Produktif Menjadi Penyair

Dorothea Rosa Herliany
 
0
436
Dorothea Rosa Herliany
Dorothea Rosa Herliany | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Hobi membaca sejak kecil akhirnya membawa Dorothea Rosa Herliany menjadi seorang penyair besar. Ia juga aktif menulis cerpen, esai, dan laporan budaya. Sejak tahun 80-an, hampir semua media massa yang memiliki ruang puisi memuat puisi-puisinya. Belasan karyanya telah mendapat penghargaan, salah satunya penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005/2006 untuk kumpulan puisinya berjudul ‘Santa Rosa’.

Bagi Rosa, demikian perempuan ini akrab dipanggil, berbagai penghargaan yang telah diterimanya menunjukkan bahwa karyanya dinikmati dan dipahami oleh banyak orang. Karena itu pula, dia mengaku sangat gembira, sebab dalam penglihatannya, puisi itu selama ini dianggap sebagian orang, terpencil, jauh dan berada di awang-awang. Jadi dengan penghargaan itu, dia merasa telah bisa membuktikan betapa puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sangat dekat dan peduli pada masyarakat dan kehidupan. “Puisi, jika saja orang tahu, sesungguhnya hal yang pasti membicarakan sesuatu yang ada di masyarakat,” kata Rosa.

Perempuan kelahiran Magelang 20 Oktober 1963 ini tidak hanya dikenal di Tanah Air tapi juga hingga ke luar negeri. Dia telah beberapa kali ke luar negeri untuk mengikuti pertemuan dan festival. Misalnya, tahun 1990 dia mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Filipina, kemudian tahun 1995 dia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda, dan tahun 2000 dia menjadi writer-residence di Australia.

Kehebatannya sebagai penyair tidak lepas dari kegemarannya membaca buku. Ia memang bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku karena ayahnya A Wim Sugito hanya seorang pegawai negeri sipil di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, sementara ibunya A. Louisye hanya seorang ibu rumah tangga. Namun, kegemarannya membaca buku telah menuntun kakinya untuk sering bermain ke rumah tetangganya yang kebetulan memiliki banyak buku dan majalah.

Dari kebiasaan membaca tersebut, muncullah kemampuan untuk membuat cerita atau puisi. Rosa mulai belajar menuangkan segala pemikiran, emosi serta ekspresinya ke dalam lembaran-lembaran kertas. Karya perdananya yang berbentuk opini dimuat di majalah Hai ketika ia masih SMP. Sejak saat itu, semangat menulisnya terus menggebu. Bahkan cita-citanya ingin menjadi psikolog akhirnya ia lupakan. Demi mengikuti dorongan hatinya menjadi seorang penyair, harapan orangtuanya agar ia menjadi seorang pegawai negeri yang mempunyai gaji dan jam kerja yang jelas, juga dia kesampingkan.

Dorongan hatinya yang ingin memperdalam sastra, membuat Rosa yang menjalani pendidikan dasar di SD Tarakanita Magelang, sekolah menengah pertama di SMP Pendowo Magelang, dan sekolah menengah atas di SMA Stella Duce Yogyakarta, melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (sekarang Universitas Sanata Dharma).

Di bangku kuliah, keinginannya untuk menjadi penulis semakin menggebu-gebu apalagi di tempat kuliahnya sering diadakan berbagai lomba menulis, latihan mengarang atau melakukan beraneka macam kegiatan yang bersifat pengemukaan ekspresi. Hal ini membuat Rosa semakin terpacu menulis di media. Puisi-puisinya muncul di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. “Waktu itu senangnya bukan main, karena itu bagi saya hal yang luar biasa,” kenang pengagum penyair dan penulis Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini.

Setelah menamatkan kuliahnya di IKIP Sanata Dharma, dia terjun menjadi penulis lepas, wartawan harian, dan guru SMA. Namun pada akhirnya, ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan.

Sedikitnya, dia telah menerbitkan 18 judul buku terdiri dari: kumpulan puisi, kumpulan cerpen, cerita anak, cerita remaja, dan cerita rakyat. Buku puisinya antara lain; Santa Rosa (bilingual, 2005) yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award (2006), dan Kill the Radio (2001), diterbitkan ulang oleh Arc Publication di London (2007). Selain itu ada pula Nyanyian Gaduh (Kumpulan Puisi, 1987), Matahari yang Mengalir (Kumpulan Puisi, 1990), Kepompong Sunyi (Kumpulan Puisi, 1993), Cerita dari Hutan Bakau (Antologi Puisi, 1994), Blencong (Kumpulan Cerpen, 1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (Kumpulan Cerpen, 1999). Puisi-puisinya itu sebagian sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Jepang, Korea, dan Vietnam.

