
[OPINI] – Oleh Ch. Robin Simanullang SIB 24-08-1989: Sistem perekonomian Pancasila, Demokrasi Ekonomi, adalah sistem perekonomian yang semestinya kita anut sesuai konstitusi. Salah satu cirinya adalah ‘perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’. Dalam demokrasi ekonomi, sebagaimana ditegaskan dalam GBHN, harus dihindari ciri-ciri negatif, seperti, sistem free fight liberalism, sistem etatisme dan monopoli. Tiada keraguan kita akan keampuhan nilai dan sistem perkonomian Pancasila tersebut.
Namun, di pihak lain, bila kita lihat kecenderungan dan kenyataan tidak selalu menghindari ciri negatif itu. Hal ini mengundang dialog nasional yang sama pentingnya dengan dialog nasional tentang sistem politik demokrasi Pancasila. Sebab bila kecenderungan itu dibiarkan atau malah ‘dimanjakan’ maka keadilan ekonomi dikuatirkan akan semakin menjauh dari jangkauan.
Keadilan ekonomi sebagai bahagian dari keadilan sosial, perlu kita bicarakan, melihat beberapa kenyataan dan kecenderungan perkembangan perekonomian kita dewasa ini dalam prosesnya menuju lepas landas nanti. Sementara, Presiden Soeharto telah meminta agar pimpinan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memikirkan penjabaran lebih luas dan lengkap mengenai demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berdasarkan Pancasila itu.
Bahaya laten berpotensi mengancam, NKRI bisa tergelincir jatuh berantakan, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh kembali kepada landasan (dasar negara dan tujuan bernegara yang diamanatkan para bapak pendiri bangsa). Pemilu 2014 menjadi amat penting untuk memilih pemimpin yang menjadikan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar dan sumber segala kebijakannya mengendalikan negara.
Pembangunan nasional antara lain menganut asas adil dan merata. Dalam penjabarannya antara lain kita mengenal ‘delapan jalur pemerataan’ sebagai salah satu bagian dari strategi Trilogi Pembangunan. Dengan adanya program pemerataan ini sesungguhnya telah menunjukkan keinginan kita untuk mewujudkan keadilan ekonomi, pembagian pendapatan nasional yang lebih adil dan merata.
Pembagian pendapatan nasional yang lebih adil dan merata itu ingin kita kejar dengan berpacu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Pernyataan gampang (logika sederhana) tentang hal ini adalah bila pertumbuhan tidak ada, apa yang akan dibagi adil dan rata? Cukup jelas! Namun rupanya permasalahan tidak segampang itu. Pertumbuhan (peningkatan produksi) tidak otomatis memerangi kemiskinan dan memperpendek jarak kesenjangan. Maka masalah distribusi sama pentingnya dengan peningkatan produksi (pertumbuhan).
Ada pertanyaan menarik sehubungan dengan hal ini. Kapan saatnya kita membicarakan keadilan ekonomi atau pemerataan? Apakah sesudah kemajuan-kemajuan semakin berkembang atau saat keprihatinan masih melingkar? Pertanyaan ini mengundang kita untuk berpikir bahwa pemerataan, distribusi (keadilan ekonomi), tidak patut kita nomor duakan setelah pertumbuhan, peningkatan produksi.
Kecenderungan bisa kita amati, bahwa kesenjangan ekonomi masih tetap menjadi masalah yang punya potensi besar menyulut keresahan sosial yang tidak kita inginkan. Penyebabnya terletak pada distribusi hasil pertumbuhan ekonomi. Dan, masalahnya akan bertambah rumit bila bermunculan pula kelompok-kelompok yang makin mampu memeroleh dan menguasai ‘hak-hak’ kemudahan dan monopoli. Bila mekanisme ekonomi seperti ini dibiarkan berjalan dan semakin menggurita maka struktur ekonomi akan semakin terdorong (terjerumus) kurang adil.
Pada tahun 1981 pernah berlangsung diskusi tentang sistem ekonomi Pancasila, sistem ekonomi yang menyangkut upaya pewujudan keadilan sosial (keadilan ekonomi). Ternyata tidak mudah untuk membicarakan upaya pewujudan keadilan ekonomi itu. Sebab hal itu menuntut suatu perubahan. Sementara diskusi itu tidak bisa terbebas dari kepentingan-kepentingan yang sudah mapan pula. Lagi pula, persepsi tentang keadilan ekonomi itu tidak selalu sama. Sama rumitnya dengan dialog Utara-Selatan yang macet. Sulit dicapai persepsi yang sama karena setiap orang memandang masalahnya dari sudut status sosial masing-masing.
Tetapi yang jelas, setiap kali ada diskusi atau dialog tentang keadilan ekonomi, selalu dibicarakan bahwa sistem free fight liberalism, etatisme dan pemusatan ekonomi pada satu kelompok (monopoli) tidak sesuai dengan sistem perekonomian Pancasila. Hal mana juga dibicarakan dalam Rapat Kerja Pengusaha Golkar di Jakarta, belum lama ini.
Diskusi-diskusi seperti itu tentu saja bermanfaat daripada sama sekali tidak lagi menggubrisnya. Dan kiranya, para pengusaha besar (yang bernaung dalam Golkar tersebut) dapat menunjukkan kepeloporan dalam upaya mewujudkan keadilan ekonomi itu. Walaupun seperti dikemukakan Mendagri Rudini kepada peserta rapat kerja pengusaha Golkar tersebut, disadari bahwa untuk merealisasikan cita-cita demokrasi ekonomi itu akan dihadapkan kepada keadaan yang berlaku dalam kehidupan ekonomi yang selalu bersifat dinamis, karenanya sering timbul persoalan.
Apalagi kita masih dalam proses perkembangan dan pendewasaan. Termasuk masih dalam proses pendewasaan penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila. Maka bila kita di sana-sini masih melihat adanya kenyataan dan kesenderungan tak menghindari free fight liberalism, etatisme dan monopoli yang sangat merugikan rakyat, kita tidak baik bila dengan gampang merasa pesimis atau apatis.
Kita berkeyakinan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang digencarkan pemerintah dalam tahun-tahun terakhir ini bukan dimaksudkan untuk memberi peluang lebih luas kepada ciri-ciri negatif (neo-liberalism) yang harus dihindari dalam demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) itu. Maka kita berharap, kiranya ISEI, yang diminta Presiden memikirkan penjabaran lebih luas dan lebih lengkap mengenai demokrasi ekonomi itu segera dapat diwujudkan. Dengan demikian, kelak, akan semakin jelas, kecenderungan dan kenyataan perekonomian yang bagaimana yang harus kita jalankan (raih).
Penugasan Presiden kepada ISEI untuk menjabarkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila itu, menunjukkan adanya keseriusan dan kesungguhan pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi di negeri ini. Dalam hal mewujudkan keadilan ekonomi itu, memang, sebenarnya diperlukan keputusan-keputusan teknis sebagai kelanjutan pernyataan (keputusan) politik tersebut. Memang adanya pernyataan atau keputusan atau kemauan politik tersebut, telah memberi ruang pada implementasi demokrasi ekonomi (ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan) yang semestinya dijabarkan dalam keputusan (kebijakan) teknis.
Catatan Tambahan April 2013:
Sembilan tahun kemudian (1998), apa yang dikuatirkan sebagai akibat kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, memang benar punya potensi besar menyulut keresahan sosial yang tidak kita inginkan. Gerakan reformasi bergulir (dimotori mahasiswa) yang lalu ‘dikotori’ Kerusuhan Mei 1998, menuntut pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, demokratisasi politik maupun ekonomi. Presiden Soeharto mundur, era Orde Baru berakhir setelah 32 tahun berkuasa (1966-1998).
Lalu, dalam era reformasi, UUD 1945 diamandemen empat kali dalam dua tahun, diikuti beberapa UU turunannya yang tidak selalu sejalan dengan nilai dasar Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Demokratisasi politik berlangsung sedemikian rupa (demokrasi liberal), pemberantasan korupsi digencarkan KPK tetapi korupsi semakin merajalela, dan yang paling ironis demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila) semakin redup dilindas ekonomi liberal (neo-liberalism) sehingga kesenjangan ekonomi semakin melebar. Lima belas tahun reformasi (di bawah kepemimpinan empat Presiden yakni BJ Habibie 1 tahun lebih, KH Abdurrahman Wahid 2 tahun, Megawati Soekarnoputri 3 tahun, Susilo Bambang Yudhoyono 9-10 tahun, negara dikendalikan tanpa mengacu pada nilai-nilai dasar negara. Keadilan ekonomi pun semakin mutlak menjadi monopoli kapitalis. Maka, dari sudut pandang Pancasila (sudut pandang founding fathers), reformasi telah gagal total!
Bahaya laten berpotensi mengancam, NKRI bisa tergelincir jatuh berantakan, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh kembali kepada landasan (dasar negara dan tujuan bernegara yang diamanatkan para bapak pendiri bangsa). Pemilu 2014 menjadi amat penting untuk memilih pemimpin yang menjadikan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar dan sumber segala kebijakannya mengendalikan negara.
Ditulis di Jakarta, 22 Agustus 1989. Diterbitkan sebagai Tajuk Rencana di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan, Kamis 24 Agustus 1989. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Arsip TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA