Islam Wahabi

 
0
324
Islam Wahabi
Azyumardi Azra | TokohIndonesia.com

[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra | Islam Wahabi. Istilah yang belakangan ini sering dikaitkan sejumlah kalangan, tidak hanya dengan puritanisme, tapi juga radikalisme. Saya juga sering ditanya wartawan asing terutama tentang pengaruh Wahabisme (Wahabiyah) yang menurut asumsi mereka kian berkembang di Indonesia.

Terakhir sekali, dalam sebuah lokakarya di Bangkok pertengahan Januari 2007 lalu yang saya hadiri, Islam Wahabi dianggap bertanggung jawab atas peningkatan puritanisme dan radikalisme di kawasan Muslim Thailand Selatan. Menguatnya asumsi-asumsi semacam itu tidak urung lagi berkaitan banyak dengan kian banyaknya pemberitaan dan literatur yang umumnya bernada negatif terhadap Wahabiyah. Salah satunya yang paling akhir adalah buku karya Natana J. Delong-Bas, Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad, Oxford/Cairo: Oxford University Press & American University Press, 2005.

Buku ini dimulai dengan pernyataan, sejak pasca-11 September 2001 di Amerika Serikat, Wahabisme telah diidentifikasi banyak pemerintahan, analis, dan media sebagai Islamic threat yang mengancam peradaban Barat; Wahabisme menjadi sumber inspirasi bagi Usamah bin Ladin dan Alqaidah dalam jihad global melawan dunia Barat dan sekutunya.

Wahabisme juga digambarkan sebagai aliran pemikiran dan mazhab yang paling tidak toleran dalam Islam, yang berusaha dengan cara apa pun –termasuk kekerasan– untuk pengembangan dan penerapan ‘Islam murni’, yang mereka pandang sebagai Islam yang paling benar.

Wahabisme juga digambarkan sebagai aliran pemikiran dan mazhab yang paling tidak toleran dalam Islam, yang berusaha dengan cara apa pun –termasuk kekerasan– untuk pengembangan dan penerapan ‘Islam murni’, yang mereka pandang sebagai Islam yang paling benar.

Di tengah gambaran yang serba negatif itu, Wahabiyah merupakan paham atau aliran keagamaan yang dianut dan diterapkan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Pemerintah dan lembaga-lembaga Arab Saudi sering dianggap bertanggung jawab dalam penyebaran Wahabisme lewat pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi, organisasi, dan kelompok Muslim di berbagai wilayah dunia. Mereka juga membagi-bagikan Alquran dan literatur Islam, khususnya buku-buku karya Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1702/3-1791/2), Ibn Taymiyyah (1263-1328). Ibn ‘Abd al-Wahhab adalah pendiri aliran Wahabiyyah yang sejak abad ke-18 menguasai lanskap keagamaan di Arabia; sedangkan Ibn Taymiyyah terkenal sebagai ulama yang sangat menekankan pentingnya bagi kaum Muslimin untuk kembali kepada Islam yang ‘murni’ yang bersih dari bid’ah, khurafat, dan takhayul.

Meski di banyak kalangan Barat, Wahabiyah digambarkan secara negatif dan dipandang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan dan terorisme tertentu, pemerintah dan kalangan elite penguasa Arab Saudi memiliki hubungan erat dengan elite politik Amerika, khususnya dari Partai Republik. Banyak buku dan literatur tentang kedekatan keluarga kerajaan Saudi dengan keluarga Bush, sejak dari Presiden Bush Senior (George H) dan Presiden Bush Yunior (George W) yang menduduki kursi kepresidenan AS dalam dua periode terakhir. Begitu dekatnya kedua belah pihak ini, sehingga muncul sebutan, “House of Saud and House of Bush”.

Seberapa besar pengaruh Wahabiyyah di Dunia Islam secara keseluruhan pastilah tidak mudah dijawab. Meski pada pihak lain, kita bisa menyaksikan terus adanya kelompok-kelompok Muslim yang menyerukan kepada kaum Muslimin untuk kembali kepada Islam ‘murni’ yang belum tercampur dengan berbagai paham dan praktik lain, baik yang berasal dari kalangan Muslim sendiri maupun yang bersumber dari tradisi lokal. Tetapi jelas pula, sebagian besar kelompok Muslim seperti ini tidak mesti merupakan warga Wahabiyah.

Di kawasan Asia Tenggara, Wahabisme tidak pernah populer. Memang, ada gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang dengan kekerasan memaksa kaum Muslimin di wilayah tersebut meninggalkan paham dan praktik Islam yang tercampur dengan tradisi lokal, dan sebaliknya agar mereka menjalankan Islam ‘murni’. Meski gerakan Padri berhasil memperkuat elemen Islam dalam sistem sosial dan adat Minangkabau, Wahabisme tidak pernah menjadi aliran dominan di Sumatra Barat, apalagi di daerah-daerah lain di nusantara.

Ketika gerakan ‘pemurnian’ Islam menemukan momentumnya di nusantara sejak awal abad ke-20 berkat pengaruh tokoh semacam Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, namun Wahabisme tidaklah menjadi aliran dan paham yang dipegangi. Meski gerakan-gerakan pemurnian seperti itu pernah dituduh kalangan Muslim nusantara sebagai ‘Wahabiyah’, jelas mereka bukan penganut Wahabisme.

Dengan karakter Islam nusantara yang secara tradisional sangat dipengaruhi tasawuf dan tarekat, Wahabisme sulit mendapat pijakan yang kuat di Indonesia dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara. Bahkan, dalam banyak kalangan Muslim di kawasan ini, istilah ‘Wahabiyah’ atau ‘Wahabisme’ merupakan semacam ‘anathema’, sesuatu yang negatif dan tidak baik. Sebab itu, anggapan Wahabiyah kian kuat di Indonesia atau tempat-tempat lain di Asia Tenggara merupakan kekhawatiran berlebihan yang tidak perlu. Opini TokohIndonesia.com | rbh

Advertisement

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Penulis: Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah diterbitkan di Harian Republika, Resonansi 15 Februari 2007

Tokoh Terkait: Azyumardi Azra, | Kategori: Opini | Tags: Islam, Wahabi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini