Sastrawan Tokoh Tridharma
Kwee Tek Hoay
[DIREKTORI] Sastrawan Melayu Tionghoa dan tokoh ajaran Tridharma ini banyak menulis karya sastra, kehidupan sosial, pendidikan dan agama masyarakat Tionghoa peranakan. Namanya semakin dikenal setelah menjadi penulis novel dan drama. Karyanya yang terkenal di antaranya, Drama di Boven Digoel, Boenga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia, dan Drama
Saat masih duduk di bangku sekolah, Kwee Tek Hoay (KTH) terpaksa sering membolos. Pria kelahiran kota hujan, Bogor ini membolos bukan karena malas belajar tapi karena ia tak memahami bahasa Hokkian yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolahnya. Hal itu membuat ia merasa kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan gurunya.
Oleh sebab itu, KTH kecil lebih memilih membantu bisnis tekstil ayahnya. Di sela-sela kesibukannya membantu sang ayah berjualan, KTH gemar mengisi waktunya dengan membaca buku. Agar tidak diganggu ayahnya, ia membaca secara sembunyi-sembunyi. Di kemudian hari, hobi membacanya itu menjadi sangat berguna bagi masa depannya.
Beranjak dewasa, KTH memulai karirnya sebagai seorang wartawan. Awalnya ia menjadi anggota redaksi majalah surat kabar Ho Po dan Li Po yang berkedudukan di kota kelahirannya, Bogor. Setelah itu ia hijrah ke Batavia (Jakarta) dan bekerja di majalah Sin Po.
Pada tahun 1926, berbekal pengalamannya sebagai kuli tinta di berbagai media, KTH memberanikan diri membuat majalahnya sendiri yang diberi nama Panorama. Majalah itu dimanfaatkannya untuk mengaspirasikan pandangan politiknya yang kerap dianggap kontroversial oleh para pemimpin terbitan lain yang menjadi pesaingnya. Karena dianggap terlalu vokal, ia pun diseret ke pengadilan. Namun hal itu tidak menciutkan nyalinya untuk terus menyuarakan kebenaran. KTH memahami benar resikonya sebagai wartawan.
KTH bekerja keras membesarkan majalah yang diasuhnya. Selain sebagai penulis, ia juga mengurus distribusi dan periklanan. Lima tahun berselang, yakni pada 1931, Panorama berganti pemilik setelah KTH menjualnya kepada Phoa Liong Gie. Namun tak berarti karirnya sebagai wartawan terhenti. Menulis bagi KTH bukan hanya sebagai alat untuk mencari nafkah tapi juga panggilan hati. Maka dari itu, ia pun kembali menerbitkan berbagai majalah mulai dari yang cakupan bidangnya umum (Mustika Panorama), sastra (Mustika Romans), hingga yang sifatnya keagamaan (Mustika Darma dan Sam Kauw Gwat Po).
Di majalah sastra terbitannya, Mustika Romans, ia banyak mengungkapkan keterlibatannya dalam politik. Karyanya yang paling terkenal berjudul “Asal Mulanya Timbul Pergerakan Tionghoa di Indonesia”. Karya tulis yang bercerita tentang sejarah dan latar belakang berdirinya perkumpulan THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) itu dimuat secara berseri mulai Agustus 1936 hingga Januari 1939 dan diterjemahkan oleh sinolog terkemuka Lea Williams ke dalam bahasa Inggris lalu diterbitkan oleh Cornell University Modern Indonesia Project dengan judul ‘The Origin of the Modern Chinese Movement in Indonesia’ pada 1969.
KTH dikenal sebagai penulis dengan wawasan yang sangat luas. Selain cakap menuangkan gagasannya dalam bidang politik, ia juga apik menuliskan pemikirannya mengenai pendidikan. Keluasan pikirannya tentang pendidikan dituangkan dalam buku “Rumah Sekolah Yang Saya Impikan”. Dalam buku itu, KTH menitikberatkan pendidikan pada kebudayaan leluhur, kesenian, musik, dan peranan praktik dalam pelajaran. Bagi KTH, praktik jauh lebih penting daripada teori. Dengan mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya, seorang murid menurutnya akan lebih mudah meresapi, kemudian mengamalkannya di kemudian hari.
Selain itu, ia juga mengemukakan pendapatnya mengenai sekolah ideal yang harus mempunyai pemondokan. Hal itu dimaksudkan agar para pelajar dapat lebih berkonsentrasi dalam menimba ilmu. Di luar jam belajar, mereka bisa mengisi waktu dengan membaca buku di perpustakaan.
KTH dikenal sebagai penulis dengan wawasan yang sangat luas. Selain cakap menuangkan gagasannya dalam bidang politik, ia juga apik menuliskan pemikirannya mengenai pendidikan.
Ide-idenya tentang pendidikan tak hanya mengenai pendidikan dalam lingkungan sekolah tapi juga luar sekolah. Misalnya pendidikan untuk kaum perempuan. Di masa itu perempuan belum memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan seluas-luasnya seperti sekarang. Mereka masih dibelenggu dengan norma dan aturan yang menempatkan posisi mereka di bawah pria. Tidak boleh bersekolah, menjalani masa pingitan, hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, hingga seorang laki-laki datang melamar mereka. Untuk hal yang paling pribadi seperti itu saja, mereka tak diberi kesempatan untuk memilih, semua bergantung pada keputusan orangtua.
Dengan pola seperti itu, KTH merasa sangat prihatin. Karena para gadis itu kelak akan melahirkan generasi penerus namun memiliki ilmu yang terbatas untuk mengemban tanggung jawab sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya. Sebagai wadah bagi kaum perempuan dalam menuangkan kreativitasnya terutama dalam bidang tulis menulis, KTH kemudian membuat rubrik “Halaman Perempuan”. Sesuai dengan namanya, rubrik tersebut ditujukan khusus bagi penyair perempuan, mereka kemudian diberikan bimbingan untuk mengembangkan bakatnya.
Rubrik itu semakin hari semakin berkembang seiring bertambahnya jumlah penyair wanita yang memuat karyanya. Animo juga berdatangan dari luar Jawa. KTH pun menyarankan mereka untuk membentuk organisasi perkumpulan penyair perempuan. Itulah sejarah awal berdirinya “Orgaan Persatuan Journaliste”. Sejak saat itu, mereka mulai mendapat kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dengan bekerja sebagai wartawan di berbagai harian seperti Sin Po, Keng Po, dan Star Weekly. Keberhasilan mereka tak terlepas dari tangan dingin seorang KTH yang peduli pada perubahan nasib kaum hawa dengan mendidik mereka agar menjadi orang terpelajar dan berpikiran modern.
Meskipun karirnya sebagai wartawan sudah cukup bagus, kesuksesan besar baru diraihnya sebagai penulis novel dan drama. Cerita drama yang pertama kali ditulisnya berjudul “Allah yang Palsu”. Cerita yang ditulis pada tahun 1919 itu ditujukan untuk mengecam orang yang gila harta, termasuk orang yang menikah demi kekayaan dan mereka yang gemar mengundi peruntungannya di meja judi. Sejak itu, KTH semakin rajin menelurkan karya-karyanya.
Selain berasal dari idenya sendiri, karya-karyanya juga diilhami oleh karya sastrawan lain. Salah satunya pujangga ternama William Shakespare. Karya Shakespare yang berjudul A Midsummer’s Night Dream menginspirasi KTH dalam penulisan drama berjudul Bunga Roos dari Cikembang. Agar lebih mudah diterima, cerita itu digubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan latar belakang Indonesia.
Sementara untuk drama ciptaannya sendiri berjudul Korbannya Yi Yong Toan. Drama enam babak ini dibuat pada tahun 1928 yang mengkritik mereka yang mengumpulkan pemuda-pemuda untuk dikirim ke Tiongkok menjadi tentara melawan Jepang. Drama ini kemudian dipentaskan dimana ia membimbing sendiri para pemain. Seiring berjalannya waktu, keakraban KTH dengan para bintang pentas itu mulai terjalin. Pengalaman, cerita menarik, serta suka duka para pemain kemudian dimuat dalam buku berjudul Penghidupan Seorang Sri Panggung. Terbitnya buku itu dimaksudkan untuk memperbaiki citra para pemain teater yang pada masa itu disamakan dengan pelacur.
Karya-karyanya juga banyak terinspirasi dari kisah nyata. Seperti dari peristiwa pemberontakan PKI terhadap pemerintah Belanda yang dituangkan dalam cerita berjudul Drama di Boven Digul. Drama di Boven Digoel berkisah tentang kehidupan seorang pemimpin PKI dan putrinya. Lewat karya ini, ia berhasil membuat cerita yang memukau dan realistis namun sarat nilai kebatinan. Awalnya cerita ini dimuat secara berseri dalam majalah Panorama, kemudian dicetak dalam bentuk buku karena respon yang positif dari pembaca.
Peristiwa alam seperti bencana juga memberikannya ide dalam menulis. Seperti Drama dari Merapi, novel yang berkisah seputar meletusnya Gunung Merapi tahun 1930. Karyanya yang sejenis adalah Drama dari Krakatau. Bedanya, novel yang bercerita tentang peristiwa meletusnya Gunung Krakatau ini turut diilhami dari novel The Last Days of Pompei yang memuat kisah meletusnya Gunung Vesuvius di Itali. Baik Drama dari Merapi maupun Drama dari Krakatau sama-sama dikaitkan dengan reinkarnasi, suatu konsep ajaran Buddha yang mempercayai kehidupan kembali manusia setelah meninggal.
Penyair yang rajin menulis catatan harian ini juga dikenal sebagai sosok yang religius. Kemampuan menulisnya digunakan untuk menerjemahkan buku-buku agama terkenal. Seperti Rubayat Omar Khayyam, Hikayat Khong Hu Cu, Agama Buddha di Jawa pada Zaman Kuno, Bhagawad Gita, Keterangan Ringkas tentang Agama Islam, dan lain sebagainya.
Dari buku-buku di atas, memang tidak secara jelas menggambarkan kepercayaan yang dianutnya. Ia lebih cenderung mengadakan pendekatan komparatif, humanistis dan historis. Boleh dibilang, orientasi spiritualnya adalah teosofi, suatu gerakan yang diprakarsai oleh Madame Blavatsky pada tahun 1875. Prinsip utama kaum teofis adalah kesatuan segala agama. Semua berasal dari sumber yang sama dan mengungkapkan kebenaran yang pada dasarnya sama. Hanya “bentuk” dan sifat lahiriahnya yang berbeda sebagai akibat adaptasi agama-agama itu terhadap zaman serta kebudayaan tempat ia belajar dan berkembang.
Perkembangan zaman yang mempengaruhi masyarakat peranakan Tionghoa membuat mereka mengalami krisis identitas kebudayaan dan agama. KTH kemudian berusaha mengembalikan kebudayaan leluhurnya dengan menulis tentang “Agama Tionghoa” yang merupakan gabungan dari tiga agama yakni Konfusianisme, Buddisme, dan Daoisme (Taoisme). Pemikirannya tentang tiga agama itu kemudian dimuat dalam majalah Sam Kauw Gwat Po.
Sebagai akibat dari perkembangan zaman kala itu, banyak dari peranakan Tionghoa yang menjadi pemeluk Kristen. Kritikan pedasnya kepada mereka yang berpindah keyakinan itu dituangkan dalam sebentuk novel berjudul Pengalaman sebuah Bunga Anyelir. Hal itu sangat ia sayangkan karena mereka tak hanya meninggalkan agama tapi juga kebudayaan orang Tionghoa. Misalnya dengan membuang meja abu yang sering disalahartikan sebagai sarana untuk memuja dewa-dewi.
Arus modernisasi juga kerap berdampak buruk, salah satunya bagi kaum perempuan yang meniru gaya wanita Barat. Mulai dari cara berpakaian, belajar dansa hingga beberapa dari mereka tak sungkan menjadi istri muda orang kaya. Tapi harapan untuk kembali bangkit setelah terjatuh selalu terbuka. KTH dengan senang hati memberikan bantuan sekecil apapun bagi mereka yang telah menyadari kekhilafannya. Seperti dalam bukunya yang berjudul “Surat-surat dari Pauline”. Dalam buku itu, KTH membela seorang mantan pelacur yang telah insaf. Tak hanya berhenti menjajakan tubuhnya, ia juga mengajak rekan-rekan seprofesinya untuk meninggalkan pekerjaan hina itu dengan membekali diri dengan keterampilan yang dapat dipergunakan untuk mencari nafkah yang halal.
Pelacuran adalah salah satu konsep tentang keperempuanan yang ia tulis dalam buku itu. Pandangan KTH sebenarnya tergolong konservatif. Misalnya ia memperingatkan para wanita tua agar menerima takdir saat rambut sudah beruban, kulit sudah keriput dan perubahan fisik lainnya. Jangan memaksakan diri untuk tampil muda kembali dengan meniru gaya dan penampilan anak-anak muda.
Novel yang terakhir ia tulis berjudul Itu Nona yang Bertopeng Biru. Novel yang dimuat secara berseri di majalah Mustika Roman mulai dari tahun 1940 hingga 1941 itu bercerita tentang seseorang yang tak mau lagi merayakan Cap Go Meh yang merupakan hari raya Tionghoa.
Pasca Perang Dunia II, ia lebih banyak menulis buku filsafat dan agama baik terjemahan maupun karya asli. Sesudah itu, ia lebih banyak berkutat pada kegiatan keagamaan terutama Buddha Tridarma, yang menurutnya adalah agama Tionghoa murni yang terdiri atas Konghucu, Lao Tse (Tao), dan Buddha. Beragam pembaruan pun dilakukan untuk menarik minat calon penganut. Mulai dari merubah tata cara peribadatan dengan mengadakan kebaktian hingga menyanyikan lagu di sela-sela acara ibadah.
Konon ia lebih mendalami agama setelah diramalkan akan meninggal pada tahun 1949 di usia 64 tahun. Sejak saat itu, ia bekerja tanpa lelah demi menuntaskan tugasnya sebelum ajal menjemput. Di sela kesibukannya menulis, ia juga masih menyempatkan diri untuk mengurus percetakan dan penjilidan buku miliknya. Namun karena usahanya itu tidak terlalu memberikan keuntungan, ia pun membuka pabrik tapioka sebagai tambahan penghasilan.
Pada tahun 1940, Cicurug tempat dimana ia tinggal sedang tidak aman karena diganggu gerombolan Kartosuwiryo. Meski demikian, KTH tak mau meninggalkan daerah yang sejuk itu karena di sana ia merasa lebih produktif. Sesekali ia pergi ke Batavia untuk memasarkan majalah dan buku serta menghadiri rapat perkumpulan keagamaan.
Seiring bertambanya usia, KTH menyadari bahwa dirinya semakin dekat dengan kematian. Ia pun aktif di perkumpulan kematian Sham San Bumi yang bertujuan ingin menerapkan tradisi Buddhis di Indonesia yang padat penduduknya yaitu mengkremasi jenazah untuk menghemat tanah. Pendirian Krematorium di Pluit Muara Karang adalah hasil gagasannya.
Pada 4 Juli 1951, Kwee Tek Hoay menghembuskan nafas terakhir setelah dianiaya perampok yang menyatroni rumahnya. Ia sekaligus menjadi orang pertama yang dikremasi di krematorium yang didirikan atas insiatifnya itu. Keesokan harinya, abu sastrawan besar peranakan Tionghoa itu ditaburkan di Teluk Jakarta. eti | muli, red