Islam Radikal Memang Ada
Syamsul Arifin
[DIREKTORI] Islam radikal atau Islam garis keras tidak pernah berhenti dibicarakan. Kali ini genre Islam tersebut kembali memantik kontroversi menyusul pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono tentang adanya partai Islam yang disusupi kelompok Islam garis keras.
Pernyataan Juwono itu mengundang reaksi, terutama dari tokoh parpol Islam. Sebut misalnya, Bursah Zarnubi, ketua umum Partai Bintang Reformasi, yang menganggap Islam radikal tidak ada. Dia mengatakan, “Islam itu satu, tidak ada yang kiri, tidak ada yang kanan. Islam ya Islam.” (Jawa Pos, 9/10/2006)
Meski Juwono memberikan klarifikasi, tidak berarti perbincangan tentang Islam radikal surut. Ketika membuka Maha Sabha IX Parisada Hindu Dharma Indonesia di Sasana Langen Budaya Taman Mini Indonesia Indah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajak masyarakat memerangi radikalisme di Indonesia (Jawa Pos, 16/10/2006).
Perbincangan seputar Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam garis keras, atau nomenklatur lain yang mengandung pengertian sejenis tidak pernah sepi dari kontroversi sebagaimana reaksi terhadap pernyataan Juwono. Kontroversi memang wajar muncul karena nomenklatur Islam radikal atau yang sejenisnya mengisyaratkan makna lain yang cenderung bertentangan dengan makna Islam sendiri.
Dalam kesadaran kolektif masyarakat muslim, Islam telanjur dipahami sebagai agama perdamaian, ramah, dan anti kekerasan. Sementara itu, Islam radikal mengandung makna sebaliknya, yakni kekerasan. Tentu masyarakat muslim menolak bahwa agama yang dipeluknya dicitrakan dengan kekerasan.
Reaksi yang sama dikemukakan tokoh-tokoh parpol Islam. Sebab, jika ada tengara bahwa parpol Islam disusupi gerakan Islam radikal, parpol tersebut pasti identik dengan kekerasan.
Apakah salah jika mengatakan Islam radikal ada? Keberadaan Islam radikal di Indonesia tidak bisa diingkari. Fenomena Islam radikal sebenarnya telah lama muncul di Indonesia. Pada zaman Orde Baru, gerakan Islam radikal menjadi kekuatan perlawanan yang sangat merepotkan pemerintah.
Berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk melumpuhkan sel-sel gerakan Islam radikal. Di samping menempuh upaya persuasif, pemerintah tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
Meski pemerintah secara sistematis berusaha melumpuhkannya, tidak berarti Islam radikal betul-betul musnah. Islam radikal bisa dikatakan bernyawa seribu. Satu nyawa dimatikan, nyawa-nyawa lain masih ada. Nyawa Islam radikal yang paling utama adalah ideologi dan jaringan antarsel yang kadang-kadang sulit ditembus, bahkan oleh anggotanya sendiri.
***
Perubahan iklim politik di Indonesia menyusul runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 ternyata menjadi momentum bangkitnya gerakan keagamaan baru (GKB) di luar kelompok arus utama (mainstream) semacam Muhammadiyah dan NU.
Gerakan keagamaan baru itu mengusung ideologi Islam sebagai agama publik (public religion). Ideologi semacam itu sebenarnya telah melekat pada Muhammadiyah dan NU. Tetapi, pada GKB, Islam publik memperoleh penekanan pada sisi bentuk (form). Jika Muhammadiyah dan NU mengabaikan bentuk formal dalam menerjemahkan nilai-nilai Islam universal, GKB justru berusaha melakukan objektivikasi Islam secara formal.
Secara instrumental, perjuangan GKB terwadahi ke dalam dua jenis organisasi. Pertama, organisasi politik (Islam). Kedua, ormas keagamaan. Pada bentuk yang terakhir itulah, nuansa radikal GKB tampak begitu menguat. Radikalisme GKB yang berbentuk ormas terlihat pada caranya dalam memahami doktrin agama dan strategi untuk mewujudkan cita-cita ideologinya.
Dalam memahami doktrin agama, di satu pihak kelompok Islam radikal cenderung skriptual atau harfiah, sedangkan di pihak lain menolak penafsiran rasional dan kontekstual. Bagi mereka, Islam adalah yang tersurat pada makna harfiahnya.
Di luar itu, bukan Islam. Kabarnya, Amrozi menolak eksekusi dengan cara ditembak karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Padahal, pada zaman nabi, belum ada senjata api.
Pemahaman yang demikian berlanjut pula pada penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak memiliki preseden dalam sejarah Islam. Demokrasi dan negara bangsa beserta tata aturan di dalamnya ditolak karena tidak ada presedennya dalam Islam.
Dalam konteks itu, bisa dimaklumi adanya agenda yang disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Menyelamatkan Indonesia dengan Syariah. Agenda itu, rupanya, menuai respons konstruktif di beberapa wilayah. Setidaknya sudah ada 20 wilayah di Indonesia yang menerapkan Perda Syariah.
Banyak kalangan yang mengajukan hipotesis, Perda Syariah mungkin hanya sebagai epilog atau pembuka jalan bagi terwujudnya agenda yang lebih besar. Hipotesis itu bisa saja ditolak. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan memperoleh pembenaran.
HTI, misalnya, secara terang-terangan terus mewacanakan daulah khilafah sebagai alternatif dari negara bangsa yang dinilai sebagai produk sekuler. Hanya dengan daulah khilafah, menurut HTI, syariah Islam bisa diterapkan secara efektif.
***
Dari paparan di atas, bisa disimpulkan, Islam radikal memang ada. Kehadiran Islam radikal merupakan kelanjutan dari watak Islam yang multitafsir. Lahirnya Islam radikal, selain karena faktor luar, juga dipengaruhi cara pemahaman terhadap Islam. Dari cara pemahaman yang berbeda pula, Islam tampil penuh warna-warni.
Bagaimana mungkin kita mengatakan Islam itu satu, kalau kenyataannya ada Muhammadiyah, NU, Persis, PKS, PKB, PBB, PBR, dan sebagainya. Itulah realitas sosiologis Islam yang tidak terbantahkan meski bersumber dari realitas teologis yang sama.
Lalu, bagaimana masa depan gerakan kelompok Islam radikal. Dari investasi yang dilakukan, katakanlah seperti rekrutmen serta keberhasilan yang diraih saat ini, Islam radikal akan mengalami penguatan pada sisi basis sosialnya.
Yang menarik, basis sosial Islam radikal diperkuat pula oleh kaum muda yang berlatang belakang Muhammadiyah dan NU. Mereka melakukan konversi dan migrasi setelah merasa tidak menemukan apa yang mereka cari di Muhammadiyah dan NU. (Indopos, Jumat, 27 Okt 2006) e-ti