Penulis Ayat-ayat Cinta

Habiburrahman El Shirazy
 
0
1984
Habiburrahman El Shirazy
Habiburrahman El Shirazy | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Kultur pesantren yang telah lekat dengan Habiburrahman, membuat dirinya menjadi besar sebagai penulis bernuansa Islami. Sejumlah karyanya bahkan sudah dituangkan ke versi layar lebar.

Bagi penggemar film nasional, terutama bagi yang menyukai film bernafaskan Islam, tentunya film berjudul Ayat-Ayat Cinta arahan sutradara Hanung Bramantyo sudah tak asing lagi di telinga. Film fenomenal yang masuk ke dalam jajaran film box office karena berhasil menyedot jutaan penonton itu diadaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Habiburrahman el-Shirazy, seorang sastrawan muda yang mengkhususkan diri sebagai penulis karya sastra Islami. Novel Ayat-Ayat Cinta berhasil terjual sebanyak 70 ribu kopi dan dicetak ulang sebanyak 12 kali.

Kang Abik, begitu ia biasa disapa adik-adiknya, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 30 September 1976. Pria berpenampilan santun ini merupakan sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selain dikenal sebagai novelis dan penyair ia juga dikenal sebagai seorang dai. Mengenai kegiatannya yang disebut terakhir, hal itu memang tidak perlu diherankan, karena ia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren.

Ia menempuh pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Anwar, Mranggen, Demak, di bawah asuhan K.H. Abdul Bashir Hamzah. Di usia 16 tahun, ia merantau ke kota budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Surakarta.

Semasa di MAPK, ia pernah menulis teatrikal puisi berjudul Dzikir Dajjal sekaligus menyutradarai pementasannya bersama Teater Mbambung di Gedung Seni Wayang Orang Sriwedari Surakarta (1994). Di sekolahnya, Abik dikenal sebagai siswa dengan segudang prestasi, berbagai perlombaan pernah dijuarainya, mulai dari lomba menulis artikel, lomba baca puisi relijius, hingga lomba pidato bahasa Arab.

Abik juga mengisi masa remajanya dengan menjadi penyiar di radio JPI Surakarta selama satu tahun (1994-1995) yang membawakan acara Syharil Quran setiap Jumat pagi.

Pada tahun 1995, ia menamatkan pendidikan setingkat SMA itu. Setelah itu, ia kembali melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadist Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.

Semasa menempuh studi di Mesir, ia aktif dalam sejumlah perkumpulan. Suami Muyasaratun Sa’idah ini pernah memimpin kelompok kajian MISYKATI (Majelis Intensif Yurisprudens dan Kajian Pengetahuan Islam) di Kairo (1996-1997). Ia juga pernah mendapat kepercayaan terpilih menjadi duta Indonesia untuk mengikuti “Perkemahan Pemuda Islam Internasional Kedua” yang diadakan oleh WAMY (The World Assembly of Moslem Youth) selama sepuluh hari pada Juli 1996 di kota Ismailia, Mesir.

Dalam kesempatan itu, ayah dua anak ini memberikan orasi berjudul Tahqiqul Amni Was Salam Fil ‘Alam Bil Islam (Realisasi Keamanan dan Perdamaian di Dunia dengan Islam). Orasi tersebut terpilih sebagai orasi terbaik kedua dari semua orasi yang disampaikan peserta perkemahan tersebut.

Selama dua tahun ia pernah aktif di Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orsat Kairo (1998-2000). Masih di lembaga yang sama, Abik menjabat sebagai koordinator Islam selama dua periode (1998-2000 dan 2000-2002). Ia juga pernah dipercaya untuk duduk dalam Dewan Asaatidz Pesantren Virtual Nahdhatul Ulama yang berpusat di Kairo. Dan sempat memprakarsai berdirinya Forum Lingkar Pena (FLP) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kairo.

Advertisement

Selama di Kairo, ia telah menghasilkan beberapa naskah drama dan menyutradarainya, di antaranya: Wa Islama, Sang Kyai dan Sang Durjana (gubahan atas karya Dr. Yusuf Qardhawi yang berjudul ‘Alim Wa Thaghiyyah), Darah Syuhada. Tulisannya berjudul, Membaca Insanniyah al Islam dimuat dalam buku Wacana Islam Universal (diterbitkan oleh Kelompok Kajian MISYKATI Kairo, 1998).

Sebelum pulang ke Indonesia pada tahun 2002, ia diundang Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia selama lima hari (1-5 Oktober 2002) untuk membacakan puisinya dalam momen Kuala Lumpur World Poetry Reading ke-9 bersama penyair-penyair negara lain. Puisinya dimuat dalam Antologi Puisi Dunia PPDKL (2002) dan Majalah Dewan Sastera (2002) yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dalam dua bahasa, Inggris dan Melayu.

Setibanya di Tanah Air pada pertengahan Oktober 2002, ia diminta ikut mentashih Kamus Populer Bahasa Arab-Indonesia yang disusun oleh KMNU Mesir dan diterbitkan oleh Diva Pustaka Jakarta (Juni 2003). Ia juga diminta menjadi kontributor penyusunan Ensiklopedia Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Pemikirannya, terdiri atas tiga jilid ditebitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003.

Antara tahun 2003-2004, ia mendedikasikan ilmunya dengan menjadi pengajar di MAN I Yogyakarta. Sebuah kecelakaan pada 2003 menjadi titik balik hidupnya sekaligus langkah awal merintis jalan menjadi seorang penulis ternama. Karena kaki kanannya patah dalam satu kecelakaan yang dialaminya, ia pun akhirnya tidak bisa mengajar lagi. Karena keadaan itu pula, Abik yang ketika menjadi guru hanya menerima gaji sebesar Rp 100 ribu ini juga tidak bisa mementaskan teater. Praktis, ruang geraknya menjadi terbatas.

Untuk mengisi waktu menunggu kondisi fisiknya pulih seperti sedia kala, ia kemudian menulis novel Ayat-Ayat Cinta yang berhasil sukses di pasaran dan mendatangkan royalti milyaran rupiah.

“Saat itulah kemudian saya menulis Ayat-Ayat Cinta dalam kondisi yang memang saya tidak bisa ke mana-mana. Siang malam saya nulis novel Ayat-Ayat Cinta,” katanya. Novel yang telah difilmkan pada tahun 2004 itu terinspirasi dari ayat Al-Quran Surat Al-Zuhruf Ayat 67. Yang artinya: Orang-orang yang suka saling mencintai satu sama lain pada hari kiamat akan bermusuhan kecuali orang-orang yang bertakwa. “Jatuh cinta dan saling mencintai tetap akan bermusuhan juga pada hari kiamat kecuali orang yang bertakwa. Tak hanya terbatas pada surat itu, Al Qur’an merupakan sumber inspirasi bagi karya-karya seorang Habiburrahman El Shirazy.

Jadi, hanya cinta yang bertakwa yang tidak akan menyebabkan orang bermusuhan. Itulah yang menjadi renungan Kang Abik. “Saya pingin juga menulis novel tentang cinta tapi yang sesuai dengan ajaran Islam, yang itu menurut saya benar,” katanya. Kesuksesan Ayat-Ayat Cinta tak pernah ia duga sebelumnya, bahkan ia mengaku novel itu awalnya hanya sebagai media untuk mengobati kerinduannya pada kota Kairo, tempat dimana ia pernah menimba ilmu.

Proses penulisan Ayat-Ayat Cinta hanya memakan waktu selama sebulan. Dalam rentang waktu itu, Habiburrahman banyak terlibat secara emosi dengan novel tersebut. Bahkan karena terlalu menghayati tokoh ciptaannya, ia kadang sampai menitikkan airmata. Rupanya hal itu juga dapat dirasakan para pembacanya. Novel bertema cinta namun dibalut dengan nuansa keislaman itu begitu digandrungi oleh para pecinta buku Islam karena ceritanya yang mengharubiru.

Ia juga mengakui, kultur pesantren yang telah lekat dengan dirinya turut mempengaruhi karya-karyanya yang memadukan sastra dan nilai-nilai agama. Perkenalannya dengan dunia sastra juga dimulai ketika ia masih menjadi santri ponpes Al Anwar. Ketika itu ia mempelajari syi’ir-syi’ir Arab dan balaghoh (sastra Arab). “Kita akan enak menulis apa yang kita tahu. Saat ini memang seting-seting (karya) saya pesantren. Karena itu yang lebih saya kuasai. Bisa saya jiwai,” ujarnya.

Setelah kondisinya membaik, Abik kembali ke dunia pendidikan. Sejak tahun 2004 hingga 2006, ia tercatat sebagai dosen Lembaga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam Abu Bakar Ash Shiddiq UMS Surakarta.

Selain Ayat-Ayat Cinta, karya-karyanya yang telah beredar di pasaran antara lain: Di Atas Sajadah Cinta; Ketika Cinta Berbuah Surga; Pudarnya Pesona Cleopatra; Ketika Cinta Bertasbih; dan Dalam Mihrab Cinta.

Tidak hanya novel, ia juga menghasilkan beberapa karya terjemahan dan cerpen seperti Ar-Rasul, Biografi Umar bin Abdul Aziz, Menyucikan Jiwa, Rihlah ilallah, dan lain-lain. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi Ketika Duka Tersenyum, Merah di Jenin, Ketika Cinta Menemukanmu dan lain-lain.

Beberapa penghargaan bergengsi di dunia sastra juga berhasil diraihnya antara lain, Pena Award 2005, The Most Favorite Book and Writer 2005 dan IBF Award 2006.

Kang Abik juga membagi kiat suksesnya dalam menulis karya sastra. Menurutnya, seorang penulis harus punya niat yang kuat serta keberanian dalam menulis. “Banyak orang yang punya niat tapi tidak berani menulis,” ujarnya.

Selain disibukkan dengan kegiatannya sebagai penulis, Habiburrahman juga mengajar ngaji di kampung di Salatiga, mengisi pengajian rutin, seminar dan bedah buku. Saat ini ia mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan pendidikan lewat karya-karyanya dan di pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia berkedudukan di Semarang, Jawa Tengah bersama adik (Ahmad Munif El Shirazy, Ahmad Mujib El Shirazy, Ali El Shirazy) dan temannya.

Tak jarang ia diundang untuk berbicara di forum-forum nasional maupun internasional. Seperti di Kairo, Kuala Lumpur, Hongkong dan lain-lain. Karya-karyanya banyak diminati tak hanya di Indonesia, tapi juga negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Karya-karyanya selalu dinanti khalayak karena dinilai membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi. e-ti | muli, red

Data Singkat
Habiburrahman El Shirazy, Dai, novelis, penyair / Penulis Ayat-ayat Cinta | Direktori | Novelis, penulis

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini