
[DIREKTORI] Talentanya yang luar biasa dalam membuat, mengaransemen lagu, hingga memainkan alat musik, khususnya piano, mengantarkan namanya ke deretan papan atas seniman musik berprestasi. Sejak berkarir sebagai musisi dari 1978, ia telah menghasilkan puluhan album solo, album kolaborasi, album soundtrack, album produksi dan album internasional yang dirilis di Eropa dan Asia Pasifik. Di antara lagu-lagu ciptaannya yang terkenal hingga sekarang adalah lagu “Barcelona”, “Sakura”, dan “Nada Kasih”.
Fariz Roestam Moenaf atau yang lebih dikenal dengan nama Fariz RM merupakan salah satu musisi senior Tanah Air. Darah seni yang mengalir pada pria kelahiran Jakarta 5 Januari 1961 ini diwariskan dari kedua orang tuanya. Ayahnya Roestam Moenaf dikenal sebagai seorang penyanyi RRI Jakarta dan ibunya Hj. Anna Reijnenberg adalah seorang guru les piano. Fariz kecil diperkenalkan dengan musik khususnya musik piano klasik untuk pertama kalinya oleh sang ibu. Ketika menginjak usia tujuh tahun, ia belajar piano pada pakarnya yakni Sunarto Sunaryo dan Prof. Charlotte Sutrisno JP.
Pada usia 12 tahun, ia memulai karir bermusiknya bersama Debby Nasution dan Odink Nasution. Mereka membentuk “Young Gipsy” yang membawakan musik blues dan rock. Ilmu dan pengalaman bermusik Fariz kecil semakin bertambah ketika ia bekerjasama dengan Addie MS, Adjie Soetama, dan Imran RN. Mereka merancang operet untuk acara perpisahan di sekolahnya.
Peluangnya untuk berkiprah di kancah musik profesional mulai terbuka di tahun 1977. Ia bersama Adjie Soetama, Raidy Noor, Addie MS, dan Ikang Fawzi yang merupakan temannya semasa SMA, mengikuti Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang diadakan radio Prambors Jakarta. Mereka menciptakan tiga buah lagu yang kemudian dirilis dalam album LCLR. Hasilnya cukup membanggakan, hasil karya Fariz dkk berhasil menyabet juara III dan tawaran dari berbagai grup band mulai berdatangan.
Setahun kemudian, paman dari penyanyi Sherina ini melanjutkan kuliah di ITB jurusan Seni Rupa. Fariz terus mengembangkan dan menambah pengalaman bermusiknya dengan bergabung di dua grup band beraliran rock, Giant Step dan The Rollies. Sambil menimba ilmu di bangku kuliah, Fariz menjadi keyboardis pengganti di band Giant Step dan drummer band The Rollies. Tahun 1979, ia pernah berkontribusi dalam mengiringi kelompok musik Harry Roesli Kharisma dari Bandung pimpinan Harry Roesly.
Ia kemudian bergabung dengan Badai Band pada 21 Agustus 1978. Band ini sukses menghasilkan album ilustrasi untuk film besutan Teguh Karya, Badai Pasti Berlalu. Tak puas sampai di pencapaian itu, pada 1980, ia memulai debut solonya dengan meluncurkan album keduanya yang bertajuk Sakura. Album yang mempopulerkan lagu berjudul sama ini meraih sukses di pasaran. Lagu ‘Sakura’ juga digunakan sebagai soundtrack film Sakura Dalam Pelukan.
Setelah kesuksesan Sakura, berturut-turut Fariz mencetak beberapa karya emasnya yang tak lekang dimakan zaman, diantaranya Nada Kasih (1987) dan Barcelona (1988). Tembang-tembang indah hasil kreasinya menunjukkan kualitas Fariz sebagai penyanyi dan pencipta lagu tak diragukan lagi. Di kemudian hari, beberapa lagu gubahannya bahkan masih kerap dibawakan oleh para juniornya di dunia musik. Nada Kasih pernah dibawakan kembali dengan sentuhan irama RnB oleh Rio Febrian, dan Sakura dinyanyikan ulang oleh Rossa. Sepanjang karirnya, Fariz RM telah menelurkan puluhan album solo serta belasan album duet.
Pada akhir tahun 1989, Fariz menikahi mantan peragawati asal Semarang, Oneng Diana Riyadini. Tak lama setelah menikah, mereka dianugerahi buah hati. Sayangnya, putri pertama mereka, Ramanitya Khadifa hanya 15 detik menghirup udara dunia karena paru-parunya tidak berkembang. Peristiwa itu membuat Fariz sangat terpukul.
Saat hendak mengubur anaknya itu, Fariz berdoa kali terakhir. Sambil menggendong anaknya sesaat sebelum dikuburkan, Fariz mengucapkan harapannya. “Aku hadapkan wajahnya kepada-Mu (Tuhan). Aku masih menyakini kebesaran-Mu, jadi tunjukkanlah mukjizat. Tapi, jika tidak, jangan harap aku percaya kepada-Mu.”
Setelah kesuksesan Sakura, berturut-turut Fariz mencetak beberapa karya emasnya yang tak lekang dimakan zaman, diantaranya Nada Kasih (1987) dan Barcelona (1988). Tembang-tembang indah hasil kreasinya menunjukkan kualitas Fariz sebagai penyanyi dan pencipta lagu tak diragukan lagi. Di kemudian hari, beberapa lagu gubahannya bahkan masih kerap dibawakan oleh para juniornya di dunia musik. Nada Kasih pernah dibawakan kembali dengan sentuhan irama RnB oleh Rio Febrian, dan Sakura dinyanyikan ulang oleh Rossa.
Karena merasa doanya tidak terbalas, Fariz mulai meninggalkan kehidupan agamanya. Sekitar dua tahun dia tidak pernah menjalani kewajiban sebagai seorang muslim. Tetapi, kata Fariz, istrinya semakin rajin beribadah.
Fariz kembali memercayai kebesaran Tuhan ketika istrinya hamil kali kedua. “Waktu USG (ultrsonografi) bulan Mei 1991, kami dikabari anak kami kembar,” kata dia. “Saya malu sudah mempertanyakan kebesaran Tuhan. Ternyata Tuhan memberikan mukjizat. Anak saya hilang satu, langsung diganti dua,” imbuh alumnus Jurusan Seni Rupa ITB ini. Pada 26 Oktober 1991, lahirlah sepasang putri kembar yang kemudian diberi nama Ravenska Atwinda Difa dan Rivenski Atwinda Difa. Menyusul pada 11 September 1999, lahir putra ketiga Fariz-Oneng, Syavergio Avia Difaputra.
Sebagai manusia biasa, Fariz pun tak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Ia pernah beberapa kali berurusan dengan polisi. Pada Mei 2001, Fariz dituduh terlibat kasus peledakan bom di Asrama Mahasiswa Iskandar Muda, Manggarai. Ayah tiga anak itu dicurigai lantaran ditemukan surat Fariz yang ditujukan kepada Panglima GAM di lokasi ledakan bom.
Enam tahun kemudian, ia kembali berurusan dengan pihak berwajib, kali ini ia tersandung masalah penyalahgunaan narkoba. Pada dini hari 28 Oktober 2007, ia ditahan polisi dalam operasi rutin yang digelar jajaran Polsek Taman Puring Kebayoran Baru karena kedapatan memiliki 1,5 linting ganja seberat 5 gram yang disimpan dalam bungkus rokok. Setelah melalui tes urine, Fariz dinyatakan positif menggunakan narkoba jenis ganja dan terancam UU Narkotika dengan ancaman hukuman penjara di atas 5 tahun.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan, alumni SMA 3 Jakarta itu akhirnya divonis 8 bulan penjara potong masa hukuman. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut 1 tahun penjara. Selain itu, sisa hukuman Fariz juga bakal dihabiskan di Rumah Sakit Melia Cibubur untuk menjalani rehabilitasi. Untungnya, saat tengah terpuruk, ada istri tercinta, Oneng yang tetap menunjukkan kesetiaannya dengan tak pernah lelah memberikan dukungan moril kepada sang suami.
Fariz memang mengaku pernah kecanduan alkohol dan mengonsumsi narkoba. Bahkan akibat kebiasaannya itu, Fariz divonis menderita kanker liver pada tahun 1996. Kanker itu pula yang membuat tubuh Fariz sekarang terlihat kurus sekali dan dokter menyatakan tubuhnya tak mungkin gemuk lagi.
Pada 9 Agustus 2009, ia meluncurkan buku yang ditulisnya sendiri berjudul “Rekayasa Fiksi”. Buku ini mengulas kecintaaannya pada musik yang sudah dilakoninya sejak kecil. Melalui buku ini pula, Fariz mengajak calon pencipta lagu agar lagu-lagu yang diciptakan tidak asal laris di pasaran melainkan memiliki karakter. Baginya, selama seseorang memiliki harga diri, ia lebih rela terdengar tak begitu hebat, tapi karyanya hasil kapasitasnya sendiri. Daripada karyanya terdengar dahsyat namun bukan kreasi sendiri melainkan mengambil karya orang lain.
Buku ini juga sangat tepat bagi mereka yang menyukai musik atau ingin mengasah diri sebagai pencipta lagu. Karena di buku ini, Fariz blak-blakan berbagi ilmu bagaimana menjadi pencipta lagu yang berkarakter. Ada juga teori-teori khusus ditampilkan di buku ini yang hanya dimengerti kalangan pemusik.
Fariz rupanya tahu benar bagaimana memanjakan para pembaca bukunya karena di buku ini tak hanya menyajikan 20 lagu karya besarnya, namun juga cerita menarik di balik penciptaan tiap karya-karyanya. Tak cukup sampai di situ, buku terbitan Republika ini juga dilengkapi dengan partitur notasi dan accord lagunya. Dan, lengkaplah sudah, para pembaca bisa hapal syairnya, memahami ceritanya juga memainkan alat musik. eti | muli, red