
[DIREKTORI] Kepiawaiannya memadukan musik jazz dengan musik tradisional Indonesia sudah terdengar hingga mancanegara. Bersama Krakatau Band, ia membawa misi menghidupkan seni tradisional dengan nuansa masa kini. Direktur Lembaga Pendidikan Musik Farabi dan anggota komite musik Dewan Kesenian Jakarta ini juga sering berkolaborasi dengan musisi jazz dalam negeri dan mancanegara, sutradara film, peñata tari, orkestra dan musisi muda.
Dwiki Dharmawan lahir di Bandung 19 Agustus 1966. Ia mulai menggeluti dunia musik dengan mempelajari piano klasik sejak usia 7 tahun. Saat berusia 13 tahun, Dwiki mulai belajar musik jazz pada mendiang Elfa Secioria. Empat tahun kemudian, jebolan SMA 3 Bandung Jurusan IPS angkatan 1985 ini bahkan sudah mendirikan sebuah grup musik yang masih punya nama hingga saat ini, Krakatau Band.
Setelah merilis 5 album yang lebih bernuansa Pop Fusion bersama Krakatau, kegelisahannya di penghujung tahun 1990 membuatnya menekuni berbagai musik tradisi Indonesia, dimulai dengan eksplorasinya dengan musik ‘Sunda’, tanah kelahirannya, kemudian merilis album ‘Mystical Mist serta ‘Magical Match’.
Menurut suami penyanyi Ita Purnamasari ini, kesenian tradisional tak hanya sekadar peninggalan nenek moyang tapi juga menjadi ciri khas dan identitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Di tengah kegelisahannya atas gempuran budaya Barat dewasa ini, ia terus berkreasi dan mengembangkan ide dan inovasi baru agar kebudayaan khas Indonesia tetap lestari. Selain mengkombinasikan gamelan Sunda, ia juga mengawinkan tari topeng dengan aliran musik Jazz. Perpaduan unik tersebut menurutnya merupakan kombinasi nasionalisme dan internasionalisme.
Dengan misinya menghidupkan seni tradisional dengan nuansa masa kini, ia dan Kratakau hingga saat ini masih terus berkeliling dunia dan tampil pada berbagai konser dan festival internasional, seperti Montreux Jazz, North Sea Jazz, Toronto Jazz, Vancouver Jazz, GalapaJazz, Hot Summer Jazz, Midem, Festival Cervantino, Sziget Festival dan lain-lain. Ia juga tampil pada berbagai tempat seni pertunjukan terkemuka seperti Lincoln Center Summer Outdoor Festival, Chicago Cultural Center, Esplanade, Beijing Concert Hall, serta Beijing National Center for the Performing Arts dan masih banyak lagi.
Musik yang diusung Krakatau telah banyak mendapat pengakuan secara internasional, antara lain dari Jurnal Worlds of Music yang diterbitkan di Amerika Serikat yang menyebut Krakatau sebagai bagian penting dari khazanah World Music. Krakatau dianggap berhasil memadukan gamelan serta musik-musik tradisi Indonesia lainnya dengan jazz dengan pencapaian musikal yang pas.
Bersama Krakatau, dari tahun 80-an hingga 2000-an, ayah dari Muhamad Fernanda Darmawan ini telah merilis 8 album, yaitu First Album, Second Album, Kembali Satu, Let There Be Life, Mystical Mist , Magical Match, 2 Worlds, dan Rhythm of Reformation
Musik yang diusung Krakatau telah banyak mendapat pengakuan secara internasional, antara lain dari Jurnal Worlds of Music yang diterbitkan di Amerika Serikat yang menyebut Krakatau sebagai bagian penting dari khazanah World Music. Krakatau dianggap berhasil memadukan gamelan serta musik-musik tradisi Indonesia lainnya dengan jazz dengan pencapaian musikal yang pas.
Selain itu, pada tahun 1991, ia tampil secara solo dan berhasil menelurkan sebuah album berjudul Diantara Harapan, yang disusul sebuah album solo lainnya di tahun 2002, Nuansa. Album tersebut didukung oleh musisi kaliber dunia seperti Mike Stern, Lincoln Goiness, Richie Morales, Neil Stubenhaus, Ricky Lawson dan Mike Thompson dari Amerika Serikat serta beberapa musisi Australia seperti Steve Hunter, David Jones dan Guy Strazullo.
Kolaborasinya juga tak melulu dengan sesama musisi. Ia pernah bekerja sama dengan kreator film andalan salah satunya sutradara ternama Indonesia, Garin Nugroho. Dwiki diminta untuk menjadi penata musik dalam film-film garapan Garin, antara lain Cinta dalam Sepotong Roti, sebuah film drama yang dibintangi aktor Adjie Massaid. Film tersebut akhirnya berhasil mengantarkan Dwiki meraih penghargaan sebagai Penata Musik Terbaik Festival Film Indonesia 1991. Selain film itu, Dwiki juga menggarap musik untuk film besutan Garin yang lain yakni Rembulan di Ujung Dahan dan Rindu Kami PadaMu.
Sepanjang karirnya di dunia musik, ia berhasil meraih sejumlah penghargaan. Pada 1985, Dwiki meraih penghargaan ‘The Best Keyboard Player’ pada Yamaha Light Music Contest 1985 di Tokyo, Jepang. Penghargaan lain adalah Grand Prize Winner pada Asia Song Festival 2000 di Philipina. Pada 23 Maret 2011, bertepatan dengan Perayaan Hari Musik Nasional, Dwiki menerima Penghargaan Nugraha Bhakti Musik Indonesia (NBMI) dari Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI).
Meski kerap melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, ia masih menyempatkan waktunya untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial seperti konser amal untuk menggalang dana bagi para korban bencana alam. Dwiki pernah menggagas konser amal bertajuk Jazz for Aceh yang melibatkan ratusan musisi jazz Indonesia di awal tahun 2005. Setahun kemudian, ia kembali menggelar konser amal yang kali ini mengambil judul Jazz for Jogja bersama WartaJazz.com dan Dewan Kesenian Jakarta.
Selain itu, Dwiki juga aktif dalam bidang pendidikan dan organisasi yang berkaitan dengan dunia musik. Ia merupakan Direktur Lembaga Pendidikan Musik Farabi, sebuah sekolah yang memberikan pelajaran musik jazz baik klasik maupun tradisional. Ia ingin Farabi menjadi duta penyebaran cross culture. Setiap murid akan dikenalkan tentang musik etnik dan modern. Sampai tahun 2007, terdapat sembilan sekolah musik, yakni tujuh di Jakarta, dan masing-masing satu di Medan dan Denpasar. Ia berharap dapat memperluas cabang sekolah musiknya tersebut hingga 45 cabang di Indonesia pada 2011.
Sementara untuk bidang organisasi, ia tercatat sebagai anggota komite musik Dewan Kesenian Jakarta serta menjadi Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Artis, Penata Musik dan Pencipta Lagu Indonesia (PAPPRI). eti | muli, red