Prinsip Mendahulukan Kewajiban
Achmad Sujudi
[DIREKTORI] Ibarat mutiara ditaruh di mana pun akan tetap berkilau dan bercahaya. Begitu pula seseorang yang berorientasi pada tugas dan selalu mendahulukan kewajiban akan bercahaya di mana pun ditempatkan. Prinsip mendahulukan kewajiban itu tercermin dalam kisah Dr Achmad Sujudi, MHA, Menteri Kesehatan RI. Pinsip ini telah diasuhkan oleh ayahnya sejak kecil. Namun, tampaknya prinsip ini sangat sulit ia tularkan di departemen yang kini dipimpinnya.
Bangsa ini, dalam beberapa tahun terakhir, tengah mengalami berbagai kesulitan. Ia melihat bangsa ini sudah lama tidak mengalami sukses. Lagi pula, saat ini juga agak sulit orang untuk menghargai kesuksesan. Saya pikir bangsa kita perlu sukses dalam berbagai bidang,” ujar Dr. Achmad Sujudi, MHA dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Selasa 19 November 2002.
Kalau saja semua orang di Indonesia berpikir mengutamakan kewajiban, mungkin keadaan bangsa tidak akan terlalu berat seperti sekarang. Sayangnya, mengutamakan kewajiban, bagi banyak orang saat ini, malah bisa saja menjadi tertawaan. Saat ini banyak orang berteriak-teriak memperjuangkan mendahulukan hak-haknya. Namun bukan berarti saat ini tidak ada orang, termasuk generasi muda, yang mengutamakan kewajiban. Bahkan mungkin masih banyak. Mereka ini, para peraih sukses yang sangat dibutuhkan bangsa.
Berikut ini, sebuah kisah perjalanan hidup seorang anak bangsa, yang dididik orang tuanya untuk selalu mendahulukan kewajiban. Ia, Dr. Achmad Sujudi, MHA, pria yang lahir pada tanggal 11 April 1941 di kota kecil Bondowoso – sebuah ibukota kabupaten di Jawa Timur, yang memiliki populasi yang sangat kecil. Ayahnya, Musdari Darmoprawiro dan ibunya Kusniati, bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat (SR) di Bondowoso.
Pada masa itu, masa penjajahan Belanda, bekerja sebagai seorang guru adalah pekerjaan yang mulia dan terpandang. Secara sosial dan ekonomi boleh dikatakan mencukupi. Ketika itu, orang-orang yang diizinkan dan diberikan Belanda kesempatan untuk mengecap pendidikan hanyalah guru, pendeta dan dokter.
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga guru, telah menempanya menjadi seorang terpelajar, berdisiplin, berakhlak, sederhana dan mendahulukan kewajiban. Ia mulai bersekolah di SR Bondowoso, masuk langsung duduk di kelas 3. Sebab sebelumnya ia sudah diajar oleh ibunya di rumah. Bersamaan dengan belajar di sekolah formal, ia juga dididik di lingkungan madrasah dan pesantren. Bagi ayahnya hal ini penting, agar anak-anaknya berhasil di dunia dan akhirat. Walaupun bekerja sebagai guru, yang tergolong terpandang pada era itu, orangtuanya hidup sangat sederhana, dan memiliki cara pandang yang sederhana juga. Gaya hidup sederhana itu mempengaruhi perjalanan hidupnya.
Prinsip hidup yang utama dan dan paling ditekankan orang tuanya adalah lakukan terlebih dahulu kewajibanmu. Mendahulukan kewajiban. “Jika kamu melakukan kewajiban dengan sungguh-sungguh, maka hak-hak akan mengikuti,” nasehat Sang Ayah, yang kini telah berusia 95 tahun. Pesan dan prinsip ini akhirnya menyatu dalam kehidupan keluarga ini. Tak terkecuali bagi Achmad Sujudi. Ia benar-benar menghayati dan mengamalkan prinsip itu dalam kehidupannya sehari-hari.
Semenjak kecil ia dilatih dan dididik untuk melakukan kewajiban di sekolah yaitu belajar dengan benar dan sungguh-sungguh, bukan dengan sekedar saja. Juga mengutamakan kewajiban kepada orangtua, guru, teman dan lingkungan. Apa yang telah diketahui sebagai tanggung jawabnya, ia kerjakan dengan betul. Prinsip itu sangat mendasar dan mendalam baginya. Sebab ia meyakini prinsip itu betul.
