta rupiah. Vonis itu jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni 20 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan penjara.
Keputusan tersebut tak ayal menimbulkan kekecewaan bagi sebagian orang yang menginginkan Gayus mendekam di penjara lebih lama karena telah merugikan keuangan negara. Tapi Albertina bukan pendatang baru di dunia peradilan, ia telah berkiprah hampir dua dekade lamanya, dan setiap putusan yang ia buat telah mempertimbangkan dari segala segi, baik kepentingan masyarakat, negara, maupun terdakwa.
Dikatakan Albertina, Gayus tidak bertanggung jawab sendirian terkait kelalaiannya saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT) di Direktorat Jenderal Pajak. Menurut hakim, atasan Gayus secara berjenjang seharusnya mengoreksi usul Gayus untuk menerima keberatan pajak PT SAT. Begitu pula perihal rekayasa kasus penyidikan asal-usul uang Rp 28 miliar yang berujung pada vonis bebas Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang.
Menurut hakim, kasus itu menjadi tanggung jawab bersama dengan para terdakwa lain, yakni Kompol Arafat Enanie, AKP Sri Sumartini, Haposan Hutagalung, Lambertus Palang Ama, Andy Kosasih, dan Muhtadi Asnun. Terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi soal uang Rp 28 miliar di rekening Gayus, kata Albertina, hakim tidak dapat menghukumnya lantaran tidak ada dalam dakwaan dan belum dibuktikan di persidangan.
Hal-hal yang meringankan lain, majelis menilai Gayus memberikan keterangan yang jujur dalam hal-hal tertentu sehingga memperlancar jalannya persidangan. Selain itu, Gayus belum pernah dihukum, dan mempunyai anak-anak yang masih kecil yang memerlukan perhatian dan kasih sayang.
Saat menangani kasus Gayus hingga sidang putusan, Albertina mengaku merasa baik-baik saja dan tidak pernah diteror maupun diancam oleh pihak manapun. “Selama sidang saya baik-baik saja, tidak ada ancaman maupun teror yang datang kepada saya, putusan Gayus diambil berdasarkan musyawarah majelis, dan itu sudah merupakan keputusan bersama,” imbuhnya.
Terbiasa Hidup Susah
Perempuan kelahiran Maluku Tenggara, 1 Januari 1960 ini sejak kecil sudah terbiasa hidup susah dan prihatin. Namun keterbatasannya itu tak menghalanginya untuk terus mengejar cita-citanya. Sejak kelas lima sekolah dasar, Albertina memilih berpisah dari orang tuanya demi mengecap pendidikan yang lebih baik. Neneknyalah yang menyarankan Albertina pindah sekolah dari Dobo, Maluku Tenggara, ke sekolah dasar yang lebih maju di Kota Ambon, Maluku. Albertina kecil terbiasa tidak bersepatu maka ia pun kebingungan saat harus memakai kaus kaki saat pertama kali masuk sekolah.
Sejak kecil Albertina Ho, sudah terbiasa hidup susah dan prihatin. Namun keterbatasannya itu tak menghalanginya untuk terus mengejar cita-citanya. Sejak kelas lima sekolah dasar, Albertina memilih berpisah dari orang tuanya demi mengecap pendidikan yang lebih baik. Neneknyalah yang menyarankan Albertina pindah sekolah dari Dobo, Maluku Tenggara, ke sekolah dasar yang lebih maju di Kota Ambon, Maluku.
Saat bersekolah di SMAN 2 Ambon tahun 1979, Albertina hidup menumpang di rumah kerabatnya namun tidak gratis. Setiap hari setelah pulang sekolah, ia harus membantu menjaga warung kelontong di pasar Ambon. Demi impiannya terus bersekolah, ia juga rela menjadi pelayan warung kopi untuk menyambung hidup. Sejak itu, Albertina mulai belajar hidup mandiri. Uang hasil bekerja sebagai pelayan digunakan untuk membiayai sekolahnya. Meski harus bekerja, Albertina tak lantas melalaikan kewajibannya untuk belajar. Di sela-sela waktu luangnya saat bekerja, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku-buku pelajaran.
Untuk mendapatkan penghidupan dan masa depan yang lebih baik, Albertina meninggalkan tanah kelahirannya, Maluku, untuk selanjutnya hijrah ke Yogyakarta. Di kota Gudeg itu, ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Meski mengenyam kuliah hukum, Albertina mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi hakim. “Mengalir saja,” ujarnya. Konon guru matematikanya sempat kecewa saat mengetahui Albertina memilih kuliah jurusan hukum. Soalnya, semasa sekolah, Albertina dikenal sebagai siswa yang pandai ilmu eksakta ketimbang ilmu sosial.
Pada tahun 1985, gelar Sarjana Hukum berhasil diraihnya. Namun ia tak mau kembali ke Maluku. Di Kota Gudeg itu, ia melamar lowongan calon hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan dosen di Universitas Brawijaya, Malang. Dengan alasan tidak punya biaya untuk pergi ke Malang, Albertina akhirnya lebih memilih untuk mengikuti seleksi calon hakim. Setelah empat tahun menjadi calon hakim, di usia 30 tahun, ia diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah.
Ia masih ingat betul pengalamannya saat pertama kali memberikan vonis pada terdakwa yang disidangnya. Saat itu, jaksa menuduh orang itu melakukan penipuan dan penggelapan namun Albertina memutus orang itu hanya terbukti melakukan penggelapan. Di PN Slawi, Albertina mengabdikan diri selama enam tahun sebelum akhirnya dipindahtugaskan ke Pengadilan Negeri Temanggung.
