Menjawab dalam Diam

 
0
25
Majalah Berita Indonesia Edisi 15
Majalah Berita Indonesia Edisi 15

VISI BERITA (Pak Harto, Masa Lalu, 22 Juni 2006) – Sayang, di Indonesia tidak ada pemimpin sekaliber Nelson Mandela dari Afrika Selatan. Hanya Mandela yang mampu melupakan semua penghinaan dan penderitaan selama lebih dari 30 tahun di sel penjara rezim apartheid kulit putih begitu ia menghirup udara bebas. Mandela juga tidak tergiur untuk membalas dendam meskipun terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Dia justru mengajak bangsanya melupakan semua penghinaan dan penderitaan ratusan tahun di bawah rezim otoriter pembedaan warna kulit.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 15 | Basic HTML

Mandela mengubur dalam-dalam masa lalu bangsanya yang kelam, mengajak (dan meneladani) mereka untuk membangun masa depan. Sebab, balas dendam hanya menciptakan gejolak dan konflik serta membuang waktu. Mandela ingin segera membangun negerinya di atas landasan kebersamaan. Obsesinya adalah agar bangsa Afrika Selatan yang mayoritas berkulit hitam bebas dari pengucilan, penghinaan, penderitaan, dan keterbelakangan.

Walhasil, dalam tempo relatif singkat, bangsa Afrika Selatan bangkit, mengubah dirinya—dari bangsa budak menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Setelah obsesinya terwujud, Mandela tidak ingin berlama-lama di kursi kekuasaan. Ia turun pada saat yang tepat, ketika rakyatnya masih menghendakinya berkuasa. Namun, setelah tidak lagi berkuasa, Mandela tetap dihormati dan dielukan oleh rakyatnya.

Apa kaitan Mandela dengan Pak Harto? Tak lama setelah bebas dari penjara, Mandela berkunjung ke Jakarta dan menemui Pak Harto. Dalam waktu singkat, Mandela belajar banyak hal dari Pak Harto. Sebaliknya, setelah Mandela menjadi presiden, Pak Harto berkunjung ke Cape Town tetapi tidak berminat belajar dari Mandela.

Ada tiga hal yang tidak dipetik Pak Harto dari Mandela: membiarkan dendam berkepanjangan, bahkan puluhan tahun setelah penumpasan G-30-S/PKI (1965); berkuasa terlalu lama; dan melepaskan jabatan saat rakyat tidak lagi menginginkannya. Setelah mengundurkan diri (21 Mei 1998), Pak Harto justru menjadi isu sentral bangsa ini.

Jenderal Soeharto tampil gagah di usia 45 tahun ketika mengambil alih kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno pada Maret 1966 dan dikukuhkan oleh MPRS pada Maret 1968. Turunnya Bung Karno dan naiknya Pak Harto adalah ujung dari gejolak politik berdarah pada dini hari 1 Oktober 1965. Di kemudian hari, Pak Harto berkuasa selama 32 tahun karena mendapat dukungan kuat dari ABRI dan Golkar yang dikukuhkan MPR dalam sidang umum lima tahunan.

Artinya, kesalahan yang dilimpahkan pada Pak Harto sekarang merupakan bagian dari kesalahan kolektif. Memang ada kesalahan dalam sistem demokrasi era Pak Harto, tetapi itu adalah strategi untuk membangun ekonomi agar Indonesia segera bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Pak Harto mengalami nasib yang hampir sama dengan Bung Karno, menjadi tumpahan kesalahan kolektif. MPRS mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup, tetapi Majelis itulah yang mencabut kekuasaannya.

Apakah kesalahan kolektif ini akan terulang di era reformasi yang telah memasuki usia delapan tahun? Faktanya, dendam terus bergelora sehingga menarik bangsa ini ke belakang. Langkah ke depan tersendat-sendat. Sekarang dan kemarin telah lahir tradisi baru yang mengentalkan teriakan, cercaan, kekerasan, dan pemaksaan kehendak. Tradisi ini mendapat tempat di media massa, seolah-olah itu adalah perasaan dan kehendak rakyat. Dalam sorotan kamera TV dan surat kabar, tradisi ini menciutkan nyali polisi, petinggi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tradisi ini juga memaksakan pengadilan Pak Harto di usia uzur 85 tahun, padahal tim dokter telah merekomendasikan secara medis bahwa Pak Harto mengalami kerusakan jaringan saraf otak permanen, serta menjalani proses penyembuhan dari berbagai penyakit fisik. Pak Harto, ketika masih sehat, mematuhi semua proses hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Advertisement

Atas rekomendasi medis tim dokter pribadi dan negara, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa hukum bahwa Pak Harto hanya bisa diadili setelah kesehatannya pulih. Pengadilan Negeri mengembalikan perkara Pak Harto ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Baru-baru ini, Kejaksaan Negeri mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Namun, semua ketetapan hukum tersebut tidak menghentikan teriakan, aksi, dan pemaksaan kehendak untuk mengadili Pak Harto. Presiden Susilo yang dipilih oleh lebih dari 60 juta pemilih sekalipun tak mampu menghentikan tuntutan di jalanan. Ia hanya menjawab tuntutan tersebut dengan pernyataan mengambang; perkara Pak Harto diendapkan sementara waktu.

Sekarang, penyakit fisik Pak Harto semakin kompleks. Namun, dendam padanya tak juga padam meskipun hukum menafikan pengadilan bagi seseorang yang menderita penyakit rohani dan jasmani. Agar bisa menjalani sisa usianya dengan tenang dan damai, sudah seharusnya Pak Harto dibebaskan dari semua beban hukum. Biarlah Pak Harto menjadi bagian dari masa lalu.

Ada baiknya bangsa ini belajar dari Afrika Selatan—mengakhiri balas dendam untuk membangun masa depan di atas landasan kebersamaan. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 15

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Hukum

Berita Khas

Berita Tokoh

Berita Ekonomi

Berita Opini

Berita Newsmaker

Berita Hankam

Berita Nasional

Berita Khusus

Berita Olahraga

Berita Politik

Berita Wawancara

Berita Iptek

Berita Humaniora

Berita Mancanegara

Berita Daerah

Berita Feature

Berita Media

Berita Kesehatan

Berita Perempuan

Berita Budaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini