
[OPINI] – RANCANGAN Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi sedang dalam proses pembahasan. Berbagai elemen bangsa telah dimintakan pendapat dan masuk- annya. Ada yang menyetujui, bah-kan mendesak agar RUU itu segera diundangkan. Tetapi, tidak kurang pula yang menolaknya. Bahkan di Pulau Bali diorganisir unjuk rasa besar menuntut dibatalkannya pembahasan RUU tersebut.
Baik yang mendukung maupun yang menolak, tentu dengan alasannya masing- masing. Di mata para pendukung, masyarakat kita sudah sedemikian merosot moralnya, sehingga perlu dilepaskan dengan mengundangkan RUU itu sesegera mungkin. Bagi yang menolak, tidak sesederhana itu penyelesaiannya, apalagi kalau tidak jelas benar apa yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi. Sesungguhnya, memang tidak mudah merumuskan secara persis dan meletakkan batasan-batasan sebagaimana dimaksud oleh RUU ter- sebut.
Istilah “pornografi” berasal dari dua patah kata Yunani: “pornos” dan “grafein”. Untuk kata kedua relatif mudah menemukan padanannya dalam berbagai bahasa, tidak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Kata itu berarti, “tulisan” atau “gambaran”.
Tetapi untuk kata “pornos” tidak terlalu mudah menerjemahkannya, apalagi kalau langsung diartikan secara positif atau negatif. Dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan ontuchtig, yang memang negatif, yang berarti sifat buruk, pelacuran dan pelepasan nafsu berahi. Dalam bahasa Inggris, dipakai istilah lascivious atau lewd.
Dalam Kamus Inggris- Indonesia susunan John M Echols dan Hassan Shadily, istilah lascivious diterjemahkan sebagai kata sifat dengan makna, “yang menimbulkan nafsu berahi”, “yang menerbitkan gairah”, sedangkan lewd dimaknakan sebagai cabul, kotor.
Alhasil, pornografi lalu berarti setiap tulisan atau gambar yang mengandung hal-hal bersifat erotis dan/ atau kecenderungan untuk membangkitkan perasaan- perasaan seksual atau syahwat pada setiap pembaca, dan lazimnya dipergunakan dalam pengertian yuridis. Istilah pornoaksi adalah murni “temuan” masyarakat Indonesia yang tidak dapat ditemukan dalam kamus mana pun. Karena demikian, istilah ini lebih lagi menimbulkan kerancuan di dalam memahaminya.
Dari penjelasan pendek ini, jelas bahwa RUU itu menyimpan sekian banyak persoalan apabila nanti jadi diundangkan.
Paling tidak, di dalam menafsirkan istilah-istilah yang tidak jelas, akan terbuka kemungkinan setiap orang menginterpretasikannya dengan akibat justru tidak tercapainya kepastian hukum.
***
Di samping berbagai persoalan pengistilahan yang tidak selalu jelas ini, mungkin ada baiknya kita menelaah dengan pikiran jernih motivasi diajukannya RUU ini. Ada kesan, seakan-akan akar segala persoalan yang menghantar bangsa Indonesia pada kemerosotan moral terletak pada seksualitas dan erotisme. Jadi kalau masalah ini diselesaikan, dengan sendirinya persoalan moral juga beres. Kalau pengamatan ini benar, maka agaknya kita terlampau menyederhanakan persoalan.
Sesungguhnya, anggapan seperti ini sudah pernah muncul di dalam sejarah. Dalam pandangan dikotomi filsafat Gnostik Yunani misalnya, seksualitas diletakkan pada hal-hal yang bersifat material, dan karena itu rendah. Maka kalau seseorang hendak mencapai derajat kekudusan yang tinggi, ia mesti menjauhkan diri dari seksualitas itu. Ia mesti mempertautkan diri dengan hal-hal yang bersifat spiritual.
