Penutup Manis dari Sinta Darmariani
Sinta Darmariani
[WIKI-TOKOH] Olahraga memang penuh kejutan. Apa yang tak mungkin atau mungkin terjadi selama proses latihan justru bisa terjadi atau berubah selama pertandingan. Itu pula yang dialami Ni Luh Sinta Darmariani.
Bagi perempuan yang dikenal sebagai Sinta Darmariani ini, 17 November 2010 adalah momen yang indah. Pada kejuaraan angkat besi Asian Games XVI, tahun 2010, di Dongguan Gymnasium, Guangzhou, China, ia mempersembahkan medali perak bagi Indonesia dari cabang angkat besi kelas 69 kilogram putri.
“Senang sekali, saya tak menyangka bisa mengangkat barbel hingga 137 kilogram untuk angkatan clean & jerk. Ini penutup manis dari cabang angkat besi setelah sebelumnya diawali dengan manis juga oleh Kak Jadi (Setiadi) di kelas 56 kg putra,” tutur gadis yang berasal dari keluarga atlet itu.
Meski begitu, Sinta tetap rendah hati. Sepulangnya dari Guangzhou, ia mendapat libur sebentar dan pulang ke kampung halamannya di Denpasar, Bali. Tak putus-putus ia terus mengucap syukur.
“Saya mengucap syukur atas pencapaian ini dan berterima kasih. Saya mengaturkan pencapaian ini buat keluarga, pelatih saya, Pak Dirdja Wihardja, dan semua yang menyayangi Sinta,” ujarnya, Senin (22/11), seusai berdoa di pura.
Motivasi
Menurut Sinta, keberhasilannya adalah buah pengaturan strategi yang tepat dari pelatihnya. Di ajang Asian Games 2010, Sinta berhasil mengangkat total 238 kg (angkatan snatch 101 kg dan clean & jerk 137 kg).
Pelatih angkat besi nasional Dir- dja Wihardja menerapkan strategi mengamankan angkatan snatch lebih dulu. Ia memotivasi Sinta dengan mengatakan, kalau mau menang, minimal dia harus melakukan empat kali angkatan.
Sinta berhasil pada angkatan snatch pertama (98 kg). Sayang, ia gagal pada kesempatan kedua (101 kg). Tetapi, barbel 101 kg berhasil diangkat pada kesempatan ketiga.
Pada angkatan clean & jerk ia sukses memanfaatkan tiga kali kesempatan angkatan, pertama 129 kg, disusul kedua (132 kg) yang merupakan angkatan maksimal Sinta selama ini.
“Untuk angkatan ketiga, 137 kg di kelas 69 kg, saya sama sekali belum pernah mengangkat. Anehnya, saya merasa sangat ringan saat mengangkat beban 137 kg itu,” ujarnya.
Catatan angkatan Sinta selama latihan dan kejuaraan di kelas 69 kg berkisar 100 kg untuk snatch dan 132 kg untuk clean & jerk. Turunnya Sinta di kelas 69 kg merupakan penampilan ketiganya di ajang internasional setelah di Kazakhstan dan di Laos. Sebelumnya, ia merupakan lifter di kelas 75 kg.
Catatan Sinta di kelas 69 kg menunjukkan grafik naik. Juni 2010 ia mencatatkan angkatan total 209 kg. Di Kejuaraan Dunia Angkat Besi Senior di Antalya, Turki, September 2010, total angkatan Sinta 232 kg (100 kg snatch dan 132 kg clean & jerk).
Selama mengikuti dua minggu pelatihan di Korea National Sport University di Seoul, Korea Selatan, dua minggu sebelum Asian Games, ca- tatan angkatan Sinta juga berkisar di 232 kg.
“Padahal, waktu latihan di Korea amat berat. Tetapi saya bersyukur punya pelatih yang terus menyemangati saya hingga total bisa mengangkat 238 kilogram,” ujarnya.
Sebelum bertanding, Dirdja terus memompa semangat Sinta, apalagi dengan postur tubuh paling kecil di antara lifter di ajang Asian Games kelas 69 kg. Ia paling pendek dengan tinggi tubuh 149 sentimeter dan lebih cocok masuk kelas 58 atau 63 kg putri, bukan kelas berat 69 kg.
Hal yang juga memberinya semangat adalah pertemuan dengan Chun Hong Liu, juara olimpiade dan juara dunia kelas 69 kg dari China, di ajang Asian Games itu.
“Saya nge-fans sama dia. Ternyata saya malah bisa bertanding di panggung yang sama. Saya bangga dan sangat termotivasi,” ujar Sinta.
Kerja keras
Sinta yakin, ia unggul di angkatan clean & jerk. Angkatan Chun untuk clean & jerk di Asian Games kali ini sekitar 132 kg atau terpaut lima kilogram lebih rendah darinya. Namun, ia terus berlatih agar bisa mempertajam angkatan snatch menjadi setidaknya 110 kg. Sekurangnya, perbedaan snatch dan clean & jerk mencapai angka ideal, 15-20 kg.
Olimpiade 2012 menjadi mimpi berikutnya bagi gadis yang memulai latihan angkat besi pada usia 11 tahun itu. “Waktu saya dipanggil masuk pelatnas (pemusatan latihan nasional) tahun 2004, saat itu saya berlatih bersama lifter-lifter yang akan dikirim ke Olimpiade 2004. Saya sangat ingin bisa sampai ke sana,” ujarnya.
Sebetulnya ia berharap bisa terpilih sebagai lifter pada Olimpiade 2008. Namun, sistem kuota pada cabang angkatan besi membuat Lisa Rumbewas yang terpilih mewakili Indonesia.
“Bagi saya, meski tak terpilih ikut Olimpiade 2008, tetap masih ada kesempatan. Saya akan terus berjuang dan menunjukkan saya mampu maju ke Olimpiade 2012 di London,” tandas Sinta yang ingin menyelesaikan kuliahnya yang terputus di jurusan ekonomi manajemen itu.
Dirdja pun optimistis, niat Sinta bisa terwujud. “Dia ulet dan tak mau menyerah,” ujarnya.
Sinta terlahir dari keluarga atlet. Ayahnya, I Made Sudarmawan, pelatih angkat berat di Denpasar, sementara ibunya, Lolin Ariani, mantan atlet silat. Tetapi, Sinta awalnya kesengsem dengan judo. Karena sang ayah tak terlalu suka anak gadisnya memilih cabang judo, Sinta beralih perhatian. “Ayah mungkin tak suka anaknya menjadi fighter atau petarung. Saya diarahkan menekuni angkat besi.”
Sejak usia 11 tahun, Sinta “resmi” menekuni angkat besi. Usaha empat tahun membuahkan hasil. Pada 2001 ia merebut tiga emas dari kelas 69 kg di Kejuaraan Angkat Besi Remaja Yunior di Bali. Sejak saat itu prestasi demi prestasi terus ia torehkan.
Kini, dua tahun menjelang olimpiade, Sinta tak ingin membuang waktu. Ia ingin terus berlatih, berlatih, dan maju. Ia ingin memberikan yang terbaik dan manis buat Indonesia dari angkat besi. e-ti
Sumber: Kompas, Rabu, 24 November 2010 | Penulis: Helena Nababan