Tangguh Menghadapi Penjara dan Pembuangan
Maskoen Soemadiredja
[PAHLAWAN] Perjuangannya menentang pemerintah Belanda dengan cara menyebarluaskan prinsip-prinsip nasionalisme membuat ia sering mendekam di penjara bahkan dibuang ke Papua. Ia memilih menempuh perjuangan yang sulit dan berisiko daripada hidup nyaman tapi Tanah Air dijajah bangsa asing.
Maskoen Soemadiredja, putra pasangan Raden Umar Soemadiredja dan Nyi Raden Umi ini lahir pada 4 Januari 1907 di Bandung. Suami Nyi R. Djuhaeni ini sudah memulai perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan sejak muda. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, ia sudah berjuang dengan cara melakukan propaganda atau pendidikan politik untuk masyarakat melalui penyebarluasan prinsip-prinsip nasionalisme.
Dengan menggunakan organisasi pergerakan politik sebagai media untuk menanamkan paham nasionalisme diharapkan timbul dalam benak setiap rakyat betapa pentingnya kesadaran berbangsa. Tentu saja perjuangannya bukanlah hal yang mudah dan tanpa risiko. Ancaman dan tekanan dari pemerintah Hindia Belanda selalu membayanginya. Namun tekadnya untuk mempersembahkan kemerdekaan bagi negeri tercinta membuat semangat juangnya tak pernah surut.
Pemerintah Hindia Belanda yang tengah menguasai Indonesia saat itu, tentu saja sangat tidak menyukai aksi dan kegiatan politik yang dilakukan Maskoen. Akibatnya, Maskoen dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung pada 1929. Saat itu, ia tak menjalani hukumannya seorang diri. Ada nama 3 pejuang lain yang juga turut mendekam di dalam sel, mereka adalah Ir. Soekarno, Gatot Mangkoepraja dan Suhada. Ia sempat menghirup udara bebas namun hanya beberapa bulan sampai akhirnya harus menjalani hukuman kurungan kembali di tahun 1930. Kali ini ia bersama Ir. Soekarno, Gatot Mangkoepraja dan Soepridinata dikirim ke penjara Soekamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Meskipun harus bersusah payah dalam menghadapi hukuman penjara sampai mengalami pembuangan, ia tetap menjalaninya dengan gagah berani serta pantang menyerah.
Ternyata konsekuensi dari perjuangannya menentang pemerintah Belanda tak hanya berhenti di sel dingin penjara. Ayah dari Hayat, Hadi, dan Hirman ini harus mengalami pembuangan di Boven, Digul, Papua. Tempat itu merupakan lokasi pembuangan para tokoh pejuang yang giat menyuarakan kemerdekaan. Karena kondisi lingkungan alamnya yang masih liar, Digul dipandang sebagai tempat pembuangan yang mengerikan. Tak heran bila banyak pejuang yang dibuang di tempat itu jatuh sakit atau mengalami kesulitan untuk sekadar bertahan hidup.
Meski demikian, Maskoen dapat bertahan menjalani masa pembuangannya. Ketika kekuasaan pemerintah Hindia Belanda berhasil digulingkan Jepang di tahun 1942, pemerintah kolonial membawa sang pejuang tangguh itu ke Australia. Meski hidup dalam pelarian, tak lantas membuat semangat juang Maskoen redup.
Di negeri kangguru itu, ia tetap meneruskan perjuangannya dengan menyebarluaskan semangat kebangsaan yang ditandai dengan berdirinya Organisasi Serikat Indonesia Baru. Organisasi tersebut menghimpun orang-orang Indonesia yang berada di Australia agar semangat kebangsaannya tetap berkobar dan daya juangnya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah tak surut. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, ia aktif mengkoordinir pemulangan para pejuang yang berada di Australia untuk kembali ke Tanah Air.
Baginya hidup adalah pilihan, mau hidup dengan nyaman tapi tanah air dijajah bangsa asing dan melihat rakyat ditindas secara sewenang-wenang atau membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan meskipun harus ditempuh dengan perjuangan yang sulit dan berisiko. Maskoen Soemadiredja tetap memilih berjuang untuk merdeka. Meskipun harus bersusah payah dalam menghadapi hukuman penjara sampai mengalami pembuangan, ia tetap menjalaninya dengan gagah berani serta pantang menyerah. Perjuangan dan pengorbanannya pun tak pernah sia-sia.
Atas jasa-jasanya pada negara, Maskoen Soemadiredja diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 089/TK/Tahun 2004. eti | muli, red