Pandangan sempit ini, pernah juga mempengaruhi gereja. Belakangan, gereja mengoreksi pandangan itu. Seksualitas bukanlah sesuatu yang buruk, asal saja dipakai secara bertanggung jawab. Berkaitan dengan ini, maka hal-hal yang bersifat erotis pun tidak dengan sendirinya buruk. Bahkan erotisme dibutuhkan sebagai bagian di dalam kegairahan antar-anak manusia berlainan jenis menjalin hubungan. Erotisme adalah ekspresi cinta-kasih.
Dengan ini mau dikatakan, bahwa kemerosotan moral kita (kalau benar moral kita benar-benar sudah bobrok!) tidak bisa direduksi hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan perkelaminan dan erotisme. Bahkan, justru karena moral kita buruk, maka segala sesuatu dapat dinilai secara negatif.
Dengan demikian, kita bisa memahami kegelisahan- kegelisahan para seniman misalnya yang memahami tubuh perempuan bukan semata-mata-mata dari kacamata perkelaminan, tetapi sebagai sumber inspirasi guna menemukan kekuatan-kekuatan keindahan di dalam alam.
Dalam berbagai bahasa di negeri kita, kita pun menemukan berbagai kiasan-kiasan yang diambil dari keindahan-keindahan tubuh perempuan. Bahkan lingga-yoni yang oleh nenek-moyang kita dipakai sebagai simbol kekuatan yang memancarkan energi bagi keberlangsungan hidup, tidak bisa dianggap sebagai karya cabul. Ialah suatu penggambaran sangat jelas mengenai potensi-potensi yang ada di dalam alam, termasuk manusia yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan segala sesuatu.
*
Tetapi bukankah benar bahwa ada karya-karya yang mengarah kepada percabulan? Boleh jadi, kendati -sekali lagi- unsur subyektivitas di dalam menilai, tidak dapat dihindarkan. Baiklah, kita menganggap saja, bahwa majalah-majalah yang dijual di simpang-simpang jalan adalah karya cabul. Pertanyaannya adalah, sampai seberapa jauhkah wewenang negara mengawasi warga negaranya? Apakah negara juga berwenang menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh dibaca oleh warga-negara? Tidakkah dengan demikian, kita mendorong negara menjadi sebuah negara totaliter?
Tujuan reformasi kita adalah terwujudnya sebuah civil-society di negeri kita. Salah satu cirinya adalah kedewasaan warga negara di dalam menyikapi berbagai persoalan. Diterapkan kepada hal-hal yang bersifat pornografis, maka adalah tugas warga negara untuk menyikapinya secara dewasa.
Ini berarti, bahwa setiap warga-negara, termasuk berbagai lembaga keagamaan mempunyai kewajiban besar mempersiapkan umatnya masing-masing memasuki berbagai perkembangan yang, dalam banyak hal tidak terduga sebelumnya.
Setiap warga negara juga mesti secara dewasa menentukan, menghabiskan waktu dengan melihat hal-hal yang pornografis, atau justru memakai waktu untuk hal-hal yang lebih produktif. Andaikata sekarang negara berhasil mencegah karya-karya pornografis melalui tulisan-tulisan, bagaimana dengan yang disiarkan melalui internet?
Apakah negara akan menerapkan sistem saringan? Kembali lagi, kita mendorong negara untuk menjadi totaliter. Maka dalam hal ini pendidikan anak amat-sangat diperlukan. Pendidikan itu mesti dimulai di dalam rumah tangga masing-masing, bukan dengan sekadar melarang, tetapi dengan memperlihatkan berbagai aspek dari kehidupan.Negeri kita sedang menghadapi berbagai persoalan akut, seperti kemiskinan yang tidak habis-habisnya diberantas, KKN yang bandel, ketidakadilan di mana-mana, jurang antara si kaya dan si miskin yang makin melebar, dan seterusnya. Semua yang disebutkan ini adalah kejahatan moral yang tidak dapat diabaikan. Malah kita akan berdosa kepada Tuhan, dan bersalah kepada sesama manusia apabila kita mengabaikannya. * Penulis adalah Ketua Umum PGI (Suara Pembaruan, 16/03/2006)