Pengamat yang Berani Bersuara
Tjipta Lesmana
[DIREKTORI] Pakar komunikasi sekaligus pengamat politik ini terkenal lugas, tajam dan blak-blakan saat mengutarakan pendapatnya. Ia jarang menggunakan kata atau kalimat kiasan termasuk saat mengulas isu-isu sensitif di dunia politik. Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan ini juga aktif menjadi kolumnis dan sudah menerbitkan sejumlah buku, salah satunya yang terkenal berjudul “Dari Soekarno Hingga SBY”.
Nama Prof. Dr. Tjipta Lesmana, MA semakin tenar setelah berita mengenai pemilihan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) ramai dibicarakan pada Medio 2011. Sebagai Ketua Komite Banding Pemilihan Ketua Umum PSSI 2011, Tjipta Lesmana membuat satu keputusan yang cukup tegas sesuai keputusan organisasi sepakbola dunia (FIFA), walaupun kemudian membuat sekelompok orang merasa tidak senang.
Seperti diketahui, di tengah ricuhnya persepakbolaan nasional terkait pro kontra calon ketua umum dan wakil ketua umum PSSI pada pertengahan 2011, Tjipta Lesmana dengan dua orang anggota Komite Banding PSSI memutuskan menolak banding George Toisutta dan Arifin Panigoro, calon ketua dan wakil ketua umum PSSI yang ditolak oleh FIFA. Sehabis mengeluarkan putusan tersebut, Tjipta Lesmana kemudian mengembalikan mandat Komite Banding itu ke PSSI. Ia sempat menjadi bulan-bulanan protes dari kelompok pendukung Toisutta dan Panigoro, kelompok yang menamakan dirinya kelompok 78.
Ketegasan sikap, mungkin menjadi faktor kenapa Tjipta Lesmana dipilih oleh Komite Eksekutif PSSI pada Kongres Tahunan PSSI di Bali, Januari 2011 menjadi Ketua Komite Banding PSSI. Walaupun sejak kecil sudah gemar menonton dan bermain bola, namun aktivitas Tjipta Lesmana bukanlah di dunia sepakbola. Ia adalah guru besar bidang komunikasi yang kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH). Selain menjadi dosen, pria kelahiran Jakarta, 25 Juni 1949 ini juga aktif menjadi pengamat politik yang sering tampil di televisi dan mengisi tulisan di media cetak. Pandangan doktor bidang komunikasi dari Universitas Indonesia ini terbilang tegas dan blak-blakan sehingga dianggap sebagian orang terlalu meledak-ledak.
Misalnya, pernyataan Tjipta Lesmana dalam sebuah seminar pada tahun 2007 yang dirancang oleh Veloxxe Consulting dan dibiayai oleh Asian Agri Group yang dimaksudkan untuk memaparkan kajian ilmiah terhadap pemberitaan Tempo mengenai penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri. Tjipta Lesmana sempat mengeluarkan kata-kata bahwa dengan golok, ia bisa bedah dada para wartawan, dan akan kelihatan siapa yang memesan berita. Sebelumnya, majalah Tempo 21 Januari 2007 menurunkan berita soal dugaan penggelapan pajak Asian Agri dengan judul “Kisah si Pembobol”.
Contoh lainnya, dalam talkshow mengenai buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ di sebuah stasiun TV swasta tahun 2009 lalu. Magister bidang studi komunikasi dari University of Chicago, 1977 ini sempat menantang para doktor dihadirkan untuk membuktikan metodologi yang dipakai sang penulis, Goerge Junus Aditjondro, sangat lemah. Tanpa maksud yang jelas, Tjipta Lesmana ketika itu mempertaruhkan ucapannya dengan membanting dompetnya di atas meja.
Melihat sikap demikian, para akademisi teman seprofesinya pun sempat menantangnya untuk berdebat. Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Thamrin Amal Tamagola misalnya, ketika itu berencana akan mengundang para doktor untuk berdebat dengan Tjipta Lesmana guna membedah kasus metodologi penulisan itu. Menurut Thamrin, sikap Tjipta Lesmana tersebut telah menyudutkan George di depan publik.
Sementara Dosen Komunikasi Politik UI Effendi Ghazali menanggapi sikap Tjipta itu dengan mengatakan bahwa ia menyesalkan sikap Tjipta Lesmana yang mengeluarkan dompet tanpa maksud yang jelas. Effendi mengaku terkejut melihat seorang intelektual seperti Tjipta Lesmana bisa melakukan tindakan seperti itu. “Intelektual nggak biasa banting-banting dompet. Semua intelektual nggak pernah banting dompet. Bandar-bandar, toke-toke, dan pemilik yayasan yang banting dompet,” sesal Effendi ketika itu.
Selain dua contoh di atas, menjelang kongres PSSI 2011, Tjipta Lesmana juga blak-blakan menanggapi perilaku para pemilik suara PSSI yang ngotot mencalonkan jagoannya walaupun sudah tidak diperbolehkan FIFA. Tjipta Lesmana mengatakan bahwa tindakan itu merupakan tindakan konyol yang malah berdampak buruk bagi PSSI. Tjipta Lesmana dengan agak emosional mengatakan bahwa tindakan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki pikiran panjang. “Bicara sepakbola pasti mengacu pada FIFA. Jadi, hanya orang geblek yang tidak mengakui dan patuh pada FIFA,” ujar Tjipta Lesmana, Rabu 27 April 2011.
Dalam menganalisa suatu masalah, Tjipta Lesmana juga sering bicara cukup keras. Saat menanggapi kiprah para artis di DPR misalnya, Tjipta Lesmana secara terang-terangan pernah menyatakan keraguannya. Menurutnya, pengalaman menunjukkan, tak ada satu pun artis yang “bunyi” ketika menjadi politisi Senayan. Ia mengatakan, seharusnya para artis itu memahami terlebih dahulu dinamika politik, tidak ujug-ujug menjadi anggota Dewan.
“Mestinya ada proses dulu, baru masuk ke politik. Seringkali artis-artis kita ini, yang ada cuma bermodal kecantikan dan goyang (maaf) pantat yang hebat. Dunia politik dan artis itu dunia yang kontras sekali. Dunia artis, dunia infotainment, dunia kawin cerai, dunia kumpul kebo. Dunia politik itu dunia yang maha serius, ngurus urusan bangsa dan negara,” kata Tjipta Lesmana beberapa tahun silam.
Menjadi pakar komunikasi politik, memang sudah menjadi rencana Tjipta Lesmana sejak awal.
Anjuran jurnalis senior Rosihan Anwar sangat mempengaruhi keputusannya. Yaitu, setiap orang harus memiliki satu keahlian tertentu yang didalami. Namun, juga harus tetap menguasai sebanyak mungkin kemampuan. “Kita harus jadi spesialis, tapi harus juga menjadi seorang generalis,” pungkas Tjipta Lesmana.
Setelah sempat aktif menjadi wartawan di sejumlah media cetak seperti majalah Swasembada dan majalah Telstra dengan status wartawan lepas di awal tahun 70-an, ia masuk Perguruan Tinggi Publisistik (sekarang IISIP, Jakarta). Lulus dari perguruan tinggi tersebut, bungsu dari empat bersaudara ini kemudian mengambil jurusan hukum di Universitas Katolik Atma Jaya. Tapi ia hanya meraih gelar Sarjana Muda hukum dari universitas tersebut karena pada pertengahan tahun 1976, ia mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika untuk kuliah di University of Chicago. Akhir tahun 1977, ia meraih gelar magister bidang studi komunikasi dari negeri Paman Sam tersebut.
Sekembalinya ke Tanah Air, ia sempat bekerja di Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai konsultan bidang komunikasi. Setelah itu, dia mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dengan mengajar bidang studi komunikasi di sejumlah universitas. Dia pernah menjadi asisten dosen di bekas kampusnya Perguruan Tinggi Publisitik, dosen di Akademi Penerangan Departemen Penerangan Republik Indonesia, dosen di FISIP UI, dan kini mengajar di Universitas Pelita Harapan.
Selain aktif menjadi pengamat politik dan dosen, Tjipta Lesmana juga aktif menulis di media cetak dan menulis buku. Sedikitnya ada sembilan buku sudah ia tulis, diantaranya yang cukup populer adalah buku berjudul “Dari Soekarno Hingga SBY”. Buku ini mengupas perbandingan komunikasi politik enam presiden RI.
Selama bekerja, ia tidak lupa meningkatkan ilmu pengetahuannya dengan mengikuti program doktoral di Universitas Indonesia. Tahun 2001, ia berhak menyandang gelar doktor bidang komunikasi.
Selain aktif menjadi pengamat politik dan dosen, Tjipta Lesmana juga aktif menulis di media cetak dan menulis buku. Sedikitnya ada sembilan buku sudah ia tulis, diantaranya yang cukup populer adalah buku berjudul “Dari Soekarno Hingga SBY”. Buku ini mengupas perbandingan komunikasi politik enam presiden RI.
Ada beberapa hal yang menarik dalam buku itu. Salah satunya, Tjipta Lesmana menilai bahwa konflik SBY-Mega yang dimulai pada 2004, sengaja dipelihara, kemudian di-blow up pada timing yang tepat dengan memanfaatkan media massa. Tujuannya untuk menarik simpati publik.
Sementara soal komunikasi politik, bidang yang menjadi keahliannya, Tjipta Lesmana menerangkan bahwa komunikasi politik per definisi adalah komunikasi dari pemerintah kepada rakyat atau sebaliknya, yang bernuansa politis. Menurutnya, setiap negara memiliki karakteristik komunikasi politik yang berbeda.
Memahami komunikasi politik suatu negara itu biasanya dapat dilihat dari karakteristiknya. Pertama, apakah lebih banyak menggunakan konteks tinggi atau konteks rendah. Kedua, brutal, beringas, tertib atau santunkah? Ketiga, siapa dominant players-nya (pelaku utama)? Keempat, bagaimana arah dan efektivitas komunikasi politik tersebut?
Yang ia maksud dengan konteks tinggi, yakni komunikasi yang biasanya penuh dengan bahasa “bersayap” atau yang tidak jelas maknanya. Bahasa politik mantan Presiden Soeharto menurutnya merupakan contoh yang menggunakan komunikasi konteks tinggi. Dimana Soeharto lebih banyak tersenyum dan manggut-manggut. Bicara pun singkat. Maknanya dalam tapi tidak jelas. Yang tahu persis hanya dia.
Sementara komunikasi konteks rendah menurutnya, adalah komunikasi yang tidak usah capai lagi menginterpretasinya karena maknanya sudah jelas. Misalnya, jika si A tidak suka dengan si B maka dia akan bilang secara langsung bahwa dia tidak suka padanya. Demikian sebaliknya jika suka. Contohnya, dalam suatu demonstrasi, kerap ditemui pembakaran boneka si tokoh yang didemo.
Sedangkan tentang dominant players di setiap pemerintahan, Tjipta Lesmana memberi contoh. Di masa Orba, dominant player adalah eksekutif, khususnya Seharto. Setelah reformasi, tidak ada lagi dominant player. Baik DPR, LSM, dan media pengaruhnya sangat kuat. Bahkan pemerintah daerah pun kerap melecehkan pemerintah pusat. Semua sepertinya derajatnya sama. Semua adalah pemain utama. Jadi ibarat permainan sepakbola yang menggunakan sistem total football, semua aktif dan menyerang.
Sementara soal apakah santun atau tidak bentuk komunikasi politik era reformasi ini, ia mengatakan bahwa komunikasi politik era ini kurang santun. Hal itu ditandai dengan adanya aksi brutal, anarkis, ketidakberaturan dan hukum diinjak-injak. Sering dijumpai dalam demonstrasi adanya pembakaran gedung, mobil dan aksi beringas. Berbeda dengan Orba dimana komunikasi politiknya cukup santun, terkendali dan orang jarang berteriak-teriak (demonstrasi). Namun, itu bukan berarti Orba paling baik.
Sebab saat Orba, semuanya dikendalikan sehingga tidak ada orang yang berani bicara. Legislatif pun tidak berani melawan eksekutif. Karena Soeharto benar-benar powerful, jadi komunikasi politik bisa dikendalikan. Menurut Tjipta Lesmana, hal ini ada positif dan negatifnya yang mesti dicarikan titik keseimbangannya.
Mengapa komunikasi politik jadi brutal dan arogansi seperti sekarang ini, menurut Tjipta Lesmana dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain karena penerapan hukum yang masih tebang pilih. Jika komunikasi politik seperti ini terus dipelihara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang menuju kehancuran (chaos).
Untuk mencegah hal itu, banyak hal harus diperbaiki. Hukum dan aturan main mesti diperbaiki. Pers wajib menjalankan kode etik. Jika ada pers yang melanggar kode etik secara sengaja maka harus ditindak dengan cukup keras. LSM juga mesti diatur lagi. LSM mesti diingatkan bahwa mereka harus bekerja untuk Indonesia, bukan untuk orang asing.
Sementara mengenai komunikasi politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Tjipta Lesmana memberi penilaian bahwa SBY belum mampu melakukan komunikasi politik dengan baik. Masih banyak komunikasi yang disampaikan Presiden SBY yang menurut Tjipta Lesmana, percuma. “SBY mesti banyak belajar dari Presiden Soeharto soal komunikasi politik,” ujar Tjipta Lesmana usai diskusi Polemik Trijaya FM di Cikini, Jakarta Pusat, 6 Februari 2010.
Soeharto, kata Tjipta Lesmana, adalah sosok yang punya kedewasaan dalam komunikasi politik. Selalu tenang dalam menghadapi berbagai persoalan politik dan tidak banyak bicara. Tjipta Lesmana mengimbau agar SBY tidak terlalu sering bicara menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan sehingga akan mengesankan SBY sebagai pemimpin yang selalu mengeluh di mata publik. Apalagi jika menggunakan metode komunikasi politik yang membangkitkan ketakutan. Tapi di sisi lain, Tjipta Lesmana mengakui bahwa SBY adalah politisi yang lihai. e-ti | ms, mlp