
[WIKI-TOKOH] Cerpenis dan novelis Ratna Indraswari Ibrahim terus menghasilkan karya sastra yang menyentuh. Kedua kaki dan tangannya yang tak berfungsi bukanlah halangan.
Sulit membayangkanbetapa beratnya menjalani hidup dengan kedua tangan dan kaki tak berfungsi. Apa yang bisa dilakukan dengan keterbatasan fisik tadi? Ah, ternyata bagi Ratna Indraswari Ibrahim, kekurangannya itu tidak menjadi halangan untuk berkarya dan menjalani hidup dengan ceria dan penuh optimisme.
Siapa mengira, perempuan 61 tahun yang akrab disapa Mbak Ratna itu telah menghasilkan karya-karya di bidang sastra. Subhanallah! Karyanya yang berbentuk antologi cerita pendek ataupun novel tersebar di pelbagai media cetak, juga dalam bentuk buku. SebutlahMenjelang Pagi (1995), Dua Tengkorak (2000), dan Lakon di Kota Kecil (2001).
Sejumlah penghargaan pun ia sabet. Antara lain “Wanita Berprestasi” dari pemerintah (1994) dan “Perempuan Kreatif She Can” dari Trans7 (2009). Mei lalu, ia mendapat penghargaan sebagai perempuan inspiratif dari Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Bagaimana Mbak Ratna, dengan keterbatasan fisik yang dilakoninya hampir separuh abad, mampu meraih semua itu?
Ketika keheranan –atau lebih tepat ketakjuban– itu diutarakan kepada Mbak Ratna, cerpenis dan novelis feminis yang tinggal di Malang, Jawa Timur, ini pun tersenyum penuh syukur. Lalu katanya bersungguh-sungguh, “Tidak ada yang bisa mengubah nasib kita selain diri kita sendiri. Jangan pernah patah semangat. Lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Do it.”
Tentu keberhasilan Mbak Ratna itu tak lepas dari peran orang-orang dekat yang mengasihinya. Ini diakui Mbak Ratna. Misalnya peran sang ibu yang menempa semangatnya serta peran asisten pribadinya yang melayani kebutuhan dia sehari-hari, termasuk mengetikkan cerita. “Saya ngomong, Santy yang nulis,” katanya kepada Gatra, yang bertandang ke rumahnya, beberapa waktu lalu.
Santy, 22 tahun, adalah asisten Mbak Ratna. Ia juga mengalami kelumpuhan, tapi kedua tangannya masih berfungsi baik. Sudah lima tahun Santy menemani Mbak Ratna. Dalam penulisan cerpen atau novel, Santy memang terlibat langsung. Mulai penulisan, peletakan titik-koma, hingga proses pencarian literatur untuk memperkaya tulisan. “Ibu (Ratna) sangat terbuka menerima masukan dari siapa pun,” ujarnya.
Mbak Ratna lahir di Malang, 24 April 1949. Anak kelima dari 10 bersaudara ini lahir sebagai bayi perempuan yang sehat, anggota tubuhnya lengkap dan berfungsi normal. Bayi mungil itu tumbuh sehat menjadi gadis kecil yang energetik. Salah satu hobinya adalah memanjat pohon.
Tapi kenangan manis sebagai gadis kecil yang dinamis itu berakhir pada usia 10 tahun. Ketika itu, penyakit rachitis mulai menggerogoti kedua kaki dan tangannya. Menginjak usia 13 tahun, ia pun mengalami cacat permanen. Kedua pasang anggota geraknya itu tak dapat difungsikan sama sekali.
Tubuhnya hanya bisa berbaring dan bersandar. Semua kebutuhan hidupnya sehari-hari praktis sangat bergantung pada kursi roda dan keluarganya. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati si gadis kecil itu. Rasa putus asa dan marah sempat menderanya. Tapi itu tak berlangsung lama.
Pelan-pelan Ratna kecil mulai menerima kenyataan itu dan bertekad untuk tidak larut dalam kesedihan. Kedua orangtuanya –terutama sang ibu– sangat berperan mendorong dia untuk bangkit. “Saya semakin banyak membaca,” tutur Mbak Ratna.
Keterbatasan gerak membuat kebiasaan membaca yang tertanam sejak kecil itu menjadi semakin intens. Majalah, koran, dan buku menjadi temannya sehari-hari. Kursi rodanya didesain khusus agar memudahkannya membaca.
Kebetulan pula sang ayah, yang ketika itu berprofesi sebagai hakim di Malang, hobi menulis. Beberapa artikelnya sempat nongol di beberapa penerbitan. Ratna kecil kerap menemani ayahnya pada saat di depan mesin ketik. “Sejak kecil, telinga saya sudah akrab dengan bunyi mesin ketik,” ujar Mbak Ratna.
Lingkungan keluarganya yang gemar membaca dan menulis membangkitkan minat Ratna kecil untuk belajar menulis pula. Sang ibu yang paling getol memotivasinya untuk menjadi penulis, dan berhasil.
Mbak Ratna menuturkan, ide-ide ceritanya datang dari mana-mana. Selain dari membaca, juga berasal dari hasil diskusi atau obrolan ringan dengan teman-temannya yang bertandang ke rumah Mbak Ratna yang asri. “Para tamu yang datang ke rumah banyak membawa ide buat nulis,” katanya.
Misalnya Pecinan di Malang. Tulisan yang bercerita tentang kehidupan orang-orang keturunan Cina di Malang ini juga berawal dari “curhat” para tamu yang datang ke rumahnya. Novel Saksi Mata yang kini penulisannya memasuki tahap akhir juga diilhami obrolan para tamu.
Mbak Ratna yang sempat kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, ini punya banyak teman kalangan aktivitis. Teman-temannya yang terlibat dalam reformasi 1998 itu pun bercerita banyak kepada Mbak Ratna. Cerita-cerita itu kemudian dituangkan Mbak Ratna menjadi novel dengan setting gerakan pemuda kota Malang pada saat terjadi reformasi 1998.
Di kalangan sastrawan, Mbak Ratna yang selalu ceria ini cukup tersohor. Bahkan bisa dibilang, Mbak Ratna menjadi sumber inspirasi bagi kalangan sastrawan muda. Lang Fang, misalnya. Sastrawan asal Surabaya ini menilai Mbak Ratna sebagai sosok yang rendah hati. Meski memiliki jam terbang tinggi dan menggeluti bidang sastra cukup lama, semangatnya untuk terus belajar tak pernah berhenti.
Selama berteman dengan Mbak Ratna, penulis novel Ciuman di Bawah Hujan itu mengaku banyak mendapat inspirasi darinya. Misalnya soal memandang hidup, keuletan, dan penghargaan atas sebuah proses. “Keterbatasan fisik, bagi Mbak Ratna, bukan penghalang untuk berkarya,” tuturnya. e-ti
Sumber: Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 8 Juli 2010 | Penulis: Nur Cholish Zaein dan Taufik Alwie