Pada 2002, ia dipindahkan lagi ke Pengadilan Negeri Cilacap. Albertina tetap menjalani kesehariannya dengan penuh kesederhanaan. Tak ada yang menonjol pada dirinya bahkan untuk pergi ke kantor, ia memilih memakai sepeda motor. Di sela kesibukannya menangani perkara, Albertina meneruskan kuliahnya di Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan lulus tahun 2004.
Dari Cilacap, ia ditarik ke Mahkamah Agung (MA) pada pertengahan 2005. Ia mendapat tugas baru sebagai asisten koordinasi, yang tugasnya mirip panitera. Selain itu, wanita yang hobi bermain tenis ini juga merangkap sebagai Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Marianna Sutadi. Di kantor Mahkamah Agung, Merdeka Utara, Albertina bekerja sebagai hakim yustisial yakni hakim yang tidak memegang kasus seperti di pengadilan.
Selama menjadi sekretaris, Albertina terkenal suka menolak tamu yang ingin bertemu dengan Marianna. Argumennya jelas: hakim dilarang menemui pihak yang berperkara. Tindakan tegas Albertina itu diakui oleh salah satu praktisi hukum sekaligus anggota satgas mafia hukum, Mas Achmad Santosa. Pengacara-pengacara yang ingin ketemu Bu Marianna pasti ditolaknya,” kata pria yang biasa disapa Otta itu.
Karena citranya yang positif itu, karirnya pun terus melesat. Mantan Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial ini kemudian diangkat sebagai Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Agustus 2008. Tak berbeda saat bekerja di MA, di PN Jaksel pun ia kerap menolak tamu yang ingin menemuinya di rumah. Hal itu dilakukan untuk menjaga kenetralan dalam menangani kasus.
Tidak hanya menolak tamu, Albertina punya cara jitu “mensterilkan” putusan. Ia mengetik sendiri putusan daripada meminta bantuan panitera pengganti meski dengan begitu, dia sering membawa pulang pekerjaan. “Jadi tidak bisa bocor. Yang tahu isi putusan cuma saya dan anggota majelis hakim lainnya,” kata Albertina. Hal itu juga dilakukan untuk mengirit biaya agar tidak perlu membayar pegawai juru ketik. Selama hampir dua puluh tahun menjadi hakim, Albertina tetap mempertahankan gaya hidupnya yang bersahaja. Ia tinggal di rumah dinas hakim di dekat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menjadi pelayan warung kopi bukan satu-satunya kisah perjuangan hidup sang ibu hakim. Saat mengajukan kredit rumah, aplikasi permohonan kreditnya ditolak oleh pihak bank karena gajinya sebagai hakim pada saat itu tidak cukup untuk kredit rumah. “Katanya kalau PNS ngurus kredit rumah gampang. Kok, ini ndak bisa juga,” ujarnya. Kini berkat hasil jerih payahnya sebagai hakim, sebuah rumah mungil di Yogyakarta senilai kurang dari 100 juta rupiah berhasil dimilikinya.
Gaji hakim di Indonesia memang masih tergolong minim. Hal itu nampaknya tak sebanding dengan tanggung jawab dan risiko yang harus diemban seorang hakim. Pada 1988, saat menjadi calon hakim di Pengadilan Yogyakarta, Albertina hanya mendapat upah Rp 81 ribu per bulan. Ketika diangkat menjadi hakim, ia mengantongi gaji sekitar Rp 300 ribu per bulan. Untuk menambal kebutuhan sehari-hari, Albertina meminjam di koperasi pengadilan. “Tapi pinjamnya diam-diam, malu,” ujar perempuan bertubuh mungil ini sambil tersipu.
Godaan limpahan materi bukannya tidak pernah mampir, namun Albertina tidak pernah silau dan tetap mempertahankan prinsipnya bahwa hukum tidak bisa dibeli. Menurut kesaksian Budi Priyanto, wakil panitera Pengadilan Negeri Cilacap, banyak pengacara yang menawarkan uang kepada Albertina tapi selalu ditolaknya.
Sebagai seorang hakim senior, tentunya sudah banyak kasus yang ia sidangkan. Selain kasus Gayus, ia juga pernah menangani kasus lain yang menyita perhatian publik seperti persidangan Sigid Haryo Wibisono dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banajaran, Nasrudin Zulkarnaen. Dalam kasus tersebut, Albertina yang saat itu duduk sebagai hakim anggota memberikan dissenting opinion ketika majelis menghukum Sigid 15 tahun penjara, Februari 2010. Wanita yang hingga kini masih hidup melajang ini berpendapat, Sigit seharusnya dihukum lebih berat karena dinilai secara tak langsung merencanakan penghilangan nyawa Nasrudin.
Kasus besar lain yang pernah ditanganinya adalah kasus korupsi Sisminbakum yang menyeret Romli Atmasasmita sebagai terpidana. Pada 7 September 2010, ia menghukum pakar hukum pidana itu dengan vonis dua tahun penjara karena dinilai terbukti menerima uang hasil korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pada Juni 2010, hati nurani Albertina sebagai penegak hukum kembali diuji saat ia harus memutus perkara pidana yang dilakukan seorang perempuan renta bernama Marsiyah. Nenek berusia 75 tahun asal Banyumas itu dituduh melakukan pengeroyokan. Akhirnya, Albertina menghukum wanita itu satu bulan dengan masa percobaan dua bulan. Meski terdakwa sudah tua, ia mengatakan tidak mungkin membebaskan Marsiyah. “Kalau dibebaskan, bagaimana dengan ulah kakek-kakek yang memerkosa? Meski sudah tua, nenek ini terbukti menganiaya orang,” kata Albertina. Namun demikian, ia tetap memperlihatkan keadilan dengan tidak memenjarakan Marsiyah. eti | muli, red