Reformasi Birokrasi

 
0
39
Majalah Berita Indonesia Edisi 35
Majalah Berita Indonesia Edisi 35 - Reformasi Birokrasi

VISI BERITA (Reformasi Birokrasi, 12 April 2007) – Sebutan birokrasi berakar dari kata bureau (kantor), memiliki turunan kata bureaucrat dan bureaucratic, alias birokrat dan birokratis. Belakangan ini, “kata birokrasi” sangat melekat dengan konotasi buruk – tindak korupsi. Karenanya, muncul pemikiran untuk melakukan reformasi birokrasi pada perangkat organisasi dan birokratnya serta jaringan birokratis.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 35 | Basic HTML

Birokrasi yang berkaitan dengan pengelolaan negara mencakup lembaga pemerintah dan non-pemerintah, legislatif, dan yudikatif. Lembaga pemerintah terbagi lagi dalam dua bagian besar – departemen dan non-departemen, seperti Badan Pusat Statistik, Badan Ketahanan Pangan serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan, dan masih banyak badan lainnya. Semua kantor departemen dan non-departemen berada di bawah kekuasaan presiden.

Sedangkan lembaga non-pemerintah mencakup lebih dari 100 komisi, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, dan Komisi Penyiaran Indonesia. Komisi-komisi ini bersifat independen, keanggotaannya dipilih oleh presiden tetapi disahkan oleh DPR.

Birokrasi legislatif meliputi MPR, DPR, DPD, dan DPRD beserta seluruh perangkat dan anggotanya. Khusus mengenai DPR, berdasarkan UUD 1945 yang diamandemen – selain berfungsi sebagai badan legislasi dan pengawas anggaran negara, juga diberi pembagian kekuasaan dengan pemerintah. Misalnya, dalam hal pengangkatan Panglima TNI dan Kepala Polri serta pelaksanaan anggaran belanja dan pendapatan, presiden harus meminta persetujuan DPR. Di tingkat daerah, gubernur, bupati, dan walikota, harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD perihal pelaksanaan APBD dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sedangkan birokrasi hukum mencakup kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Mahkamah Agung. Memang terjadi kerancuan di dalam birokrasi hukum, karena sebelah kaki kepolisian dan kejaksaan berada di pemerintahan. Selain itu, masih ada birokrasi hukum ekstra, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Semua birokrasi tersebut dibiayai oleh negara yang sebagian besar dananya dipungut dari rakyat. Karena itu, birokrasi pemerintahan, bagian dari mata rantai birokrasi negara, memegang peran sentral dalam pelayanan publik, terutama memberi jaminan kesejahteraan lahir-bathin dan mental-spiritual. Tentu secara makro, birokrasi-birokrasi tersebut berfungsi menjaga ketertiban, keamanan, ketahanan, dan kedaulatan negara.

Semua birokrasi tersebut dikelola oleh personalia atau sumber daya manusia (SDM) yang dalam praktiknya berbeda-beda kemampuan, motivasi, dan tujuannya. Misalnya, birokrasi pemerintahan dikelola oleh tenaga-tenaga sipil, militer, dan polisi (PNS sipil dan non-sipil) yang diperkirakan berjumlah sekitar 4 juta orang. Birokrasi pemerintah secara garis besar terdiri dari dua organisasi – sipil dan militer/polisi – yang berbeda pola organisasi dan karakternya.

Tiga jenis birokrasi yang belakangan ini sangat melekat dengan konotasi tindak korupsi, yaitu birokrasi pemerintah, hukum, dan legislatif. Bekas menteri yang sangat sengit melawan korupsi, Kwik Kian Gie, menilai sejak 62 tahun merdeka, birokrasi di negeri ini tak pernah mengalami audit, baik dari struktur organisasi, jumlah personil, garis komunikasi, rentang kendali, maupun sistem dan prosedur pengambilan kebijakan.

Tentu audit tersebut dimaksudkan untuk membangun birokrasi yang efektif, disiplin, dan profesional secara konseptual, terencana, dan terarah. Sebab, sejak berdirinya republik ini, birokrasi lebih banyak dibiarkan mengalir seperti air. Kalaupun ada langkah pembinaan, itu tak pernah lepas dari motivasi terciptanya proyek-proyek non-fisik yang dari sisi perbuatan korupsi sangat sulit diukur dan diawasi. Sebab, semakin canggih tindak korupsi, para pelakunya semakin terpuaskan.

Advertisement

Setelah jatuhnya pemerintahan yang selama 32 tahun didominasi oleh paradigma kekuasaan Orde Baru – merambahnya tangan-tangan militer di dalam birokrasi – memang sektor birokrasi luput dari reformasi. Pemerintahan dan presiden silih berganti, tetapi birokrasinya itu-itu saja. Aparat birokrat naik dan turun, syukur-syukur merujuk pada jenjang karir dan prestasi, tetapi di dalam praktik lebih ditentukan oleh sistem nepotisme (pertemanan) untuk memudahkan kolusi yang mengarah ke tindak korupsi berjamaah.

Korupsi kolektif sangat sulit diungkap secara materiil oleh aparat hukum dan pengawasan, baik internal maupun eksternal, lantaran diselimuti oleh kolusi. Ujung-ujungnya banyak aparat hukum dan pengawas tergiur oleh uang suap untuk ikut berkolusi – kerja sama dalam konotasi negatif. Tak salah jika Kwik menggambarkan korupsi di Indonesia sudah sangat dalam, luas, dan mencakup banyak orang.

Para pegawai negeri sipil (PNS) yang cerdas dan idealis sekalipun akhirnya terjerat fenomena moral hazard (gangguan moral). Tak sedikit dari mereka yang lulusan perguruan tinggi terkemuka. Masalahnya, impian mereka semasa kuliah untuk memperoleh kehidupan enak setelah meraih sarjana, terbentur oleh kenyataan kecilnya gaji PNS. Tetapi untuk meraih impian tersebut, mereka mengejar posisi dan jabatan “basah” dengan segala cara, termasuk berdukun.

Kondisi inilah yang dicemaskan oleh Kwik yang pernah memimpin birokrasi di kementerian ekonomi dan Bappenas. Bahwa virus ganas korupsi telah dan sedang menggegoroti tubuh birokrasi pemerintahan, hukum, dan legislatif. Hampir tidak ada aparat birokrat yang tidak tertular virus ganas tersebut. Tak berlebihan jika mengibaratkan aksi korupsi dewasa ini dengan peribahasa: “Gugur satu tumbuh seribu.”

Jadi, bagaimanakah reformasi dilakukan di lingkungan birokrasi dimaksud? Harus ada sebuah konsep yang berulang kali lulus dari uji coba, sehingga nantinya dijadikan sistem untuk membangun birokrasi yang dikelola oleh para personil – paling tidak mulai dari eselon satu sampai empat – yang punya dedikasi dan idealisme. Konsep tersebut mesti dibahas, dikaji, dan dirumuskan oleh pihak-pihak yang kompeten, bukan hasil pemikiran satu golongan kepentingan atau seseorang yang sedang berkuasa.

Langkah pencegahan lebih baik daripada penindakan, sehingga KPK tidak terjebak pada stigma tebang pilih. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 35

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Khas

Berita Nasional

Berita Politik

Lentera

Berita Tokoh

Berita Ekonomi

Berita Humaniora

Berita Daerah

Berita Mancanegara

Berita Hukum

Berita Hankam

Lintas Tajuk

Lintas Media

Berita Olahraga

Berita Kesehatan

Berita Lingkungan

Berita Budaya

Berita Perempuan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini