
[WIKI-TOKOH] Pejuang lingkungan dari Donomulyo, Malang, ini membutuhkan waktu satu dekade untuk mengubah lahan kritis menjadi lahan hijau. Setelah itu alam memberikan imbal balik sebuah kehidupan.
Pepohonan menjulang tinggi sepanjang jalan beraspal masuk Desa Mentaraman, Donomulyo, Malang, Jawa Timur. Di antara perbukitan batu cadas itu terlihat sungai berair jernih dan tanaman padi menghampar hijau.
Rumah-rumah penduduk bertembok batu bata, bahkan sebagian besar sudah berlantai porselen. Itu menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat jauh dari kesan miskin.
Pada sebuah rumah di desa itu, di pekarangan belakang, Sutaji sibuk menyiapkan poly-bag bibit tanaman jati.
“Sebelum tahun 1981, di desa kami yang terlihat hanya lahan kritis, tandus. Tidak ada pohon. Sungai pun kering. Sepanjang mata memandang yang terlihat hamparan ilalang,” kata Sutaji kepada Media Indonesia, Minggu (29/8/2010).
Waktu itu masyarakat pun hidup dalam kemiskinan. Ke-* banya1.an hanya bekerja sebagai buruh tani di desa tetangga. Tanaman pangan yang bisa dinikmati hanya ketela pohon (ubi kayu).
Sebanyak 857 keluarga mengonsumsi gamplong-tepung dari singkong-sebagai makanan pokok. Beras merupakan komoditas yang tak terjangkau.
Warga tidak punya pilihan, sebab tidak banyak air untuk menanam padi. Untuk mencari air bersih, mereka harus berjalan sekitar 8 km menyusun perbukitan batu cadas melintasi hutan kerontang menuju sumber aif satu-satunya di Dusun Gondang Rejo. “Kemiskinan terjadi karena lahan kritis. Tidak adanya hutan di desa kamilah yang menjadi penyebabnya,” ujar Sutaji.
Cikal bakal
Prihatin dengan kondisi itu, setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) pada. 1977, Sutaji menaruh minat di Pramuka Sakarta Bumi, di bawah asuhan Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang. Ia diasuh petugas penyuluh lapangan bernama Supriono.
Sutaji diajari cara membuat polybag bibit tanaman yang disebut bedengan oleh warga sekitar. Sutaji juga belajar cara menanam pohon, membuat pupuk, hingga merawat tanaman agar tidak mudah mati.
Saat kelas 2 SMA, Sutaji punya ide untuk menghutankan bukit cadas. Dia memberanikan diri menyampaikan usulan kepada Kepala Desa Mentaraman yang waktu itu dijabat Mathari (alm).
“Saya mengusulkan untuk menanami lahan kritis agar menjadi hutan,” tegasnya.
Ide itu dianggap mustahil.
Banyak warga menuduh dirinya sebagai pahlawan kesiangan, cari muka, atau hanya untuk mendapatkan uang (insentif) saat digelar rapat desa. Namun Sutaji sabar saja. Dia tekun dan pantang menyerah untuk menyelamatkan lingkungan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kiprah dalam menyelamatkan lingkungan terus dilanjutkan di tengah cemoohan dan hujatan sejumlah warga. Bermodal kesabaran, warga yang protes tentang rencana menghutankan lahan kritis disadarkan melalui diskusi bersama pamong desa dalam wadah yang dinamai Gubuk Kerja.
Hingga 3 Maret 1981, kata dia, anggota Gubuk Kerja Kelompok Tani Harapan Masa sudah mencapai 378 orang. Selain diskusi, warga diajak mendirikan koperasi dan dibina dalam membuat pupuk. Dana untuk menggelar kegiat-an dilakukan secara swadaya. “Kami gaplekan (patungan) Rp!.000 perbulan,” katanya.
Dana itu selanjutnya digunakan untuk membeli bibit pohon mahoni, akasia, dan kelor wono sampai ke Karangkates, sekitar 20 km dari desa mereka. “Sebagian lagi bibit jati kami dapatkan dari bantuan Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten Malang,” ujar Sutaji.
Penghijauan
Bibit-bibit tanaman kerasitu awalnya ditanam di lahar seluas 2 hektare di Dusun Gondang Rejo, dusun paling miskin yang memiliki lahan kritis paling luas di Desa Mentaraman. Lahan itu, imbuh dia, milik Sumarto Giran, ketua subkelompok tani dusun setempat.
