Orang Indonesia Pertama Ahli Radiologi
Wilhelmus Zakaria Johannes
[PAHLAWAN] Prof. Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes menjadi dokter Indonesia pertama yang mempelajari ilmu radiologi di Belanda dan menjadi ahli rontgen pertama yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Guru besar radiologi yang pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini meninggal di Belanda saat menjalankan tugas membangun kembali Universitas Indonesia yang terlantar selama Perang Kemerdekaan.
Wilhelmus Zakaria Johannes lahir di sebuah desa kecil dan terpencil bernama Talae di Pulau Rote (sekarang Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten terselatan di Nusantara), Nusa Tenggara Timur, tahun 1895. Ayahnya adalah seorang guru bantu Sekolah Dasar yang sekaligus merangkap menjadi pengurus gereja. W. Z. Johannes adalah sepupu Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, yang adalah paman dari Helmi Johannes, presenter berita dan produser eksekutif televisi VOA Indonesia. Sebagai informasi, Prof. Dr. Ir. Herman Johannes juga seorang Pahlawan Nasional dan dikenal sebagai ahli MIPA dari UGM, Dosen, Gurubesar, dan Rektor UGM, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
Sejak kecil, kecerdasan Johannes sudah terlihat. Buktinya, saat naik kelas dari kelas tiga Sekolah Dasar, Johannes langsung meloncat ke kelas lima. Selain itu, pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding vab Indandsche Aartsen, Sekolah Dokter Bumiputera) yang seharusnya ditempuh sembilan tahun, diselesaikannya delapan tahun. Sesudah menamatkan STOVIA, ia menjadi pengajar di NIAS (Nederlandsch Indische Aartsen School, Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya.
Ia juga mempraktekkan ilmunya sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Pusat di Semarang (sekarang Rumah Sakit Dr. Karyadi), kemudian berpindah-pindah ke beberapa kota di Sumatera Selatan. Pada tahun 1921, ia diangkat menjadi dokter di Bengkulu. Sepuluh tahun kemudian, ia berturut-turut bertugas di Rumah Sakit Muara Aman, Mana, Kayu Agung, dan Palembang. Rupanya gelar dokter yang telah diraih tak lantas membuatnya berpuas diri. Ia masih tetap berkeinginan untuk menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Alhasil, ia berhasil mempertahankan disertasinya dan berhasil menyandang gelar doktor.
Kontribusinya dalam bidang kedokteran Tanah Air ialah ketika melakukan pengembangan pemakaian rontgen di rumah sakit-rumah sakit. Dr. Johannes merupakan ahli rontgen pertama bangsa Indonesia. Selain bidang kedokteran, ia pun aktif dalam kegiatan politik. Pada tahun 1939, ia diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil masyarakat Keresidenan Timor.
Saat itu Volksraad merupakan badan konsultatif dan tidak mempunyai kekuasaan untuk menghadapi gubernur jenderal, kepala-kepala departemen dan badan legislatif di Negeri Belanda. Meskipun demikian, badan itu telah melaksanakan hal yang bermanfaat karena masalah masyarakat kolonial dan kebijakan pemerintah kolonial menjadi terbuka dan tersebar luas lewat sidang-sidangnya.
Menurut sejarawan Neytzell de Wilde, dengan hadirnya dewan itu, “masalah-masalah Hindia dikeluarkan dari kantor-kantor yang pengap menuju udara segar keterbukaan masyarakat (publicity).
Pada masa pendudukan Jepang, bersama Dr. Sam Ratulangi, dr. Sitanala dan lain-lain, ia mendirikan Badan Persiapan Persatuan Kristen (BPPK). Sesudah Indonesia merdeka, BPPK berkembang menjadi Partai Kristen Nasional, kemudian berganti nama menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Keaktifannya dalam bidang politik menyebabkan Dr. Johannes diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP).
BPKNIP berperan sebagai badan legislatif bagi Republik Indonesia yang masih muda. Karena kesehatan sering terganggu, ia kemudian mengundurkan diri dari keanggotaan badan itu. Ia pernah menderita penyakit lumpuh sewaktu bertugas sebagai dokter di Palembang, Sumatera Selatan, dan setelah sembuh, kakinya tetap pincang.
Selain Parkindo, dibentuk pula sebuah organisasi perjuangan bernama “Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil” (GRISK) yang ingin menggalang persatuan penduduk Sunda Kecil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Rumah Dr. Johannes di Jalan Kramat Raya 51 Jakarta menjadi kantor pusat GRISK dan sekaligus menjadi markas persembunyian para pemuda pejuang daerah Kramat Pulo. Hal itu membuat Belanda menjadi curiga dan menggeledah rumahnya berkali-kali.
Pada masa pendudukan Jepang, bersama Dr. Sam Ratulangi, dr. Sitanala dan lain-lain, ia mendirikan Badan Persiapan Persatuan Kristen (BPPK). Sesudah Indonesia merdeka, BPPK berkembang menjadi Partai Kristen Nasional, kemudian berganti nama menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Pada hari Natal 1945, sepasukan serdadu Gurkha datang ke rumahnya dalam keadaan siap tempur. Mereka mencari pemuda-pemuda yang sering mengganggu patroli Gurkha. Dr. Johannes diperintah keluar dari rumah tetapi perintah itu tidak diindahkannya. Komandan pasukan Gurkha mengambil tindakan keras. Dr. Johannes digiring ke pos Gurkha lalu dihukum jongkok selama empat jam. Hukuman itu cukup berat bagi seseorang yang kakinya pincang. Tetapi Dr. Johannes tidak mengeluh dan setelah hukuman itu berakhir, langsung berangkat ke rumah sakit melaksanakan tugasnya.
Selain itu, Dr. Johannes beberapa kali diancam akan ditembak karena mengibarkan bendera Merah Putih di depan rumah. Suatu kali sepasukan KNIL datang dan seorang anggotanya langsung merobek bendera Merah Putih itu. Bagian merahnya dijadikan ikat kepala, sedangkan bagian putihnya dibuang di tanah. Hal itu tidak membuat Dr. Johannes gentar. Beberapa saat kemudian, bendera Merah Putih berkibar kembali di halaman rumahnya.
Pemerintah Belanda bahkan pernah mengajaknya bekerjasama dengan janji akan memberikan gaji dan kedudukan yang tinggi. Namun, tawaran itu ditolaknya mentah-mentah. Dr. Johannes malahan secara terang-terangan mengajak rekan-rekannya agar mereka berjuang untuk kepentingan RI. Ia bersama-sama rekan-rekannya membentuk “Yayasan Bhakti Mulia” yang melayani dan merawat rakyat. Yayasan ini sekaligus mengumpulkan dana untuk perjuangan.
Perang Kemerdekaan membuat Universitas Indonesia Jakarta menjadi kurang mendapat perhatian. Sesudah Indonesia diakui kedaulatannya, Dr. Johannes diangkat menjadi Presiden (sekarang Rektor) Universitas Indonesia (UI), dengan tugas membangun kembali UI yang terlantar. Pada April 1952, ia berangkat ke negeri Belanda untuk mempelajari perkembangan ilmu rontgen serta organisasi rumah sakit di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Swiss, Jerman, Prancis, dan Inggris. Padahal saat itu, selain pincang, Dr. Johannes juga memiliki riwayat penyakit jantung.
Pada saat menjalankan tugas itulah, Dr. Johannes mendapat serangan jantung mendadak. Dalam perjalanan dari rumah menuju Rumah Sakit, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 4 September 1952 di Belanda.
Jenazahnya dikirim dengan kapal “Modjokerto” dari Belanda dan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pada Senin, 24 November 1952. Ia kemudian dimakamkan di Pemakaman Jati Petamburan, Jakarta Pusat pada Rabu, 26 November 1952.
Hingga akhir hayatnya, Dr. Johannes tidak pernah menikah. Ia pernah menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita Belanda bernama Roos van Tjaarden. Namun, Dr. Johannes mengakhiri hubungannya dengan gadis itu karena ia lebih memilih untuk berbakti kepada ibunya yang tidak menyetujui perkawinan anaknya dengan wanita asing. Dalam surat terakhirnya kepada Roos van Tjaarden, Dr. Johannes menyatakan tidak mungkin menjadi warga Negara Belanda.
Atas jasa-jasanya, Prof. Dr. W.Z. Johannes dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.06/TK/Tahun 1968, tgl 27 Maret 1968. Penghargaan lain yang diterimanya dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (sekarang P dan K) pada tahun 1969 adalah penetapan Prof. Dr. W.Z. Johannes sebagai “Karyawan Anumerta di bidang Pendidikan dan Pengetahuan”.
Namanya juga diabadikan sebagai nama rumah sakit umum di Kupang, Nusa Tenggara Timur yakni RSU WZ Johannes. Untuk memperingati jasanya di bidang pengembangan ilmu rontgen, namanya diabadikan pada ruangan Rontgen Rumah Sakit dr. Karyadi. Nama pahlawan ini juga pernah diabadikan menjadi nama sebuah kapal perang TNI-AL yakni KRI Wilhelmus Zakaria Johannes. Tokoh ini juga yang menjadi panutan pramuka SMA Santa Maria 2 Bandung, yaitu scout WILHELMUS ZAKARIA YOHANNES. Bio TokohIndonesia.com | cid, red (berbagai sumber)