Ketika sekolah, ia melakukan kewajiban sebagai murid. Ia belajar dengan benar. Hasilnya, rapornya bagus. Atau ketika aktif dalam kegiatan olahraga sepak bola dan kasti, ia melakukan kewajiban dengan sungguh-sungguh. Sehingga, tanpa diminta, ia menerima hak (patut) diangkat menjadi ketua tim. Namun sering juga ia merasa seakan-akan hak-haknya tidak diterima. Kendati hal itu hanya sementara. Karena akhirnya ia terima juga hak-hak yang patut didapatkannya.
Perihal mendahulukan kewajiban ini, telah dinikmatinya sejak kecil. Seperti pengalamannya ketika lulus SR untuk memasuki SMP Negeri. Pada masa itu, masuk SMP Negeri suatu hal yang sangat tidak mudah. Sebab pada waktu itu SMP Negeri hanya ada satu di Bondowoso, sedangkan jumlah sekolah SR banyak sekali, kurang lebih 20 SR. Walaupun selain SMP Negeri ada juga SMP swasta, namun tidak sebaik SMP Negeri, sehingga SMP Negeri menjadi rebutan. Dengan bekal tekad melakukan kewajiban belajar dengan sungguh-sungguh, akhirnya ia menerima hak dengan diterima di satu-satunya SMP Negeri di daerah itu.
Hal yang sama juga ia alami ketika memasuki SMA. Pada saat itu, SMA di wilayah Bondowoso belum ada. SMA Negeri hanya ada di dua tempat, yaitu satu di Malang dan di Surabaya. Memang di Malang juga ada SMA swasta, seperti SMA Katolik, tapi biayanya mahal walaupun ada juga bantuan beasiswa. Ketika itu ayahnya mengingatkan, lakukan saja kewajibanmu dengan sungguh-sungguh. Ia pun menuruti nasehat ayahnya. Hasilnya, ia diterima di SMA Negeri Malang, sebuah SMA dengan memiliki predikat terbaik.
Selain keluarga, terutama ayah dan ibunya, lingkungan juga memberikan andil dalam membentuk karakternya. Ketika remaja, ia juga bergabung dalam kepanduan (Pramuka). Dalam kepanduan, ia belajar berdispilin dan bertanggungjawab atas setiap tugas yang sudah ditetapkan. Misalnya, ketika berkamping, ada tugas-tugas yang telah dijadual, seperti siapa jaga malam, memasak dan yang lain. Dengan berpegang pada prinsip mendahulukan kewajiban, ia mendapat hak diangkat menjadi ketua regu.
Ketika lulus SMA, ia merasa itu sebuah berkat dari Tuhan. Suatu berkat yang amat berharga. Sebab ia yakin bahwa kelulusan itu diperoleh bukan oleh kekuatan atau kehebatannya. Tapi ia merasa semua itu hanya pemberian Allah serta berkaitan dengan nasehat orangtuanya agar ia selalu berusaha menjadi orang yang bertanggung jawab dan mendahulukan kewajiban.
Suatu kesan yang tak bisa ia lupakan ketika menjelang memasuki ujian akhir SMA. Waktu itu di sekolahnya diadakan les tambahan gratis, di luar jam sekolah. Guru-guru melakukan kewajibannya dengan bersepeda menuju ke sekolah tanpa ada sama sekali pamrih. Begitu juga ia sebagai murid melakukan kewajiban belajar sungguh-sungguh. Hasilnya, lagi-lagi, ia dterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Terkadang, ia sempat berpikir bahwa hak-hak itu tidak selalu mengikuti. Tapi kemudian ternyata lebih banyak hak itu datang daripada tidak. Seperti, saat ia ikut dalam kegiatan olahraga, hanya ditempatkan sebagai cadangan. Lalu ia berpikir, mungkin itulah hak yang patut diterima. Kemudian, ketika ia telah lulus kedokteran, pasiennya hanya sedikit. Ia melihat itu sebagai suatu hal untuk mendorongnya untuk bertanggungjawab lebih lagi dalam menerima kewajiban-kewajiban yang lain.