Berkat karya-karyanya tersebut, Rosa sudah menerima sejumlah penghargaan antara lain Pemenang I Penulisan Puisi Hari Chairil Anwar yang diselenggarakan SEMA Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma (1981) ; Pemenang I Penulisan Puisi yang diselenggarakan Institut Filsafat dan Theologia (IFT) Yogyakarta (1985) ; Penghargaan Kesusastraan dari Asosiasi Wartawan Jawa Tengah Indonesia(1995) ; Penghargaan Seni dari Pemerintah Daerah Magelang (1995) ; Puisi Terbaik (Mimpi Gugur Daun Zaitun) dari Dewan Kesenian Jakarta (2000) ; Penulis Terbaik dari Pusat Bahasa Indonesia (2003) ; Penghargaan Seni dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004) ; dan The Khatulistiwa Literary Award untuk “Santa Rosa” (2006).

Istri dari Andreas Darmanto ini juga pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 2002 menjadi wakil pemimpin majalah Matabaca.

Advertisement

Di samping menulis puisi, dia juga menulis cerpen, esai, dan laporan budaya. “Saya menulis puisi secara spontan. Saya tidak pernah memilih kata-kata yang akan dipakai bagi puisi saya. Kata-kata dalam puisi saya menggunakan kata-kata seram, kasar, berani bahkan keras. Kata-kata itu mewakili diri saya,” tutur Rosa tentang caranya menulis puisi. “Puisi saya mengalami pergeseran yang menarik. Di tengah ribuan puisi yang sibuk dengan komentar sosial yang keras, puisi saya malah berupaya membebaskan diri dari bayang-bayang yang telah diciptakan,” ujarnya lagi.

Hal itu memang tercermin dari salah satu tulisannya, yakni saat ia menggugat mitos-mitos dalam dunia perkawinan. Dalam dunia perkawinan, memang selalu ada kewajiban “menikah itu untuk setia”. Menurutnya, dalam kenyataan, komitmen semacam itu hanya berada di permukaan, tidak berada di hati. Karena itu, dia pun menulis: ‘Ketika menikahimu tak kusebut keinginan untuk setia’. Tulisan ini membuat banyak orang kaget, shock.

Menurut pandangan Rosa, puisi memang harus seperti itu. Tugas puisi harus memberi kejutan. Kejutan yang lembut. Puisi itu harus menonjok. Puisi itu harus seperti tinju dengan sarung yang lembut. Jadi, dalam berpuisi dan mengkritik nilai-nilai yang sudah mapan atau dimutlakkan, dia memang memukul dengan lembut. Dia mengatakan puisi itu pukulan bersarung tinju beludru.

Mengutip pernyataannya dalam sebuah sesi wawancara dengan harian Suara Merdeka pada tahun 2006, Rosa mengatakan keberatan jika ia disebut feminis. Ia menolak anggapan itu karena menurutnya yang ia perjuangkan bukan persoalan keperempuanan, tetapi lebih kepada kemanusiaan. Laki-laki juga perlu ditolong jika dia lemah. Maka lebih baik jika ia disebut sebagai pejuang humanisme, bukan feminisme.

Tentang dukungan keluarga, Rosa mengaku merasa sangat beruntung karena dukungan suaminya Andreas Dharmanto pada karirnya. Dalam kesehariannya, Rosa bersama suaminya, yang juga bergelut di bidang penulisan sejak 1997, mengelola Indonesia Tera, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penerbitan buku, majalah dan jurnal, penelitian, pendidikan, ekspresi dan apresiasi seni, dokumentasi, dan pengembangan jaringan kerja sama kebudayaan.

Sebagai penerbit, Indonesia Tera telah menerbitkan ratusan buku berkualitas dan beroleh apresiasi tinggi. Bahkan, Indonesia Tera menjadi penerbit Indonesia pertama yang diundang dalam pameran buku “Internasional Frankfurt Book Fair”, Jerman 2003. Namun, sayang buku-buku berkualitas yang diterbitkan Indonesia Tera kurang laku. Akibatnya, perlahan-lahan modal mereka tergerus, bahkan meninggalkan utang di percetakan. Sejak 2008, pasangan suami-istri itu akhirnya mundur dari Indonesia Tera. Di samping penerbitan, Rosa juga mendirikan Dunia Tera, toko buku sekaligus penyedia perpustakaan gratis dan rumah baca, wahana pecinta buku, serta penggiat budaya untuk berdiskusi.

Sebagai seorang ibu, Rosa mempunyai cara sendiri dalam mendidik dua putrinya, Regina Redaning dan Sabina Kencana Arimanintan. Dia membiasakan kedua anaknya mencintai buku sejak kecil. Walau sibuk, Rosa menyempatkan diri mendongengi anak-anaknya. “Sebelum tidur, saya selalu mendongeng. Terus sekarang gantian mereka yang mendongeng untuk saya dan ceritera mereka lebih seru,” ucap Rosa. Ia juga selalu memberi pengertian bahwa sekolah bukan satu-satunya tiket untuk menjadi manusia yang baik. Dikatakannya, tujuan hidup yang sesungguhnya bukanlah untuk menjadi manusia sukses, tetapi manusia yang baik. e-ti | muli, red

Data Singkat
Dorothea Rosa Herliany, Penyair / Produktif Menjadi Penyair | Direktori | penyair, cerpen, penulis, puisi, sastra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini