Pelopor Adibusana
Harry Darsono
[DIREKTORI] Namanya dikenal sebagai perancang busana dan seniman tekstil yang memelopori adibusana sejak awal 70-an. Karya-karyanya yang berkonsep haute couture atau art to wear tidak hanya terkenal di dalam negeri, tapi banyak pula digunakan kalangan jetset dan tokoh dunia. Penyandang gelar Phd dalam Humanistic Philosophy ini juga bekerja sebagai pendidik dalam bidang seni, desain, dan psikologi dalam kewirausahaan, serta konsultan untuk perusahaan asing, swasta nasional maupun perorangan.
Sebagai perancang busana yang produktif, Harry tak pernah miskin ide. Dimana pun ia berada, ia selalu mendapatkan inspirasi. Itulah mengapa pensil dan kertas gambar selalu menyertainya. Selain itu, pria yang setelah dibaptis sebagai penganut Katolik tahun 1980, namanya menjadi Mercelino Dominicus Savio Harry Daroeharto Darsono ini juga memiliki talenta lain. Selain piawai merancang busana indah, ia juga mampu membuat lukisan di atas kanvas dan di atas sutra, menghasilkan sulaman dekoratif dan kontemporer, tenun, kostum panggung, desain perhiasan, trofi, hingga desain panggung.
Harry Darsono lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 15 Maret 1952. Di masa kecilnya, putra Haji Darsono ini sempat dicap sebagai anak yang nakal, suka mengganggu serta keras kepala. Selain itu, Harry kecil sempat mengalami kesulitan berkomunikasi sehingga orang-orang di sekitarnya merasa sulit mengerti tentang apa yang dikatakan dan dipikirkannya. Karena ‘kekurangannya’ itu, Harry dimasukkan ke sekolah luar biasa di Surabaya oleh kedua orangtuanya. Di sekolah itu ia mulai belajar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat.
Menginjak usia 14 tahun ia diboyong ke Perancis karena pada waktu itu di Indonesia belum ada sekolah yang sesuai dengan kebutuhannya. Tak percuma orangtua Harry menyekolahkannya hingga ke Perancis, karena di sekolah itulah potensinya mulai tergali. Metode yang digunakan para terapisnya beragam, namun semuanya mengarah pada penggalian bakat di antaranya memintal, melukis, menggambar, dan bermain musik. Dari sanalah ia mulai mengenal dunia seni, pelajaran yang waktu itu tidak didapat di Indonesia. Dari sekian banyak cabang seni yang ia pelajari, menggambar yang paling ia sukai.
Saking hobinya, ia memakai lipstik kakaknya untuk mencoret-coret kertas atau dinding rumah. Meski demikian, bakat Harry sempat tidak disadari oleh orangtuanya. Bahkan ia hampir saja dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar musik. Meski sudah lulus tes, namun entah mengapa di tengah jalan, ibunya mulai ragu lalu membawa putranya ke psikolog. Keraguan ibunya pun terjawab, psikolog yang memeriksa Harry menyatakan bahwa ia dinilai paling tepat menekuni gambar-menggambar. Sementara untuk musik dan tari hanya sekadar hobi.
Mengetahui hal itu, Harry pun urung bersekolah musik di Negeri Paman Sam. Pada tahun 1971, sesuai hobinya yang suka menggambar, ia kemudian bersekolah di Paris Academy of Fashion. Setahun berselang setelah merampungkan kuliahnya, Harry hijrah dari Perancis ke Inggris. Di ibukota Inggris, London, ia meneruskan studinya tentang fashion pada London College of Fashion. Di tahun dan kota yang sama, ia juga menimba ilmu di The London Film & Television Academy.
Setelah merampungkan studinya di negeri Ratu Elizabeth itu, Harry kembali ke tanah air. Setibanya di Indonesia, ayahnya yang merupakan pemilik perusahaan rokok Surabaya yang memproduksi rokok merk Dji Sam Soe, Sampoerna, dan Wismilak menawarkannya untuk bekerja di perusahaannya seperti kedelapan saudaranya yang lain. Namun tawaran itu ditolak Harry karena ia merasa minat dan bakatnya bukan di tempat itu. Meski sedikit kecewa, akhirnya ayahanda Harry hanya bisa berkata ”Baiklah, Har. Bapak cuma bisa memberi kamu sebuah rumah kecil dan satu mobil. Terserah bagaimana kamu mengelolanya sebab saya tidak kenal bidang kamu,” kata Haji Darsono.
Dengan modal rumah dan mobil pemberian sang ayah, Harry mulai meretas mimpinya menjadi seorang perancang busana kenamaan. Di awal karirnya, Harry sempat kembali ke Paris dan bekerja di berbagai rumah mode ternama. Di usia yang masih relatif muda, kostum panggung rancangan Harry bahkan sudah digunakan dalam pertunjukkan hebat kelas dunia, seperti Julius Caesar yang dipanggungkan di beberapa negara selama belasan tahun, hingga pertunjukan terkenal seperti Madame Butterfly karya Puccini, serta karya-karya William Shakespeare antara lain Halmet dan Othello, King Lear dan Romeo dan Juliet.