Mendahulukan kewajiban, mungkin telah menjadi hal aneh bagi sebagian orang saat ini. Saat dimana orang hanya menuntut hak, atau sekurangnya selalu mendahulukan hak. Apakah karena hak-hak itu tidak lagi didapat, atau mungkin karena persaingan yang kuat? Tampaknya tidak juga. Sebab waktu dulu persaingan sama beratnya. Pada masanya, dari 3000 orang yang mendaftar untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) hanya 150 orang yang diterima. Dan, ia diterima masuk FK-UI, yang pada waktu itu mendapat beasiswa dari pemerintah dalam bentuk uang saku sebesar Rp. 400 ditambah Rp. 200,00 dari Depdiknas. Padahal gaji ayahnya waktu itu hanya Rp. 800.
Maka ketika hal ini diceritakan pada ayahnya, Sang Ayah begitu bangga dan mengatakan, “Gajiku hanya 800, kamu belum jadi dokter sudah 400.” Sang Ayah ingin menyatakan bahwa ia telah mendapatkan haknya, cukup besar. Namun ketika memasuki inflansi ekonomi, nilai uang menjadi rendah. Pada masa itu terasa sekali kesulitan. Beras sangat mahal. Maka untuk memasak nasi (masak sendiri) airnya disengaja dibuat lebih banyak. Lalu untuk lauknya dibeli dendeng di pasar Cikini. Ia dan teman-teman setiap hari makan seperti itu. Semua terasa sulit, tapi memang tidak ada jalan lain. Namun ia tetap harus belajar dengan sungguh-sungguh.
Ketika memasuki masa pergolakan, ia ikut dalam perjuangan mahasiswa 1966. Hal ini ia anggap sebagai kewajiban mahasiswa Indonesia ketika itu. Lagi pula ia mendapat kepercayaan dari teman-teman mahasiswa untuk ikut aktif. Saat itu, ia melihat dirinya di antara dua kewajiban antara belajar dan perjuangan mahasiswa. Akhirnya belajar sempat ia nomor duakan, sehingga ia pernah hampir DO (drop out).
Tapi, kembali Tuhan campur tangan, sehingga ia dapat melanjutkan kuliah dan lulus. Ketika acara wisuda, orangtuanya tidak bisa datang, karena biaya transportasi waktu itu sangat mahal. Apalagi ayahnya sudah pensiun. Lalu ayahnya menanyakan mau ke mana ia selanjutnya? Ada niat ke tentara atau ke mana? Ketika itu ada kesempatan mengikuti latihan militer di Solo. Ia berpikir panjang, dan karena terlalu lama, maka ia tidak jadi mendaftar.
Selain itu, Depkes waktu itu mencari lulusan baru. Ia diminta bergabung yaitu praktek di Maluku di pulau Buru. Akhirnya ia memilih ke Maluku dengan anggapan bahwa itu sudah menjadi kewajiban sebagai dokter. Bersama teman-teman yang lain, di sana ia hidup sangat sederhana. Bila tidak ada beras, mereka makan singkong dan ikan mujahir.
Karena kedua makanan ini yang paling mudah di temukan. Ikan mujahir itu ikan yang paling mudah hidup dan berkembang pesat. Waktu itu juga ada teman-teman dari ITB menebar ikan mujahir di sebuah rawa dan dalam beberapa bulan rawa itu penuh dengan ikan mujahir. Saking banyaknya, ikan itu menjadi seperti hama yang memakan anak udang. Sementara singkong mampu hidup dalam kondisi apapun khususnya di lalang-lalang. Jadi singkong dan mujair itu merupakan berkah tersendiri bagi mereka.
Setelah menyelesaikan kewajiban sebagai dokter di pulau Buru, sepulangnya dari sana ia diterima sebagai dokter bagian bedah RS Persahabatan Jakarta (1973). Ini wujud ia mendapatkan hak. Dan, ia sadar menjadi dokter bagian bedah itu lebih banyak lagi kewajiban dan tanggungjawabnya. Ia pun melaksanakan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya.
Kemudian, pada tahun 1979, ia kembali mengambil pendidikan ahli bedah di Universitas Indonesia (lulus 1980). Setelah itu, pada tahun 1980, ia diminta oleh Gubernur Soeprapto untuk menjadi dokter ahli bedah di Bengkulu. Karena tidak ada yang mau menjadi dokter di sana. Dokter yang terakhir berada di sana hanya bertahan selama 6 bulan. Alasannya, di Bengkulu tidak ada uang, daerahnya terpencil dan miskin.
Tapi berbeda dengan anggapan banyak dokter lainnya itu, ia melihat Bengkulu tidak miskin, masyarakatnya kaya. Mereka adalah penghasil tembakau, kopi, cengkeh. Hal ini kemudian terbukti. Salah satu pengalamannya yang menarik adalah ketika seorang ayah membawa anaknya perempuan yang hendak dinikahkan untuk diobati. Si Ayah membawa uang dalam sarungnya, hasil penjualan sapi mereka. Si Ayah itu tanya, “satu sapi cukup ngga?” Lalu ia jawab dengan heran, “Lebih dari cukup, Pak”.
Di Bengkulu ia merasa senang. Pada waktu itu, setiap praktek, ia dapat lima ribu rupiah. Sedangkan biaya naik pesawat Jakarta-Bengkulu sekitar empat puluh ribu rupiah. Jadi setiap bulan ia masih dapat datang ke Jakarta bertemu dengan teman-teman.
Selama lebih 14 tahun ia mengabdi di provinsi Bengkulu. Oleh gubernur, ia sempat ditahan untuk tidak keluar dari Bengkulu. Gubernur mungkin melihat bagaimana ia memberikan perubahan yang lebih baik dalam lingkungan rumah sakit pemerintah di Bengkulu. Rumah sakit Bengkulu itu menjadi lebih baik dan dapat bersaing dengan rumah sakit swasta. Sebelumnya rumah sakit pemerintah itu penuh dengan keluhan-keluhan, terutama di bagian gawat darurat dan bedah. Gubernur mengakui semenjak ia memimpin rumah sakit itu, keluhan itu berkurang drastis.
Hal itu diperoleh, karena ketika ia memimpin rumah sakit itu, ia sungguh-sungguh mencurahkan pikiran dan tenaganya di situ. Sampai-sampai rumah sakit menjadi rumah kedua baginya. Lagi pula, ia sendiri yang menjadi dokter ahli bedah di rumah sakit itu.
Ibarat mutiara ditaruh di mana pun akan tetap bercahaya. Begitu pula karya seseorang yang mendahulukan kewajiban akan bercahaya di mana pun ia ditempatkan. Cahaya itu selalu mengundang perhatian. Demikian pula, dokter yang meraih gelar Master Program Scholl of Health Sevices Management, The University of New South Wales, Sidney, Australia (1990), ini kemudian diminta untuk memimpin RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, 1994-1998.
Selama di Yokyakarta ia merasakan banyak masalah. Terlebih karena ia sendiri alumni UI sedangkan di sana banyak lulusan UGM. Tapi, Tuhan yang mengatur, sehingga semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Bahkan ia diminta agar berkenan lebih lama di sana.
Ketika ada pergantian pemerintahan dari Pak Harto ke Pak Habibie, ia diberikan tugas oleh Menteri Kesehatan untuk melaksanakan Program Kontrasepi Mantap. Sebuah program yang memberikan pelayanan pada masyarakat dengan menggunakan operasi pemotongan saluran, bukan menggunakan alat kontrasepsi yang umum. Program ini bukan program dari pemeritah. Belum disetujui. Sehingga yang maju melaksanakan program ini dari kalangan LSM. Ternyata cukup diterima dengan baik oleh masyarakat. Ketika itu, di Yokyakarta, ada sekitar 40 pasien perhari.
Kemudian, prestasi demi prestasi telah mengantarkannya dipercaya menjadi Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan (1998-1999). Sampai ketika pemerintah kembali berubah, Gus Dur menjadi Presiden, ia pun diangkat menjadi Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (1999-2001).
