‘Petromaks’ Pemberi Harapan
Sudiharto
[WIKI-TOKOH] Berangkat dari keprihatinan akan penderitaan sesama, Sudiharto (68) memulai penelitiannya. Hasil penelitiannya telah mengurangi penderitaan ribuan pasien penyumbatan cairan otak. Penelitian yang terus diperbarui itu dimulai sejak 1978.
“Waktu itu harga pompa Rp 150.000. Padahal, tiket pesawat Yogyakarta-Jakarta masih Rp 12.500. Gaji saya sebagai dokter saja waktu itu baru puluhan ribu. Masak harga pompa lebih mahal dari harga tiket pesawat dan gaji dokter? Terang saja, banyak yang tidak mampu membeli,” ujarnya di Yogyakarta, Kamis (24/9), sambil mengenang awal penelitiannya.
Pompa mahal yang dimaksud Sudiharto adalah pompa untuk mengalirkan cairan otak buatan Amerika Serikat yang sangat dibutuhkan penderita hidrosefalus. Selain penderita hidrosefalus, pompa itu juga dibutuhkan pasien penyakit stroke, trauma kepala akibat kecelakaan, tumor otak, maupun radang otak atau meningitis yang mempunyai gejala yang sama.
Keprihatinan
Sudiharto menuturkan, sejak pertengahan dekade 70-an, pompa cairan otak menjadi langka dan karenanya mahal di Indonesia. Kelangkaan ini dipicu peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) 1974. Oleh karena Malari, pasokan semua jenis alat medis dari luar negeri ke Indonesia terhambat. “Karena langkanya, kalangan medis terpaksa menggunakan benang konfeksi maupun benang nilon yang biasa dipakai di alat pancing sebagai pengganti benang medis,” ujar Sudiharto.
Di masa sulit itu Sudiharto, yang tengah menyelesaikan studinya sebagai spesialis bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Jakarta, menyaksikan sejumlah pasien hidrosefalus tak tertolong jiwanya. Penyebabnya, pasien hidrosefalus kesulitan memperoleh alat pompa cairan di otak.
Keprihatinan itu membangkitkan semangatnya untuk meneliti. Motivasinya di awal penelitian hanya satu, yaitu mengurangi ketergantungan pasokan alat medis dari luar negeri dan membuat biaya perawatan menjadi lebih terjangkau.
“Saya meneruskan penelitian profesor saya di UI yang sebelumnya telah membuat alat untuk mengalirkan cairan otak dengan sistem katup. Oleh karena alat itu berbahan logam, pemasangannya di otak dinilai terlalu berisiko,” tuturnya.
Hasil penelitian pertama (1980) dokter kelahiran Bandung, Jawa Barat, itu adalah menciptakan sistem pengalir cairan otak dengan katup semilunar (setengah bulan) tunggal tanpa pompa, yang disebutnya unishunt. Bentuk katup berbentuk setengah bulan terinspirasi dari bentuk katup jantung manusia yang terdiri atas tiga katup berbentuk sama. Bentuk katup itu dipilih karena mempunyai keistimewaan: cairan yang telah dipompa keluar tidak akan berbalik meskipun denyut pompa jantung sangat cepat, mencapai 72 kali per menit pada manusia normal.
Alat hasil penelitian pertamanya itu mulai digunakan pada pasien hidrosefalus dan penderita penyumbatan cairan di kepala. Alat yang dihubungkan dengan pipa kateter dari silikon tersebut ditanam di otak dan disalurkan ke saluran pencernaan sehingga cairan otak bisa diserap pembuluh darah di saluran pencernaan.
Terus berinovasi
Meskipun dinilai cukup berhasil, Sudiharto belum puas. Dari masukan rekan sejawatnya, dokter yang hingga saat ini belum berminat menempuh gelar guru besar itu menyempurnakan alat ciptaannya dengan sistem pompa pengontrol aliran.
Untuk menciptakan sistem pompa yang cukup kecil dan cukup aman di otak, Sudiharto menghabiskan ratusan jam membaca literatur tentang sistem segala jenis pompa. “Pompa lampu petromaks pun saya bongkar untuk tahu cara kerjanya,” tuturnya.
