Kerap Berperan Antagonis
Tio Pakusadewo
[SELEBRITI] Peraih dua penghargaan Piala Citra ini kerap dijuluki sebagai aktor spesialis peran antagonis atau aktor watak. Apapun predikat yang diberikan orang, bagi dia, kesuksesan sebagai aktor bisa diukur dari sejauh mana ia bisa membawa orang masuk dalam cerita.
Pria kelahiran Jakarta 2 September 1963 ini sejak kecil sudah bercita-cita menjadi seorang aktor. Karena itu, semasa SMA ia sudah aktif dalam kegiatan berteater dengan bergabung dalam grup teater Sendiri pimpinan Nawir Hamzah. Setamat SMA, Tio meneruskan studi ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Sinematografi tahun 1986.
Meski berlatar belakang pendidikan film, di awal karirnya Tio terlebih dahulu berkecimpung di dunia modeling, sebelum akhirnya berkiprah sebagai aktor. Tio mengawali debutnya di dunia seni peran dengan menjadi figuran dalam film Bilur-bilur Penyesalan pada tahun 1987. Dari situ ia mulai membintangi sejumlah film diantaranya Si Doi, Pengakuan, Catatan Si Boy II, Bianglala, Nuansa Biru Rinjani, Adikku Kekasihku, Pengantin, dan Boleh-boleh Aja. Baru kemudian di tahun 1990, namanya mulai mencuri perhatian publik setelah berperan sebagai Topan dalam film layar lebar berjudul Cinta Dalam Sepotong Roti.
Setahun kemudian, Tio kembali menunjukkan kemampuan aktingnya dalam film Rini Tomboy dan Lagu Untuk Seruni. Dalam film yang disebutkan terakhir, kiprahnya kian diperhitungkan, aktingnya pun semakin matang, anugerah sebagai Aktor terbaik pada Festival Film Indonesia 1991 menjadi salah satu buktinya. Padahal ketika itu, ia harus bersaing dengan nama-nama besar yang telah lebih dahulu berkecimpung di jagad perfilman, seperti Racmat Hidayat dan Didi Petet. Pada saat menggenggam Piala Citra untuk pertama kalinya, Tio masih berusia 25 tahun, prestasinya itu kemudian membuatnya disimbolkan sebagai wajah baru aktor Indonesia saat itu.
Setelah kesuksesan film yang disutradarai Labbes Widar itu, Tio sempat membintangi sebuah film berjudul Bibir Mer di tahun 1992 hingga akhirnya namanya sempat tenggelam di medio dekade 90-an seiring mati surinya industri perfilman nasional. Tahun 1993, Tio sempat mendirikan sebuah rumah produksi bernama Kalbuku. Selain itu, ia juga sempat mencoba menjadi pemain merangkap sutradara pada beberapa film.
Kemudian pada tahun 1997, Tio membintangi film Kuldesak, sebuah film hasil kolaborasi Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T Achnas, dan Rizal Mantovani, empat sineas muda yang berusaha membangkitkan film nasional dari tidur panjangnya. Sayang film tersebut kurang disambut antusias masyarakat.
Di saat yang bersamaan, pemirsa televisi banyak dimanjakan oleh tayangan sinetron yang menjamur. Untuk mengisi kevakumannya di dunia film, Tio pun beralih menjadi pemain sinetron. Aktingnya kemudian dapat disaksikan dalam judul-judul sinetron Desy, Lakon Tiga Duda, Anak-Anak Menteng, Telaga Kesabaran, Tirai Sutra, Meniti Cinta, My Love, serta satu film televisi berjudul Maafkan Aku. Kala itu Tio sempat terjerat masalah pribadi dan penyalahgunaan obat terlarang.
Pada tahun 2004, saat perfilman Tanah Air sudah menunjukkan geliatnya, Tio kembali menekuni karirnya sebagai aktor film dengan membintangi Virgin. Dua tahun berselang, Tio membintangi film Berbagi Suami arahan sutradara Nia Dinata. Di film tersebut, ia berperan sebagai Koh Abun, pedagang bebek panggang yang takut istri namun mencintai pelayannya yang masih belia. Berkat aksinya di film yang mengangkat isu poligami tersebut, Tio dinobatkan sebagai Most Favorite Supportive Actor dari MTV Indonesia Movie Awards 2006. Tio kembali mencatat prestasi setelah ia terpilih sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik pada ajang Indonesia Movie Award 2008 berkat perannya dalam film komedi Susahnya Menjadi Perawan.
Tio terlebih dahulu berkecimpung di dunia modeling, sebelum akhirnya berkiprah sebagai aktor. Tio mengawali debutnya di dunia seni peran dengan menjadi figuran dalam film Bilur-bilur Penyesalan pada tahun 1987. Dari situ ia mulai membintangi sejumlah film diantaranya Si Doi, Pengakuan, Catatan Si Boy II, Bianglala, Nuansa Biru Rinjani, Adikku Kekasihku, Pengantin, dan Boleh-boleh Aja. Baru kemudian di tahun 1990, namanya mulai mencuri perhatian publik setelah berperan sebagai Topan dalam film layar lebar berjudul Cinta Dalam Sepotong Roti.
Memasuki tahun 2009, tercatat beberapa film dibintangi Tio, seperti Pintu Terlarang, Jagad X Code, Identitas, dan Kata Maaf Terakhir. Aktingnya dalam film Identitas yang disutradarai Arya Kusumadewa berhasil membawanya meraih predikat Pemain Utama Pria Terbaik dalam FFI 2009. Penghargaan untuk film dan kategori yang sama juga berhasil diraih Tio dari ajang Indonesian Movie Award 2010. Dalam ajang tersebut, Tio berhasil menyingkirkan empat pesaingnya, Didi Petet, Mamiek Prakoso, Mathias Muchus, dan Oka Antara.
Dari sekian banyak film yang pernah dimainkannya, bisa dibilang Tio hampir selalu kebagian peran antagonis. Namun diakui Tio, ada keasyikan tersendiri saat dirinya memainkan peran-peran seperti itu. Apalagi bila ia mampu membuat penonton terkesima hingga terbawa dalam alur cerita film yang dimainkannya. Meski peran yang dimainkannya cenderung kasar dan tidak manusiawi, peran seperti itulah yang memang dicari pria bertato ini.
Ada beberapa metode untuk mendapatkan karakter antagonis yang dapat menarik penonton. Salah satunya, terang Tio adalah ‘garis’ yang bisa dibohongi, yakni garis-garis karakter yang dibentuk, dengan make up dan mimik. Namun, ada yang tidak bisa diubah dari apapun, yakni pengalaman batin. “Metode saya mengangkat pengalaman pribadi sebagai peluru untuk keperluan seni peran,” kata Tio mengungkapkan rahasianya seperti dikutip dari situs rolllingstone.com.
Namun, Tio tidak mau disebut aktor antagonis. “Itu hanya persepsi orang saja. Lalu mana film saya yang jahat?” ujarnya bertanya balik. Tio berpendapat gelar tersebut merupakan kesalahan media terutama televisi yang menyebarkan dan mengidentikan dirinya sebagai aktor spesialis peran antagonis, padahal menurutnya, dalam dunia akting para pelakonnya masih mencari jati diri.
Di samping itu, pria bertubuh kekar ini enggan disebut sebagai aktor watak. Meski demikian, ia menyerahkan pada masyarakat predikat apa pun, terkait kemampuan akting yang diberikan kepadanya. Bagi Tio, yang terpenting dalam setiap film yang ia mainkan adalah dirinya dapat membawa orang masuk dalam cerita. “Itu berarti saya sukses,” tandasnya.
Pada tahun 2011, dunia perfilman Tanah Air kembali diramaikan dengan akting Tio Pakusadewo. Kali ini ia membintangi film arahan Muhammad Yusuf berjudul Tebus. Dalam film tersebut, lagi-lagi Tio memerankan tokoh antagonis yang demi mencapai keinginannya, ia rela mengorbankan orang-orang di sekitarnya.
Dua dekade sudah Tio mengarungi pasang surutnya karirnya di dunia film. Selama itu pula aktingnya kian tertempa. Namun di balik kesuksesannya itu, Tio masih menyimpan kegundahan melihat kiprah para juniornya yang diistilahkan Tio dengan kalimat ‘tidak cerdas’. Semakin menjamurnya sinetron tak diimbangi dengan peningkatan kualitas akting para pemainnya. Berangkat dari keprihatinannya itu, pada Februari 2010, Tio mendirikan sekolah akting bernama Satoe Acting Atelier di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Di sekolah akting miliknya, Tio membuat metode tersendiri yang ia namakan ‘Metode Tio’. ” Saya mencoba membuat metode sendiri, dimana seseorang bisa mencapai taraf keaktoran tertentu, tidak perlu melakukan pelatihan seberat di teater,” tutur ayah tiga anak ini.
Selain itu, Tio juga ingin membangun kawasan Pakualaman menjadi enklave budaya yang bisa dijual menjadi daya tarik wisatawan. Tio memang masih memiliki darah bangsawan dari trah Pakualaman, Yogyakarta. Ia bahkan siap ditunjuk menjadi ‘raja’ di keraton Pakualaman. Tentu saja raja dalam arti budaya untuk keperluan wisata. eti | muli, red