Ia memang telah lama mengenal Gus Dur. Perkenalan mereka, dimulai saat ia masih aktif di dewan mahasiswa. Pada waktu itu mahasiswa memiliki image kecenderungan bertindak hiperaktif, sehingga ada yang menyarankan agar mahasiswa diarahkan ke dalam kegiatan-kegiatan seni dan olahraga. Pada saat itu, ia ditunjuk untuk mengurusi hal itu, walaupun ia sendiri bukan seniman atau olahragawan.
Pada mulanya yang mengetuai adalah Salim Said yang memang adalah seorang seniman yang suka menulis cerpen dan kritikus film. Setiap kali mereka menonton film, ia hanya menonton saja. Sedangkan Salim Said, setelah menonton film sampai di rumah langsung mengetik sampai pagi. Jadi Salim Said diakui sebagai tokoh seni mahasiswa. Sementara ia hanya membantu. Namun ketika Salim mendapat beasiswa ke Amerika, ia yang menggantikannya. Walaupun bukan seniman tapi ia bisa mengatur para seniman mahasiswa dan seniman profesional. Para seniman ini sering berkumpul, waktu itu di Planet, kira-kira letaknya tidak jauh dari pasar Senen sekarang.
Kemudian gubernur DKI, waktu itu Pak Ali Sadikin, memutuskan untuk mengganti tempat berkumpul para seniman tersebut dengan membentuk Tim Pembangunan Taman Ismail Marzuki yang diketuai oleh Dr. Umar Kayam dan sekretarisnya Taufik Ismail. Di antara seniman-seniman itu, Gus Dur termasuk di dalamnya. Bahkan Gus Dur sempat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Di situlah ia berkenalan dengan Gus Dur.
Setelah itu, mereka lama tidak bertemu, hanya kadang-kadang saja. Sampai suatu pagi, jauh sebelum Gus Dur terpilih jadi presiden, Gus Dur memanggilnya. Mereka berbincang-bincang tentang pemilihan presiden yang semakin mendekat. Saat itu Gus Dur mengatakan bahwa ia siap untuk menjadi presiden. Kemudian mereka berbicara lebih lanjut sekitar masalah kesehatan. Bagaimana membuat obat yang murah. Tapi Sujudi mengatakan yang utama bukan bagaimana membuat obat yang murah, melainkan membuat obat yang terjangkau.
Setelah itu waktu terus berlalu. Pembicaraan itu pun seakan-akan telah terlupakan. Ia sendiri juga tidak begitu memperkirakan Gus Dur jadi presiden dengan kondisi politik saat itu. Sampai waktu terakhir, ternyata Gus Dur terpilih mengalahkan Megawati dan kandidat lainnya. Anehnya, setelah Gus Dur terpilih banyak wartawan datang menemuinya menanyakan kemungkinan dipilih menjadi menteri. Ia sendiri tidak percaya. Sebab Gus Dur tidak menelepon atau menghubunginya. Tetapi ketika kabinet diumumkan, ternyata ia terpilih menjadi Menteri Kesehatan.
Selepas itu, suatu saat, ia menanyakan proses pengangkatannya kepada Gus Dur. Ternyata Gus Dur mengangap obrolan waktu itu adalah caranya menghubungi.
Begitu pula ketika Ibu Megawati menjadi Presiden menggantikan Gus Dur. Ia dipanggil. Presiden Megawati menilainya sebagai seorang yang “task oriented.” Ia orang yang berorientasi pada tugas. Prinsip dan filosofi yang ia anut (yang digariskan oleh ayahnya) untuk mendahulukan kewajiban, rupanya terpancar juga dalam pandangan Presiden Megawati. Maka, ia pun diangkat kembali memimpin Departemen Kesehatan dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004).
Semua itu merupakan buah dari nasehat ayahnya yang kini sudah berumur 95 tahun. Nasehat yang menjadi prinsip, filsafat hidup yang dianut sedemikian rupa untuk mendahulukan kewajiban. Hal yang mungkin bagi banyak orang pada zaman ini bisa saja menjadi tertawaan. Saat banyak orang berteriak-teriak memperjuangkan mendahulukan hak-haknya.
Namun pengalaman Achmad Sujudi ini, paling tidak berguna sebagai cermin bagi banyak orang yang kini cenderung selalau mendahulukan hak. Atau sebagai gudang pengalaman untuk belajar mendahulukan kewajiban. Sebab, ternyata ada deretan kisah sukses bagi orang yang mendahulukan kewajiban.
Kendati, sebagai manusia biasa, tentu di balik kisah sukses itu, ada juga kisah susah, tantangan bahkan kegagalan. Namun bagi yang mendahulukan kewajiban, kegagalan bukanlah perjalanan akhir, melainkan sebuah proses menuju sukses.
Indonesia Sehat 2010
Sebagai menteri, tentu saja ia tetap dalam prinsip mendahulukan kewajiban. Ia pun memulai tugasnya dengan menyusun visi “Indonesia Sehat 2010.” Visi untuk memacu bangsa ini menjadi bangsa yang sehat dan sejahtera. Untuk itu ia mencanangkan segala program penanggulang penyakit diharapkan dapat selesai pada tahun 2005. Sehingga pada tahun 2010 Indonesia dapat aman dari segala penyakit.
Visi ini kini tengah disosialisasikan kepada masyarakat, agar masyarakat memahami. Ia sangat menyadari untuk mencapai hal tersebut diperlukan strategi yang tepat. Salah satu strateginya yaitu hendaknya setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah mengarah kepada kebijakan yang mengutamakan kesehatan. Jadi walaupun misalnya suatu kebijakan atau program bagus namun jika merugikan kesehatan, lebih baik tidak dilanjutkan.
Sementara strategi yang diarahkan kepada masyarakat, adalah meminta agar masyarakat berperilaku sehat. Apa pun yang disukai, dinikmati atau disenangi, namun apabila merugikan kesehatan, janganlah dilakukan. Berperilaku sehat juga berarti peduli terhadap lingkungan yang sehat.
Di samping itu juga diupayakan peningkatan pelayanan kesehatan, terutama dengan rumah sakit-rumah sakit. Indonesia beruntung karena selama pemerintahan orde baru telah terbangun 7200 rumah sakit. Setiap kabupaten telah memiliki rumah sakit walaupun baru 40% memiliki dokter sepesialis. Selain rumah sakit juga terbangun 250.000 Puskesmas sebagai Posyandu. Semua itu terus dipertahankan. Juga diupayakan kelancaran penyaluran lulusan kedokteran sejumlah 2500 lulusan pertahun ke seluruh daerah serta penepatan PNS di seluruh Posyandu di seluruh Inddonesia.
Bangsa ini memang tengah mengalami berbagai kesulitan. Ia melihat bangsa ini sudah lama tidak mengalami sukses. Saat ini juga agak sulit orang untuk menghargai kesuksesan. “Saya pikir bangsa kita perlu sukses dalam berbagai bidang,” ujar suami Sulastini, SH yang dinikahinya 1973 dan dikaruniai dua anak yakni Ratri Mirwesti (1974) dan Prita Miranti (1979). Seperti program Pekan Imunisasi Nasional itu sukses, terutama dalam menggalang dana yang diperoleh sebesar Rp 60 miliyar, Rp 40 miliyar dari dalam negeri.
Selain itu langkah mengaktifan kembali posyandu-posyandu yang lemah, juga membuahkan hasil. Pelaksanaannya sudah melebihi target yang ingin dicapai, yakni sekitar 105% peningkatan. Bagi segi kesehatan hal tersebut sukses, namun bagi bangsa mungkin tidak terlalu kelihatan.
Demikian juga dengan Gerakan S.E.H.A.T yang dicanangkan oleh Ibu Presiden. Kendati tidak mudah untuk mengukur respon masyarakat, namun kalau diperhatikan dengan baik, saat ini masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran untuk berperilaku sehat. Indikatornya dapat dilihat ketika Hari Jantung Sehat Nasional, terdapat puluhan ribu klub kesehatan di seluruh Indonesia yang hadir. Juga jika dilihat hampir setiap pagi, banyak masyarakat yang suka berolah raga atau berlari pagi.
Mernurutnya, pengertian sehat yang dicita-citakan dalam Indonesia Sehat 2010 adalah seperti layaknya pengertian sebuah rumah. Artinya, ketika rumah itu dibuat dari bambu berlantai tanah, ia tetap bernama rumah. Demikian pula ketika rumah itu dibuat dari kayu, atau dari tembok semen, berlantai keramik berdinding pualam, ia tetap bernama rumah.