Sudiharto juga menyeberang disiplin ilmu dengan mempelajari ilmu Fisika tentang tekanan. Saat harus membuat berbagai perhitungan rumit, Sudiharto meminta bantuan salah satu kawannya, seorang guru besar Fisika.
Setelah menyelesaikan studinya sebagai spesialis bedah saraf, tahun 1983 Sudiharto kembali ke Yogyakarta sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR Sardjito dan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kampung halamannya itu, Sudiharto menyelesaikan penelitiannya.
“Saya mendapat dukungan dari institusi tempat saya bekerja, termasuk menggunakan laboratorium Geofisika untuk menguji alat,” katanya.
Dari penelitian yang gigih tersebut, sekitar tahun 2004 Sudiharto kembali muncul dengan sistem pompa cairan otak yang unggul, aman, dan yang terpenting terjangkau harganya. Alat yang mampu mengurangi cairan otak hingga setengah dari volume awal ini disebutnya sebagai Sistem Pirau Katup Celah Semilunar. Harganya yang berkisar Rp 1,5 juta-Rp 1,7 juta tentu jauh lebih terjangkau daripada alat buatan luar negeri yang bisa mencapai Rp 40 juta.
Meskipun jauh lebih murah, inovasinya dijamin aman digunakan. Alat pompa itu dilengkapi tonjolan antislip yang belum ada di alat-alat serupa buatan luar negeri sekalipun.
Tingkat keamanan alat ini diakui Ketua Yayasan Hidrosefalus Yogyakarta Endro Basuki. “Alat Doktor Sudiharto mampu menekan komplikasi teknik hingga kurang dari dua persen, jauh di bawah tingkat komplikasi di seluruh dunia yang mencapai dua hingga empat persen. Selain itu, pembiayaan juga bisa diatur sehingga meringankan pasien tak mampu,” tuturnya.
Atas orisinalitas idenya, karya yang telah memperoleh hak kekayaan intelektual (HKI) pada 3 September lalu itu berhasil meraih beberapa penghargaan, salah satunya sebagai alat paten atau layak paten terbaik dari UGM. “Dari 60 jenis alat serupa dari Amerika Serikat dan 30 jenis dari Jepang, belum ada yang menggunakan sistem ini. Oleh karena itu, mungkin, alat saya dinilai layak mendapat HKI,” kata Sudiharto.
Sejak 1980 hingga sekarang, alat pengalir cairan otak Sudiharto telah terpasang pada sekitar 7.000 pasien hidrosefalus, stroke, tumor otak, kecelakaan, maupun radang otak. Adapun sistem pirau celah semilunar yang terbaru telah terpasang pada lebih kurang 180 pasien.
Pada sebagian besar pasien, alat ini mampu membantu hidup normal. Agar mudah diperoleh, komponen alat Sudiharto ini rencananya akan dibuat massal, dengan melibatkan sejumlah perusahaan dalam negeri. Pembuatan secara massal dimaksudkan untuk bisa lebih menekan harga.
Direktur Pelayanan Medis RSUP DR Sardjito Budi Mulyono menyebut alat pompa Sudiharto sebagai inovasi humanis atau teknologi yang terjangkau. Alat ini juga sudah termasuk dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
Meskipun telah memperoleh sejumlah pengakuan, Sudiharto belum ingin berhenti berkarya. Bapak satu anak itu akan mengembangkan alat pompa serupa bagi pasien glukoma. Penelitian yang diperkirakan selesai dalam empat tahun ke depan itu diharapkan bisa mencegah penderita glukoma dari kebutaan.
Untuk penelitian barunya bagi pasien glukoma itu, Sudiharto telah siap bergelut dengan tumpukan buku dan berbagai ilmu baru. Sebagai seorang dokter sekaligus ilmuwan, dia menemukan kepuasan saat berhasil menggunakan ilmunya untuk menolong dan meringankan penderitaan sesama. e-ti
Sumber: Kompas, Senin, 28 September 2009 | Penulis: Irene Sarwindaningrum