
VISI BERITA (Kurang Makan, 19 Oktober 2006) – Bangsa ini baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-61. Ironisnya, dalam usia senjanya, kantong-kantong kemiskinan baru malah muncul di mana-mana. Artinya, bagi Indonesia, kemerdekaan tidak otomatis menghapus kemiskinan yang identik dengan kurang makan, bodoh, dan penyakitan.
Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 23 | Basic HTML
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai kritik lantaran di dalam pidato kenegaraannya di depan parlemen (16/8), memaparkan angka kemiskinan yang dianggap tidak akurat. Susilo yang lebih akrab disapa SBY, mengemukakan penurunan angka kemiskinan – 23,3% dari jumlah penduduk pada tahun 1999, menjadi 16% tahun 2005. SBY dikritik lantaran penurunan tersebut bukanlah pencapaian pemerintahannya, melainkan prestasi pendahulunya, Presiden Megawati.
Sejumlah partai politik, lembaga penelitian, dan ekonom mengamati bahwa angka kemiskinan – setelah dua kali kenaikan harga BBM, tahun 2005 – tidak menurun, malahan menanjak. Bilamana program Bantuan Langsung Tunai (BLT) jadi rujukan, Kepala Keluarga Miskin (KKM) yang menerima BLT, bertambah dari 15 juta menjadi 15,6 juta pasca kenaikan BBM. Dengan asumsi satu KKM minimal 4 jiwa, berarti sekitar 62.400.000 jiwa hidup miskin. Kecuali angka BLT itu dimanipulasi untuk menggelembungkan dana yang disalurkan.
Dari fakta-fakta tersebut bisa dipetik dua asumsi: (1) Kritik dan polemik yang berkembang tidak banyak mengeksplorasi akar permasalahan, hanya berputar pada angka-angka. (2) Angka BLT yang diciprat-cipratkan dalam sebulan bisa untuk memberdayakan perekonomian ribuan desa, atau puluhan ribu desa dalam setahun. Dana yang diciprat-cipratkan tersebut sebesar Rp 150.000 per KKM per bulan. Secara keseluruhan: 15.600.000 x Rp 150.000=Rp 2.340.000.000.000 sebulan atau Rp 28.080.000.000.000 setahun.
Asumsi satu mengundang pertanyaan: “Di manakah kemiskinan itu berakar?” Bisa ditelusuri dari struktur sosial, tradisi, tingkat pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, dan akses pemberdayaan. Paling tidak, kemiskinan bisa digolongkan dalam dua kategori – kemiskinan struktural atau turun-temurun, dan akibat dari proses pemiskinan. Tentang kemiskinan kategori satu; peta kantong-kantong kemiskinan struktural yang terinci bisa disimak lagi dalam data-data milik Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Karena lembaga tersebut melaksanakan program pengentasan kemiskinan simultan dengan program pengendalian dan kesejahteraan keluarga. Sedangkan kemiskinan kategori dua; petanya agak rumit karena tidak mengelompok, terpencar-pencar. Proses pemiskinan dipicu oleh ketimpangan sosial, kebodohan, kemalasan, tiadanya lapangan kerja, dan PHK.
Kantong-kantong kemiskinan perlu ditelusuri dari akarnya karena hanya dengan mengetahui karakteristiknya, bisa diambil kebijakan, langkah, dan terapi yang tepat. Pada prinsipnya kedua kategori tersebut harus sama-sama mendapatkan akses pemberdayaan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga donasi swasta. Kemiskinan tidak bisa dibiarkan berkarat, karena sangat terkait dengan keunggulan sebuah bangsa. Bangsa yang miskin akan menjadi bangsa yang kurang gizi – karena makanannya kurang protein, kurang vitamin, kurang mineral, dan kurang karbohidrat – bodoh, lemah, dan tidak punya harga diri. Karena kecukupan gizilah yang akan membentuk generasi baru yang kuat dan cerdas. Bilamana separuh dari jumlah KKM atau 31 juta anak mengonsumsi kadar kalori yang rendah, maka sejumlah itulah yang akan menjadi generasi baru yang tidak produktif lantaran bodoh, fisiknya lemah, dan pemalas.
Jika mata rantai ini tidak diputus, maka akan terjadi proses pemiskinan yang tiada hentinya, semakin bertambah dari tahun ke tahun. Akibatnya, bangsa ini, mengutip istilah Bung Karno (presiden pertama), akan selamanya menjadi bangsa kuli yang tidak punya masa depan dan harga diri, meskipun sudah menjadi bangsa merdeka. Adakah kesadaran di antara para pemimpin Indonesia seperti kesadaran para pemimpin Jepang pasca kekalahan Perang Dunia Kedua? Barangkali kesadaran itu belum ada kecuali berebut jadi penguasa.
Sebelum Perang Dunia Pertama, bangsa Jepang dicemooh oleh lawan-lawannya sebagai bangsa kate yang minder alias tidak percaya diri. Cemoohan ini memicu para pemimpin fasis militer untuk melawannya secara berlebihan, menjerumuskan bangsa Jepang ke dalam peperangan yang berkepanjangan. Para pemimpin generasi baru Jepang menyadari kesalahan para pendahulu mereka, melawan cemoohan itu dengan kerja keras dan mengubah way of life bangsanya. Prioritas utama mereka, mengubah bangsa Jepang agar tidak lagi menjadi bangsa kate. Mereka melancarkan program perbaikan gizi secara konsisten dan berkesinambungan. Artinya, para pemimpin Jepang berpikir dan bekerja keras untuk memberikan makanan yang cukup gizi kepada rakyat mereka. Hanya dalam dua dekade pasca perang (1942-1945), lahirlah generasi baru Jepang yang normal (tidak kate) dan cerdas seperti adanya sekarang.
Sekarang, apakah yang direncanakan para pemimpin Indonesia untuk mengubah kondisi bangsanya yang bodoh, lemah, malas, dan rendah diri? Tepat seperti yang dipaparkan oleh Syaykh AS Panji Gumilang, para penyelenggara negara perlu berpikir ulang untuk menyelamatkan bangsa ini. Perlu mengkaji ulang program pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sementara puluhan juta rakyat kurang makan atau menyantap makanan asal kenyang tetapi tidak bergizi.
Maka para penyelenggara negara perlu mengubah arah pembangunan, memulai kembali dari awal: membangun pertanian untuk mencukupi pangan rakyat yang bergizi. Hanya dengan cara tersebut bisa lahir generasi baru yang kuat fisiknya dan cerdas otaknya. Generasi baru seperti itulah yang mampu membangun bangsa ini menjadi bangsa yang kreatif dan inovatif menghadapi perubahan zaman. (red/BeritaIndonesia)
Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 23
Dari Redaksi
- Dari Redaksi – halaman 4
Surat Komentar
- Surat Komentar – halaman 5
Highlight/Karikatur Berita
- Highlight/Karikatur Berita – halaman 7
Berita Terdepan
- Habibie Mengusik Macan Tidur – halaman 12
Visi Berita
- Kurang Makan – halaman 13
Berita Utama
- Bangsa Ini Masih Kurang Makan – Halaman 14
- Interdependensi dan Pelaku Perubahan – Halaman 19
- Globalisasi Tidak Eleminir Nasionalisme – Halaman 22
- Tentramnya Indonesia, Tentramnya Dunia – Halaman 27
Berita Nasional
- Efek Domino Kasus Lapindo – Halaman 29
Lintas Tajuk
- Momentum Puasa – Halaman 30
Lentera
Berita Khas
- Sang Meneer yang Tak Tersentuh – Halaman 38
Berita Politik
- Mega Sejengkal di Belakang SBY – Halaman 40
- TNI Digoda Arena Politik – Halaman 42
Berita Daerah
- Lintas Media Daerah – Halaman 43
- Membela TKI Menyangkut Harga Diri Bangsa – Halaman 44
- Menjual Bulungan Lewat Birau – Halaman 46
Berita Lingkungan
- Kalteng Masih Berasap – Halaman 47
- Orangutan Menunggu Kudeta Usai – Halaman 47
Berita Newsmaker
- Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie – Halaman 48
Berita Tokoh
- Prof. Dr. H.M. Roem Rowi, MA – Halaman 50
Berita Hankam
- Brigjen M. Noer Panglima Divisi 1 Kostrad – Halaman 52
- Dharma Pertiwi Peduli – Halaman 52
- Tantangan TNI Usia 61 Tahun – Halaman 53
Berita Hukum
- Tanda Tanya Setelah Eksekusi – Halaman 54
- Kronologis Sebelum Eksekusi – Halaman 54
- Jaguar Eggi Masih Melaju – Halaman 55
- Mahasiswa Hina Presiden – Halaman 55
Berita Mancanegara
- Menuju Demokrasi Melalui Kudeta? – Halaman 56
- Pemimpin yang Tidak Banyak Bicara – Halaman 58
Berita Kesehatan
- Maut dari Si Kuping Panjang – Halaman 59
Berita Ekonomi
- Obligasi Negara Berbasis Syariah – Halaman 60
- Dana Rusun Indonesia Berkiblat ke Timteng – Halaman 61
- Putaran Doha dan Gagalnya WTO – Halaman 62
- Lanjutkan Putaran Doha – Halaman 63
Berita Iptek
- Rumah Masa Depan – Halaman 64
- 3G: Ibarat BMW Masuk Desa – Halaman 65
- Desain Baru iPod – Halaman 65
Berita Olahraga
- Bettini Wujudkan Obsesinya – Halaman 66
- Doping Jadi Momok – Halaman 66