Pengertian itu bisa juga diartikan bahwa pada 2010 bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan yang baik, berperilaku sehat, dan dapat menjangkau, memilih, serta menggunakan pelayanan kesehatan secara adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal.
Sehubungan dengan itu, ada target-target variabel kondisi yang ingin dicapai dalam delapan tahun terakhir ini, atau 10 tahun terhitung sejak dicanangkan pada 2000 lalu, yaitu (1) lingkungan sehat, (2) perilaku hidup sehat dan (3) derajat kesehatan optimal.
Lingkungan Sehat adalah mencakup lingkungan fisik, lingkungan biologis, lingkungan ekonomis, dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik meliputi utamanya adalah rumah, air, dan penanganan limbah. Lingkungan biologis berupa kehidupan vector atau binatang penular penyakit. Lingkungan ekonomis mencakup keadaan pendapatan penduduk, jaminan kesehatan, angka pengangguran, angka penduduk miskin, dan besarnya anggaran kesehatan pemerintah atau publik (pusat maupun daerah). Lingkungan sosial mencakup pertumbuhan penduduk, angka penduduk perkotaan, kemampuan baca tulis, dan partisipasi sekolah, yaitu sedikit-banyaknya usia sekolah yang tertampung menjadi murid sekolah.
Targetnya, pada 2010, diharapkan 90% keluarga telah menghuni rumah sehat, 94% telah memiliki persediaan air bersih di rumahnya, dan 86% telah memiliki jamban sehat. Pada 2010 itu, angka bebas jentik nyamuk telah mencapai 90%.
Sedangkan target pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun diharapkan hanya sebesar 1% saja. Daerah-daerah telah berhasil memacu pembangunan, sehingga konsentrasi lapangan kerja di perkotaan tidak terlalu besar seperti sekarang. Lalu, 95% penduduk pada 2010 telah melek huruf. Anak usia SD (7-12 tahun) 100%, angka usia SLTP (13-15 tahun) 95%, dan angka usia SLTA (16-18 tahun) 75%.
Perilaku Hidup Sehat mencakup individu dan keluarga semua telah mendukung kesehatan. Seperti beraktivitas fisik atau berolahraga secara teratur, mengonsumsi gizi yang seimbang, dan tidak merokok.
Ditargetkan, pada 2010, penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas, 50% telah melakukan olahraga secara teratur, dan 90% tidak merokok. Sebanyak 50% rumah tangga telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat.
Saat itu, peran serta masyarakat di bidang kesehatan bisa dilihat dari angka pos pelayanan terpadu (posyandu), pos obat desa (POD), pondok bersalin desa (polindes), dan pos upaya kesehatan kerja (UKK). Pelayanan kesehatan yang adil, merata dan terjangkau juga bisa dilihat dari angka penggunaan puskesmas, angka penggunaan pelayanan rawat jalan rumah sakit, dan angka penggunaan pelayanan rawat inap di rumah sakit, serta mutu pelayanan rumah sakit itu sendiri.
Pada 2010, ditargetkan rata-rata tiga buah puskesmas untuk dua kecamatan, dengan angka kunjungan rata-rata per hari adalah 100 orang. Rata-rata kunjungan rawat jalan 190 orang, sedangkan angka penggunaan pelayanan rawat inap rumah sakit ditargetkan rata-rata 60% tempat tidur dengan lama perawatan rata-rata empat hari. Mutu rumah sakit diukur dengan angka kematian sesudah 48 jam dirawat. Ditargetkan 2010 hanya terjadi 14 kasus dari 1.000 pasien.
Dengan kondisi ideal demikian, diharapkan bangsa Indonesia pada 2010 telah ada pada derajat kesehatan yang optimal. Dengan empat indikator, yaitu panjang usia rata-rata penduduk, angka kematian, angka penderita penyakit, dan keadaan gizi masyarakat.
Sementara itu, beberapa penyakit digunakan untuk menjadi indikator, yaitu malaria, demam berdarah, diare (muntaber), tuberculosis (Tb), dan HIV/AIDS. Pada 2010 ditergetkan hanya terdapat lima penderita malaria dari 1.000 penduduk, dua penderita demam berdarah dari 100.000 penduduk, dan penderita diare dari 1.000 penduduk, dan 85% penderita Tb berhasil disembuhkan, sedangkan untuk penderita HIV/AIDS diharapkan kurang dari 1%.
Untuk kondisi gizi, pada 2010 ditargetkan hanya 5% bayi yang lahir dengan berat badan di bawah normal, dan 80% anak balita sudah mengenyam gizi yang baik. Selain itu, ditargetkan pula 65% ibu hamil bebas dari penyakit anemia.
Sementara kondisi saat ini, dari catatan tahun 2000 misalnya, dari setiap 1.000 penduduk masih terdapat 50 penderita malaria dari hanya lima orang yang ditargetkan. Lalu, dari 100.000 penduduk terdapat 16 penderita demam berdarah, dari dua saja yang diidealkan. Sementara itu, dari ibu hamil yang bebas anemia hanya 49,1%, dari 65% yang ditargetkan.
Memang telah terjadi peningkatan usia hidup penduduk dari 46 tahun (1960-an) menjadi 66 tahun pada 2000. Pada 2010 diharapkan akan meningkat lagi menjadi 67,9 tahun.
Dilihat dari kondisi lingkungan fisik, pada 2000 84,51% penduduk Indonesia telah menghuni rumah dalam kategori sehat, tetapi baru 72,97% yang memiliki persediaan air bersih di rumahnya, dan baru 58,1% memiliki jamban sehat, sedangkan angka bebas jentik nyamuk di tiap provinsi rata-rata baru 83,74%.
Dari sudut ekonomi, berdasarkan harga berlaku, pendapatan penduduk Indonesia rata-rata per orang sebesar Rp5,77 juta per tahun, atau baru sekitar 50% dari yang diidealkan Rp10,5 juta. Sementara itu, baru sekitar 10% saja penduduk yang sudah terjamin pembiayaan kesehatan melalui asuransi.
Angka pengangguran hingga kini masih terbilang cukup tinggi, yaitu 6%, penduduk miskin masih sekitar 18,2%, sementara angka ideal 2010 dipatok target 5% saja. Di lain pihak, pertumbuhan penduduk masih terbilang cukup tinggi, yaitu 1,35% per tahun.
Di bidang pendidikan dasar, terbilang cukup menggembirakan. Misalnya, penduduk melek huruf hingga 2000 lalu sudah mencapai 89,76% dari 95% yang ditargetkan. Demikian pula dengan angka masuk sekolah SD yang sudah mencapai 95% dari 100% yang diharapkan. Tetapi, angka masuk sekolah SLTP baru mencapai 79% dari 95% yang ditargetkan, dan angka masuk SLTA 51% dari 75% yang diidealkan.
Dalam hal perilaku hidup sehat, penduduk Indonesia rata-rata hingga kini masih dalam kondisi yang kurang menggembirakan. Misalnya, sebanyak 69,5% penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak merokok, masih jauh dari harapan sebesar 90%. Sementara yang melakukan olahraga teratur baru sekitar 5,53% saja, masih jauh dari angka ideal yang diharapkan, yaitu 50%.
Demikian pula dengan kondisi peran serta masyarakat di bidang kesehatan. Pada 2000 tercatat rata-rata satu posyandu mandiri, satu POD mandiri, satu polindes mandiri, dan satu pos UKK mandiri masih harus melayani 20 desa. Ini masih perlu digalakkan untuk mencapai target untuk lima desa saja.
Itu berarti, di depan masih terhampar tugas berat, untuk menuju Indonesia Sehat 2010. Belum lagi masalah krisis ekonomi yang belum pulih. Apalagi bila dilihat alokasi bidang kesehatan dari pemerintah juga masih sangat kecil, yaitu sekitar 0,6% dari PDB. Padahal, idealnya adalah 2,5% dari PDB. Tugas berat yang harus dijawab dengan mengedepan-kan kewajiban oleh semua pihak.
Walaupun dalam kenyataan, tampaknya sangat sulit baginya menerapkan prinsip ini di lingkungan depatemen yang kini dipimpinnya. TI