
[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Daoed Joesoef | Di zaman edan sekarang, praktik Parpol kita malah cenderung mengembangkan jiwa pengkhianatan di kalangan para politikus. Mereka adalah orang-orang yang seenaknya pindah dari satu partai ke lain partai bagai bajing loncat.
Setelah angkatan perang Italia berhasil menduduki Etiopia pada 1935, tokoh- tokoh negeri Afrika Timur itu— yang telah membantu kemenangan—diundang Benito Mussolini naik ke pesawat terbang. Mereka menerima undangan itu karena menganggapnya sebagai bukti penghargaan atas jasa mereka bagi kejayaan Italia.
Setelah terbang di atas Laut Merah, Mussolini memerintahkan supaya semua tokoh Etiopia itu dibuang ke luar pesawat tanpa parasut. Atas pertanyaan para jenderalnya, mengapa Generalisimo berbuat demikian, sang diktator fasis menjawab, “Kepada negerinya sendiri mereka berkhianat, apalagi kelak kepada Italia. Sekali orang berjiwa pengkhianat, dia akan terus menjadi pengkhianat seumur hidupnya.”
Fenomena Bajing Loncat
Di zaman edan sekarang, praktik parpol kita malah cenderung mengembangkan jiwa pengkhianatan di kalangan para politikus. Mereka adalah orang-orang yang seenaknya pindah dari satu partai ke lain partai bagai bajing loncat.
Mereka layak dijuluki “bajingan politik” karena pindah partai selaku koruptor dan semata-mata ingin mendapatkan “perlindungan” dari partai yang sedang berkuasa. Inilah politikus yang berjiwa pengkhianat. Dia tidak segan-segan mengkhianati partai awalnya, yang telah mengusungnya begitu rupa hingga berhasil menduduki pos-pos penting dan “basah” di jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif.Mereka layak dijuluki “bajingan politik” karena pindah partai selaku koruptor dan semata-mata ingin mendapatkan “perlindungan” dari partai yang sedang berkuasa. Inilah politikus yang berjiwa pengkhianat. Dia tidak segan-segan mengkhianati partai awalnya, yang telah mengusungnya begitu rupa hingga berhasil menduduki pos-pos penting dan “basah” di jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Parpol yang dengan tangan terbuka menerima pengkhianat berkocek tebal tersebut jelas menjadi bungker pelindung koruptor. Akibatnya, negara jadi berpembawaan kleptokrasi, setelah sebelumnya oleh pimpinan parpol serakah demokrasi ditransformasi jadi aristokrasi sambil mulutnya terus ngoceh tentang Pancasila.
Dalam melindungi anggotanya yang korup dari jeratan hukum, para petinggi parpol selalu mengetengahkan asas “praduga tak bersalah”. Padahal, demi kesempurnaannya diktum yuridis ini perlu dilengkapi asas “ketiadaan bukti bukanlah bukti tidak ada kejahatan”—the absence of evidence is no evidence of the absence of crime. Asas terakhir ini seharusnya jadi pegangan kerja lembaga dan pejabat penegak hukum, seperti KPK dan lain-lain.
Dalam membela teman separtai yang korup, para politikus tak malu-malu menutupi kebohongan dengan kebohongan. Dalam perdebatan, dengan lihai mereka memakai suatu “rough legal quibbling”, yaitu if the law is against you, stress the facts; if the facts are against you, stress the law; if both are against you, just yell like hell! Begitulah sikap pokrol bambu yang mereka pertontonkan dengan mata terbeliak dan senyum tanpa malu di tayangan Lawyer’s Club.
Praktik bajing loncat dalam perpolitikan kita dipermudah oleh kebutuhan uang parpol untuk bisa tampil “wah” di pentas politik nasional. Juga kebutuhan politikus untuk memukau massa dan terpilih di arena Pemilu/Pilpres. Uang yang pada mulanya adalah ciptaan manusia di ranah politik memperbudak manusia melalui perpolitikan edan-edanan. Politik tidak lagi mematuhi etika dan moralitas demokrasi, tetapi tunduk pada uang. Berhubung politik menentukan jalannya kehidupan ekonomi dan sosial serta kultural, maka “uang menjadi dewa dunia”, seperti yang diramalkan filsuf Goethe pada abad XVIII.
Uang Jadi Penentu
Uang berkaitan erat dengan kegiatan bisnis. Uang menumpuk di tangan pebisnis, yang tidak jarang berfungsi resmi sebagai pejabat negara dan menjadi faktor penentu kedudukan ketua umum Parpol. Pebisnis yang sukses dengan sadar dan sengaja dipakai untuk mencitrakannya sebagai orang yang pantas menjadi presiden republik ini. Artinya, di NKRI ini entitas kolektif politik—yang katanya merupakan salah satu pilar berbangsa—uanglah yang menobatkan presidennya. Uang menjadi satu unsur penentu baru dalam pemilihan pilpres, menyaingi yang sudah ada selama ini, yaitu “jejak kemiliteran” dan “keturunan pendiri republik.
Berhadapan dengan ketiga faktor penentu ini, “the Philosopher-King” dari Republik Plato semakin tidak berdaya. Ia terjerembab loyo di pojok arena pertarungan Pilpres, disoraki oleh massa rakyat yang tidak mengerti duduk perkara karena selama ini dibiarkan bodoh agar mudah dieksploitasi oleh penguasa. Negara memang perlu dikelola sebaik-baiknya. Untuk itu boleh saja diterapkan ilmu manajemen bisnis termodern. Namun bukan berarti entitas negara otomatis boleh ditransformasi menjadi suatu entitas bisnis, suatu lahan investasi kekuasaan dan kekayaan yang pantas diwariskan kepada anak cucu pribadi presiden. Jabatan ketua umum Parpol secara etis bukan merupakan rintisan jalan ke jabatan presiden.
Jabatan itu mulia dan terhormat di alam demokrasi karena tugasnya membina kader-kader, kemudian memilih yang terbaik di antara mereka menjadi Capres yang pantas ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih dalam Pilpres. Jadi bukan mengedril kader-kadernya untuk mengusung dia sendiri atau anggota keluarganya menjadi Capres.
Dia sendiri sebagai pemimpin partai harus terus loyal kepada partai. Kalau dia sendiri mencalonkan diri menjadi presiden dan terpilih, dia harus loyal kepada negara, bukan lagi kepada partai. Ketika Nehru dilantik menjadi PM India, dia menegaskan dan sering dikutip oleh Bung Karno, “When my loyality to my country begins, my loyality to my party ends.
Anggota-anggota parpol bisa saja berbohong selagi berusaha menutup-nutupi kesalahan rekan separtai atau dalam melindungi koruptor-penyumbang dana bagi kas partai. Namun, Abraham Lincoln pernah mengingatkan, “You can cheat part of the people for part of the time; you can cheat the whole people for part of the time; but you cannot cheat the whole people for the whole time” (Anda bisa menipu sebagian rakyat selama beberapa waktu, Anda bisa menipu seluruh rakyat selama beberapa waktu, tetapi Anda tak bisa menipu seluruh rakyat untuk selama-lamanya). Celakanya, ketika kebohongan itu terbongkar, Anda mungkin sudah tak ada lagi, tinggal anak cucu Anda yang mewarisi gelar “keturunan pembohong besar”. Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Prof. Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1978-1983, Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne, Perancis. Pernah diterbitkan di Harian Kompas, Sabtu, 02 Juli 2011.