
VISI BERITA (Pak Harto, Masa Lalu, 22 Juni 2006) – Sayang, di Indonesia tidak ada pemimpin sekaliber Nelson Mandela dari Afrika Selatan. Hanya Mandela yang mampu melupakan semua penghinaan dan penderitaan selama lebih dari 30 tahun di sel penjara rezim apartheid kulit putih begitu ia menghirup udara bebas. Mandela juga tidak tergiur untuk membalas dendam meskipun terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Dia justru mengajak bangsanya melupakan semua penghinaan dan penderitaan ratusan tahun di bawah rezim otoriter pembedaan warna kulit.
Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 15 | Basic HTML
Mandela mengubur dalam-dalam masa lalu bangsanya yang kelam, mengajak (dan meneladani) mereka untuk membangun masa depan. Sebab, balas dendam hanya menciptakan gejolak dan konflik serta membuang waktu. Mandela ingin segera membangun negerinya di atas landasan kebersamaan. Obsesinya adalah agar bangsa Afrika Selatan yang mayoritas berkulit hitam bebas dari pengucilan, penghinaan, penderitaan, dan keterbelakangan.
Walhasil, dalam tempo relatif singkat, bangsa Afrika Selatan bangkit, mengubah dirinya—dari bangsa budak menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Setelah obsesinya terwujud, Mandela tidak ingin berlama-lama di kursi kekuasaan. Ia turun pada saat yang tepat, ketika rakyatnya masih menghendakinya berkuasa. Namun, setelah tidak lagi berkuasa, Mandela tetap dihormati dan dielukan oleh rakyatnya.
Apa kaitan Mandela dengan Pak Harto? Tak lama setelah bebas dari penjara, Mandela berkunjung ke Jakarta dan menemui Pak Harto. Dalam waktu singkat, Mandela belajar banyak hal dari Pak Harto. Sebaliknya, setelah Mandela menjadi presiden, Pak Harto berkunjung ke Cape Town tetapi tidak berminat belajar dari Mandela.
Ada tiga hal yang tidak dipetik Pak Harto dari Mandela: membiarkan dendam berkepanjangan, bahkan puluhan tahun setelah penumpasan G-30-S/PKI (1965); berkuasa terlalu lama; dan melepaskan jabatan saat rakyat tidak lagi menginginkannya. Setelah mengundurkan diri (21 Mei 1998), Pak Harto justru menjadi isu sentral bangsa ini.
Jenderal Soeharto tampil gagah di usia 45 tahun ketika mengambil alih kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno pada Maret 1966 dan dikukuhkan oleh MPRS pada Maret 1968. Turunnya Bung Karno dan naiknya Pak Harto adalah ujung dari gejolak politik berdarah pada dini hari 1 Oktober 1965. Di kemudian hari, Pak Harto berkuasa selama 32 tahun karena mendapat dukungan kuat dari ABRI dan Golkar yang dikukuhkan MPR dalam sidang umum lima tahunan.
Artinya, kesalahan yang dilimpahkan pada Pak Harto sekarang merupakan bagian dari kesalahan kolektif. Memang ada kesalahan dalam sistem demokrasi era Pak Harto, tetapi itu adalah strategi untuk membangun ekonomi agar Indonesia segera bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Pak Harto mengalami nasib yang hampir sama dengan Bung Karno, menjadi tumpahan kesalahan kolektif. MPRS mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup, tetapi Majelis itulah yang mencabut kekuasaannya.
Apakah kesalahan kolektif ini akan terulang di era reformasi yang telah memasuki usia delapan tahun? Faktanya, dendam terus bergelora sehingga menarik bangsa ini ke belakang. Langkah ke depan tersendat-sendat. Sekarang dan kemarin telah lahir tradisi baru yang mengentalkan teriakan, cercaan, kekerasan, dan pemaksaan kehendak. Tradisi ini mendapat tempat di media massa, seolah-olah itu adalah perasaan dan kehendak rakyat. Dalam sorotan kamera TV dan surat kabar, tradisi ini menciutkan nyali polisi, petinggi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tradisi ini juga memaksakan pengadilan Pak Harto di usia uzur 85 tahun, padahal tim dokter telah merekomendasikan secara medis bahwa Pak Harto mengalami kerusakan jaringan saraf otak permanen, serta menjalani proses penyembuhan dari berbagai penyakit fisik. Pak Harto, ketika masih sehat, mematuhi semua proses hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Atas rekomendasi medis tim dokter pribadi dan negara, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa hukum bahwa Pak Harto hanya bisa diadili setelah kesehatannya pulih. Pengadilan Negeri mengembalikan perkara Pak Harto ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Baru-baru ini, Kejaksaan Negeri mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Namun, semua ketetapan hukum tersebut tidak menghentikan teriakan, aksi, dan pemaksaan kehendak untuk mengadili Pak Harto. Presiden Susilo yang dipilih oleh lebih dari 60 juta pemilih sekalipun tak mampu menghentikan tuntutan di jalanan. Ia hanya menjawab tuntutan tersebut dengan pernyataan mengambang; perkara Pak Harto diendapkan sementara waktu.
Sekarang, penyakit fisik Pak Harto semakin kompleks. Namun, dendam padanya tak juga padam meskipun hukum menafikan pengadilan bagi seseorang yang menderita penyakit rohani dan jasmani. Agar bisa menjalani sisa usianya dengan tenang dan damai, sudah seharusnya Pak Harto dibebaskan dari semua beban hukum. Biarlah Pak Harto menjadi bagian dari masa lalu.
Ada baiknya bangsa ini belajar dari Afrika Selatan—mengakhiri balas dendam untuk membangun masa depan di atas landasan kebersamaan. (red/BeritaIndonesia)
Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 15
Dari Redaksi
- Dari Redaksi – Halaman 4
Surat Komentar
- Surat Komentar – Halaman 5
Highlight/Karikatur Berita
- Highlight/Karikatur Berita – Halaman 7
Berita Terdepan
- Maut Menjelang Subuh – Halaman 12
Visi Berita
- Pak Harto, Masa Lalu – Halaman 13
Berita Utama
- Pak Harto Menjawab Dalam Diam – Halaman 14
- “Pemerintah Masih Ragu-ragu” – Halaman 17
- Menanti ‘Political Will’ Presiden – Halaman 18
- Mengembalikan Kehormatan Bangsa – Halaman 20
- Kontroversi Tak Kunjung Padam – Halaman 21
- Biarkan Keadilan Bicara – Halaman 22
- Selesaikan Tanpa Dendam – Halaman 24
Berita Hukum
- Rekomendasi Akibat Buntu – Halaman 26
- Kasus Heli harus Selesai – Halaman 27
Berita Khas
- Tanpa Monopoli Bisa – Halaman 28
Berita Tokoh
- Widi Agoes Pratikto – Halaman 30
Berita Ekonomi
- Bankir Pelat Merah Tak Usah Takut – Halaman 32
- Prospek Ekonomi Dalam Sorotan – Halaman 33
Berita Opini
- Dr. Deding Ishak Ibnu Sudja – Halaman 39
Berita Newsmaker
- Mbah Maridjan – Halaman 40
Berita Hankam
- Tantangan di Tengah Minimnya Anggaran – Halaman 42
- Dankormar Resmikan Puslatpur Antralina – Halaman 43
Berita Nasional
- Curhat Mencari Jatidiri Bangsa – Halaman 44
- Prioritaskan RUU Administrasi Pemerintahan – Halaman 45
Berita Khusus
- Duka Nestapa di Yogya – Halaman 46
Berita Olahraga
- Argentina Incar Gelar Ketiga – Halaman 49
Berita Politik
- “Warning” dari Gedung Juang’45 – Halaman 50
Berita Wawancara
- Marwan Batubara – Halaman 52
Berita Iptek
- 2006, Tahunnya Para Gamers – Halaman 54
Berita Humaniora
- Sebuah Pencerahan Jiwa – Halaman 56
Berita Mancanegara
-
- Timor Leste Masih Bergolak – Halaman 58
Berita Daerah
- Bandung “Kota Sampah” – Halaman 59
Berita Feature
- Tambora Mengguncang Jagad – Halaman 60
Berita Media
- Semua Tergantung Soeharto – Halaman 62
Berita Kesehatan
- Virus Maut Ancam Penjara – Halaman 63
Berita Perempuan
- Persembahan Kaum Hawa – Halaman 64
Berita Budaya
- Musim Salak Telah Berlalu – Halaman 65