Selain piawai merancang busana indah, ia juga mampu membuat lukisan di atas kanvas dan di atas sutra, menghasilkan sulaman dekoratif dan kontemporer, tenun, kostum panggung, desain perhiasan, trofi, hingga desain panggung.
Dengan ilmu dan pengalaman yang sudah kian matang, ia mulai membangun karirnya di Indonesia. Sebelum berhasil mendirikan rumah modenya sendiri, dari tahun 1972 hingga 1974, Harry sempat bekerja sebagai instruktur di almamaternya, Paris Academy of Fashion. Dua tahun kemudian ia juga pernah tercatat sebagai Pengajar Etika dan Estetika Busana Muslim Fatayat NU hingga tahun 1978.
Hingga akhirnya ia berhasil membangun rumah modenya sendiri di rumahnya yang terletak di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat. Di rumah itu pula Harry sehari-hari berkantor. Ia mempekerjakan hampir 50 orang karyawan yang sebagian diantaranya merupakan lulusan STSRI, IKJ, dan ITB. Ada lebih dari 20 motif batik, 20 motif tenun ikat, puluhan desain kain, dan 25 desain pakaian jadi yang dihasilkannya per bulan.
Di samping sibuk mengurus butiknya, pria yang gemar main piano dan menari ini juga dikontrak oleh perusahaan, seperti Batik Keris, Texmaco, dan Selvira. Di PT Sarinah Jaya ia sebagai perancang pakaian jadi sekaligus penasihat dan konsultan. Ia juga aktif mengurus berbagai yayasan yang didirikannya, antara lain Harry Darsono Foundation, Pantara, Masyarakat Anti Narkoba, dan yang terakhir Hamien; sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial edukatif untuk pemuda putus sekolah dan kesulitan belajar.
Pria yang hingga kini masih hidup membujang itu memang dikenal sebagai sosok yang peduli terhadap nasib kaum yang kurang beruntung. Selain itu ia juga mengampanyekan pentingnya menjaga kesehatan terutama ancaman penyakit jantung dan pembuluh darah bagi kaum hawa yang selama ini menjadi konsumen terbesarnya. Seperti yang terlihat pada November 2009 saat ia menggelar pagelaran busana yang bertajuk Go Red for Woman. Mengusung tema Haute Couture for a Good Cause with Harry Darsono, Harry menampilkan koleksi lamanya yang didominasi warna merah, warna lambang gerakan Go Red for Woman. Yang menarik, dalam shownya kali itu, ia tidak menggunakan jasa model profesional untuk membawakan koleksinya, tapi oleh ibu-ibu dari korps diplomatik, para duta besar, istri-istri duta besar, sosialita, dan juga mahasiswa.
Dalam kurun waktu 1996-2001, Harry membangun museum pribadinya yang terletak di kawasan Cilandak. Museum seluas 800 meter persegi ini berdiri di atas tanah seluar 1 hektare bergaya baroque, berdasarkan sketsa buatannya pada usia sembilan tahun. Museum ini menyimpan berbagai karya Harry sejak 1970 hingga sekarang dalam bentuk adi busana, art to wear, kostum panggung kontemporer, tapestry, lukisan berukuran besar di atas sutra, desain-desain perhiasan, desain trofi, tenun ikat, sulaman dekoratif dan kontemporer, serta novelty fabrics untuk interior dan adibusana yang terbuat dari sutra halus. Pemerintah Kota Jakarta menetapkan rumah ini menjadi daerah tujuan wisata museum di kawasan Jakarta Selatan.
Sebagaimana manusia lainnya, Harry juga mendapat cobaan dalam kehidupannya. Pada tahun 1994, rumah beserta seluruh koleksinya terbakar habis. Yang tersisa hanyalah sketsa-sketsa karyanya. Orang-orang terdekatnya pun berturut-turut meninggalkannya. Asistennya, Emil Hari Wijaya, yang sudah dipersiapkan untuk menjadi penerus dirinya, meninggal dunia karena serangan jantung (tahun 2007), tak lama kemudian Nelwan Anwar, dan disusul tokoh-tokoh yang dekat dengannya seperti Fuad Hassan dan Ny Hariati Sudibyo. eti | muli-mlp
Catatan:
Di antara busana, haute couture merupakan puncak kreasi. Orang Prancis melafalkannya of kutur. Artinya jahitan kelas tinggi (high fashion) atau dalam bahasa Indonesia disebut ‘adibusana’. Adibusana merupakan pesanan perorangan (dibuat hanya satu, hanya untuk pemesan), berkualitas tinggi, berbahan mahal, dijahit dengan perhatian luar biasa pada detail dan penyelesaian akhir. Membuatnya menyita puluhan jam karena dikerjakan dengan tangan. Tampilan dan presisi merupakan prioritas pertama. Soal akan dipakai rutin atau tidak, menjadi urusan belakangan. Kabarnya, setelah gaun adibusana selesai dibuat, rumah mode akan memusnahkan polanya. Beberapa perancang adibusana dunia misalnya Chanel, Cristian Dior, Cristian Lacroix, Givenchy, Jean Paul Goultier, Valentino dan Yves Saint Laurent.