Cita-cita menghutankan bukit cadas di desa tempat kelahiran Sutaji tersebut terus dilanjutkan dengan menanam di 476 hektare lahan kritis yang tersebar di Dusun Mentaraman, Gondang Rejo, dan Gondang Towo. Seluruh lahan yang ditanami itu milik warga.
Saat tanaman kayu sudah besar dan bisa dipanen, hasilnya menjadi hak warga pemilik lahan. Tidak hanya tanaman kayu, warga juga menanam tanaman buah dan melinjo. Bahkan, tanaman kakao-bahan pembuat cokelat-juga dikembangkan di desa ini.
Akhirnya, kerja keras di tengah hujatan warga yang tidak suka itu membuahkanhasil sepuluh tahun kemudian. Tahun 1991, banyak warga bisa menyekolahkan anak-anak mereka dari menjual kayu. Mereka juga bisa membuka usaha keripik melinjo.
Sejauh ini, sudah ada puluhan kelompok usaha keripik melinjo di desa setempat. Satu kelompok terdiri atas lima orang. Saat itu 1 kg keripik melinjo dijual Rp20 ribu sampai dengan Rp40 ribu, dikirim ke Surabaya, jakarta, Sumatra, dan Kalimantan.
Mata air
Seiring tanah yang hijau kembali, mata air pun juga bermunculan. Air bisa disalurkan ke rumah-rumah penduduk sehingga mereka tidak kerepotan lagi seperti dulu. “Saat ini, setidaknya terdapat 18 titik sumber air di desa kami,” tegasnya.
Itu karena areal hutan seluas 476 hektare yang dulunya kering kerontang, seluas 342hektare di antaranya sudah menghijau. Berbagai pohon tanaman keras tumbuh subur.
Bahkan embung-penangkap air-setiap tahun terisi air sehingga lebih dari cukup untuk mengairi lahan pertanian. Jika sebelumnya warga tidak bisa menanam padi, kini banyak yang mengembangkan perfa-nian. Beras yang sebelumnya tidak terbeli dan dapat dikatakan langka di desa itu kini mampu mencukupi kebutuhan warga, bahkan berkelebihan.
Berkat upayanya, Sutaji memang dihargai negara dengan ganjaran penghargaan Kalpataru pada 1998.
Namun tentu saja, penghargaan tertinggi datang dari alam. Imbal balik alam yang diperlakukan dengan baik telah memberi kehidupan bagi Sutaji dan warga Desa Men-taram, Malang. (M-4)
***
Regulasi Prolingkungan Merentas Kemiskinan
Fokus kehidupan Sutaji terletak pada upaya penyelamatan lingkungan. Dia melakukan upaya dari hulu ke hilir. Selain mengajak warga menanam pohon dengan sistem yang menguntungkan bagi pemilik lahan, Sutaji juga melakukan edukasi bagi remaja. Agar semangat menjaga lingkungan tak cuma ada di langkahnya.
Suami Marsini ini membina anak-anak putus sekolah melalui kegiatan pramuka. “Saya membina 150 anak putus sekolah dasar berusia 14 tahun ke atas,” katanya. Kegiatan utama diarahkan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Setelah berjalan beberapa tahun pada 1985, ia menyampaikan ide mendirikan SMP kepada petinggi desa setempat.
Kata Sutaji, alasan kuat yang mendorong anak putus sekolah waktu itu ialah kemalasan berangkat ke sekolah. “Sebab, jarak sekolah dengan rumah sangat jauh, sekitar 10 kilometer. Harus dipikirkan mendirikan SMP yang lokasinya bisa dijangkau untuk mengurangi angka putus sekolah,” jelas Sutaji. Upayanya berhasil. Sekolah yang didirikan itu bernama SMP Dharma Wirawan 7, milik Yayasan Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) desa setempat. Pada awal pendirian sekolah hanya terdapat 150 siswa, terdiri atas anak binaan yang putus sekolah. Di era 1990-an, 102 dari 150 siswa di sana berhasil lulus. Kini, SMP itu sudah banyak meluluskan anak-anak di desa tersebut. Sutaji sendiri sempat mengajar bahasa Inggris. Menurut Sutaji, selama 10 tahun pertama, ia dan guru-guru lain di SMP itu tidak beroleh honor. Ia mengajar bahasa Inggris bersama sejumlah guru lainnya di SMP tersebut dengan tidak menerima honor. Bahkan untuk meringankan beban orang tua, biaya sekolah digratiskan.
Saat memasuki tahun 1992, ketika tingkat kesejahteraan masyarakat membaik berkat panen kayu, siswa diwajibkan membayar SPP Rp4 ribu. Menginjak 1996, guru sekolah mulai digaji Rpl75 ribu per bulan. Sampai sekarang, perjuangan keras itu terus berlanjut. Kini, selain mengajar, Sutaji aktif di pusat kegiatan pekerja sosial masyarakat yang ia dirikan. Bidang kegiatannya menyantuni anak cacat, lanjut usia, anak telantar, anak jalanan, korban tindak kekerasan, dan wanita rawan sosial. Dana diperoleh dengan menggan-deng investor.
“Keluarga miskin diberikan bantuan bergulir 2 ekor kambing. Setelah ada anak kambing, satu anak kambing digulirkan kembali kepada warga miskin lainnya yang berhak,” ujarnya. Awalnya, model bantuan ternak bergulir itu bisa mencakuplima kelompok.
Sekarang sudah berkembang menjadi 25 kelompok dengan masing-masing beranggotakan 10 orang. Bahkan sejumlah kelompok sudah meningkatkan ternak bergulir itu dari kambing menjadi sapi. “Hasilnya, warga miskin di desa kami berkurang. Sebe-lumnya ada 471 fakir miskin, sekarang ada 271 fakir miskin,” katanya.
Tidak berhenti sampai di situ, Sutaji terus mengembangkan kemampuan dalam melestarikan lingkungan dengan merintis peraturan desa (perdes) yang mengatur hutan, sungai, dan kelestarian ling-kungan. Perdes itu dibuat pada 2007 dan hingga saat ini sudah dijalankan secara efektif.
Perdes mengatur warga yang menebang satu pohon di lahan miliknya wajib menanam 10 pohon sebagai penggantinya. Tujuannya mencegah penebangan secara ngawur. Warga yang melanggar atau tidak mengganti pohon dengan tanaman baru akan dipersulit dalam mendapatkan surat di pemerintan desa saat akan menjual kayu. Untuk itu, ada semacam pengawas dari perangkat desa. Sebelum memberikan surat untuk menjual kayu kepada warga, harus dipastikan terlebih dahulu apakah ia benar-benar sudah menanam 10 pohon pengganti.
Adapun warga yang mencuri pohon atau menebang secara ilegal di hutan akan dilaporkan ke polisi. Selain itu, dikucilkan atau bahkan diusir dari desa. Perdes itu bahkan mengatur soal sungai. Sungai di desa ini dijaga betul kelestariannya. Warga desa dan warga luar .desa atau siapa pun dilarang mencemari sungai. Pencari ikan dengan cara meracun pun dilarang keras. Apalagi membuang sampah sembarangan di sungai.
“Sejak perdes diberlakukan, sejumlah warga dari luar desa dikenai sanksi. Orang itu diminta kerja paksa atau memberikan dana untuk pembangunan jalan desa,” katanya.
Kini Sutaji bisa tersenyum bangga. Kerja kerasnya selama ini berhasil dinikmati masyarakat, sekaligus mengubah kemiskinan menjadi sejahtera.
Warga yang dulu mencemooh dan mencibir akhirnya meminta maaf dan bergabung dalam kegiatan menanam pohon di kelompok tani.
Sarnan, 40, warga setempat, mengaku berterima kasih kepada Sutaji. Berkat kegigihan tokoh penyelamat lingkungan itu, desa yang dulunya miskin menjadi makmur. Warga lainnya, Muriono, juga mengaku bangga.
Berbagai kemudahan didapatkan masyarakat setelah tumbuhnya hutan di desa mereka. “Sumber mata air bermunculan. Tanah yang dulunya tandus dikelilingi batu cadas saat ini menjadi subur,” ujarnya.
Sekarang tak ada lagi hamparan ilalang yang tumbuh subur di lahan kritis di Desa Mentaraman. Semuanya sudah berubah menjadi hutan dengan sejuta harapan. (BN/M-4) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Rabu, 1 September 2010 | Penulis: Bagus Suryo