Memerdekakan Diri dari Birokrasi Negeri
Arief Budi Witarto
[WIKI-TOKOH] Sistem birokrasi di Indonesia sudah tidak ramah lagi untuk peneliti yang berjiwa merdeka, mandiri, dan berpacu mengejar ketertinggalan.
Jepang sudah menjadi kampung kedua bagi- peneliti Arief Budi Witarto. Insinyur rekayasa protein ini memang produk Jepang, mengingat ia kuliah bioteknologi di sana sejak sarjana sampai doktoral.
Dalam surat elektroniknya pekan lalu, ia mengabarkan sedang di Tokyo, membantu Profesor Koji Sode yang tengah menggarap proyek kerja sama dengan perusahaan minyak pelumas besar di Jepang.
Nama Koji Sode dikenal luas dalam industri pengembangan enzim PQQ glukosa deliidro-genese untuk alat pengukur gula darah. Saat ini Koji telah memiliki perusahaan bioteknologi enzim, dinamai Ultizyme International, Inc.
“Namun, saat ini saya diundang atas hubungan pribadi saja, bukan kerja sama antarlembaga. Profesor sedang mengembangkan enzim untuk sensor. Tawaran itu saya terima untuk memperbarui ilmu rekayasa protein. Juga mengenang perjalanan hidup saya selama 12 tahun di Jepang (1990-2002). Saya kan terakhir kali ke Jepang pada 2004,” terang Arief yang masih tercatat sebagai sivitas di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Kini Arief masuk laboratorium yang sama ketika ia menyelesaikan pendidikan S-l sampai S-3-nya, yakni Lab Protein Chemistry, Department of Biotechnology, Faculty of Technology, Tokyo University of Agriculture and Technology. “Waktu saya masuk laboratorium ini pada 1995, profesor saya, Koji Sode, berumur 40 tahun. Dulu beliau masih asisten profesor. Untuk bisa naik karier, beliau sangat bersemangat melakukan penelitian. Saya adalah mahasiswa angkatan ketiga di labnya dan mahasiswa asing pertama,” kenang Arief.
Semangat sang profesor rupanya menular kepada Arief. Pada periode itu, banyak hasil penelitian dalam bentuk paper dan paten. “Saat saya lulus S-3 pada 2000, Profesor Sode menjadi full professor dan telah dikenal luas di dunia ilmiah,” jelasnya.
Kepercayaan
Hubungan baik Arief dan Sode kemudian berkembang lebih dari sekadar pembimbing dan murid. Kepercayaan itu terus tumbuh dan menguat, bahkan setelah Arief pulang ke Indonesia pada 2002 untuk bekerja di LIPI dan mendirikan laboratorium sendiri-ia namai Lab Rekayasa Protein.
“Mungkin karena interaksi intensif itu, Profe sor memberi kepercayaan tinggi kepada saya. Pada 2004, ketika saya menjadi peneliti tamu di perusahaannya, saya ditawari untuk mengirimkan mahasiswa,” imbuhnya.
Saat itu, Arief hanya tinggal empat bulan di Jepang, dari rencana semula selama satu tahun. Penyebabnya, sang ibu di Tanah Air terserang stroke ditambah kondisi laboratoriumnya yang kurang terurus. Namun tawaran sang profesor tersimpan di ingatannya. Ia tahu tawaran itu bukan cuma basa basi.
Pada 2006, asisten Arief di Lab Rekayasa Protein bermasalah dengan studi S-3 di Institut Pertanian Bogor. “Saya langsung ingat tawaran itu. Saya kirim e-mail ke profesor dan langsungdijawab. Beliau bersedia menerima dan memberikan beasiswa S-3 di Tokyo,” ujarnya.
Justru asisten Arief yang tidak percaya. Arief sampai harus ke Batusangkar, Padang, menemui orang tua si asisten untuk menjelaskan tentang janji orang Jepang dan tawaran tersebut. “Agar lebih meyakinkan, setelah pulang dari sana, saya bayarkan setengah biaya perjalanan asisten saya itu ke Tokyo untuk mengikuti tes masuk. Dia masuk pada 2006 dan bisa menjadi mahasiswa S-3 di lab profesor saya dengan bantuan biaya dari beliau. Baru saja lulus 2010 ini,” cerita Arief bersemangat.
Kerja keras
Pengalaman meneliti semakin menyadarkan Arief, apa yang dikatakan penemu Thomas Alva Edison dan Alexander Fleming adalah kebenaran. “Edison bilang, keberhasilan itu berkat 1% otak yang jenius dan 99% karena usaha. Rangking saya paling bagus adalah nomor 13 dari 45 siswa,” kisahnya.
Saat di Jepang, Arief bekerja keras. Kamus bahasa Jepang-Indonesia miliknya sampai ku-mal karena digunakan setiap hari supaya dapat membaca buku teks bahasa Jepang dan mengikuti penjelasan dosen. Hasilnya, semua skripsi, tesis, dan disertasi mampu ditulis Arief dalam bahasa Jepang. “Jadi saya juga sempat mengajar praktikum 60 orang Jepang mahasiswa S-l selama 2 tahun,” tambahnya.
Arief juga mengikuti ritme kerja sang profesor yang bekerja mulai pukul 09.00 sampai pukul 24.00 dengan sabar. Terbukti, kerja keras lebih menentukan daripada kecerdasan otak.
Dia lantas menjabarkan perkataan penemu obat antibiotika, Alexander Fleming. “Beliau mengatakan keberhasilan ditentukan persiapan. Kondisi medan penelitian serupa dengan pertempuran. Para jenderal mengatakan persiapan yang bagus adalah setengah dari kemenangan. Saya tidak berhenti melakukan penelitian supaya siap menyambut keberhasilan. Walau dana tidak tersedia dari kantor, saya mencari sendiri supaya tetap bisa melakukan kegiatan yang saya sukai ini,” jelas Arief panjang lebar.
Birokrasi
Sayang, menurut Arief, pemikiran itu belum bisa diterima dalam struktur birokrasi Indonesia. Ketidakhadiran Arief di kantor menjadi masalah dari sisi kepegawaian.
“Padahal saya di luar melakukan penelitian yang peralatannya tidak tersedia di kantor. Juga karena dana penelitian tidak ada dari kantor. Toh, hasilnya saya publikasikan tetap sebagai pegawai kantor. Konduite kerja saya menjadi buruk. Saya mendapatkan beberapa kali peringatan karena hal itu. Terakhir saya diminta keluar dari LIPI,” ujarnya blak-blakan.
Tentu saja hal itu bukan kondisi yang mudah diterima. Arief masih ingat betul bagaimana bangganya ia ketika berfoto di depan kantor utama LIPI di Jl Gatot Subroto, Jakarta, saat pertama kali diterima sebagai karya siswa-istilah penerima beasiswa dengan ikatan dinas LIPI. “Bagi anak SMA, LIPI adalah lembaga yang dahsyat penuh dengan orang pintar. Sayang, tampaknya saya harus meninggalkan LIPI sekarang,” pungkas Arief. (M-l)
***
Berkah Rekayasa Protein
Pesatnya perkembangan ilmu rekayasa protein di dunia dirasakan betul oleh Arief Budi Witarto. Misalnya teknologi mengubah asam amino penyusun protein yang semakin cepat, hanya tiga hari. “Itu pun sudah bisa dilakukan mahasiswa S-l. Zaman saya kuliah pada 1995-2000, hanya mahasiswa S-3 yang melakukan pekerjaan tersebut. Itu pun butuh waktu satu minggu,” kata Arief.
Penggunaan komputer dan internet juga makin banyak, hingga berkembang ilmu bioinformatika yang mempelajari pemodelan dan simulasi protein dengan komputer. Namun, lain cerita di Indonesia.
Setelah 65 tahun merdeka, masih banyak hal-hal di bidang rekayasa protein yang harus dimulai dari awal. Misalnya penggunaan tembakau untuk pabrik protein obat sampai penggunaan komputasi untuk simulasi protein. Padahal sudah banyak produk rekayasa protein di Indonesia. Sebut saja enzim di dalam sabun detergen sampai pasta gigi. Sayang, semua produk protein itu masih impor.
Arief lantas mencontohkan Kuba yang sempat ia kunjungi pada 2004. “Kuba sudah menerapkan pelayanan kesehatan gratis secara nasional. Kemandirian Kuba itu dicapai dengan membuat obat dan peralatan kedokteran. Hampir seluruhnya dibuat sendiri, berbasis bioteknologi,” kenang Arief.
Hampir 80% obat yang beredar di Kuba diproduksi sendiri. Berbanding terbalik dengan Indonesia. “Jadi enggak mengherankan kalau ada obat atau vaksin yang mengandung unsur babi. Kita tidak punya pilihan walaupun dipakai untuk ibadah haji, misalnya/ kata Arief.
Kehebatan Kuba dalam mengembangkan bioteknologi khususnya protein untuk obat dinilai Arief luar biasa. Di sana, obat protein yang digunakan untuk pertolongan pertamabagi pasien yang menderita stroke (obat Streptokinase) sudah tersedia di puskesmas mereka. “Padahal di sini baru tersedia di kota besar. Karena bisa membuat sendiri, layanan kesehatan gratis tidak membebani APBN Kuba. Saya kira itu manfaat penting kemandirian dalam bidang rekayasa protein.”
Sepulang dari Kuba, Arief termotivasi mengembangkan rekayasa protein khas Indonesia. Salah satunya adalah membuat protein obat dari pohon tembakau. Karena tembakau bukan tanaman pangan atau tanaman untuk bioenergi jadi pasokan untuk kebutuhan tersebut tidak akan terganggu. Plus bisa membantu petani tembakau yang termonopoli oleh perusahaan rokok.
Pada 2005, upaya itu dianugerahi penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia. Usaha Arief kemudian berlanjut sampai ke Jerman, berkat kerja sama dengan Fraunhofer Institute for Molecular Biology and Applied Ecology di Kota Aachen. Saat itu, ia menunjukkan bahwa tembakau lokal bisa menghasilkan protein lebih banyak daripada tembakau luar negeri. Karena kehabisan dana, penelitian ini berhenti pada 2008.
Berhenti sementara di tembakau, Arief terlibat dalam penelitian demam berdarah yang didanai perusahaan bioteknologi dari Australia. Ketika penelitian itu selesai, Arief terpacu untuk melanjutkan dengan biaya sendiri. Ia makin yakin, yang penting dalam penelitian bukanlah uang atau fasilitas, melainkan orang yang melakukan. Yaitu orang yang terampil, punya talenta, cerdas, mau kerja keras atau orang penuh inisiatif.
“Inilah yang diburu uang dan fasilitas dari seluruh dunia. Ketika Indonesia tidak menyediakan lingkungan yang menghargai orang-orang seperti itu, tidak mengherankan jika banyak dosen dan peneliti yang hengkang bahkan ke Malaysia,” ujarnya.(Sic/M-1) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Jumat, 20 Agustus 2010 | Penulis: Sica Harum