
[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Hui-mui sebaik apa pun penyusunannya, sepanjang dilakukan manusia, tetap saja hilang kesempurnaan dan nilai kemanusiaannya ketika dijalankan dalam praktik- Hal ini sudah tentu di luar jangkauan persepsi dan pemikiran para pembentuk undang-undang dan para ahli teori hukum yang tak pernah menyelami realitas hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum dalam realitas hanya ada dalam genggaman kekuasaan manusia sehingga karakter hukum bisa berubah-ubah, bergantung pada karakter manusia yang menggenggam dan menjalankannya. Janganlah mencari cita dan idealisme hukum di dalam kenyataan karena langkah seperti itu akan sia-sia belaka dan berujung kekecewaan karena cita hukum dan idealisme hukum yang terdapat dalam textbook layaknya garis pinggir di lapangan sepak bola; wasit yang menentukan tertib-tidaknya permainan.
Cita hukum, kepastian hukum, dan keadilan hanya ilusi dan mimpi indah para akademisi. Jika hendak menemukan apa dan bagaimana hukum itu dilaksanakan, temukanlah di dalam kehidupan rumah tahanan {detention) dan di dalam kehidupan penjara {prisons) dan di dalam proses persidangan pengadilan. Pada proses tersebutlah dapat dirasakan denyut nadi hukum; tidak akan ditemukan dan dirasakan di dalam proses perdebatan di Senayan.
Hukum dalam realitas Indonesia kira-kira cocok dengan kata-kata Hobbes, “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Mereka saling membinasakan.” {homo homini lupus, bellum omnium contra omnes). Dalam masyarakat modern, kata-kata Hobbes ini dipraktikkan melalui hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Hukum dalam realitas sangat jauh dari cita kepastian hukum dan keadilan.
Pembangunan hukum bukan hanya melahirkan undang-undang (ITU) sebanyak-banyaknya (kuantitas), tetapi juga seharusnya memasukkan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab di dalam Pancasila sehingga untuk itu diperlukan manusia pemegang amanah penegakan hukum yang berkarakter dan bermoral Pancasila. Pembangunan hukum adalah pembangunan nilai-nilai kepastian hukum dan keadilan serta nilai kemanfaatannya bagi kehidupan manusia. Pembangunan hukum dan penegakannya bukan sekadar mencapai target memasukkan sebanyak-banyaknya penjahat ke dalam bui, melainkan juga harus dipertimbangkan dan dikritisi bagaimana penjahat-penjahat ini diperlakukan berdasarkan hukum yang berlaku sampai memperoleh putusan pengadilan yang tetap.
ROMLI ATMASASMITA: “Kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakannya karakter dan moral para pemegang amanah penegakan hukum.”
Kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakannya karakter dan moral para pemegang amanah penegakan hukum. Sesungguhnya semakin banyak perkara yang masuk dan diputus pengadilan serta semakin banyak manusia yang dimasukkan ke bui, itu suatu pertanda bahwa pembangunan hukum dan penegakan hukum itu telah mengalami kegagalan, bukan harus dinilai dan ditafsirkan sebagai sukses. Sukses dalam pembangunan dan penegakan hukum adalah jika perkembangan kejahatan semakin menurun dan mereka yang dibui semakin berkurang sehingga merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat telah tertib dan aman.
Prinsip peradilan, yakni cepat, singkat, dan biaya murah, hanyalah slogan belaka karena dalam realitas justru sebaliknya, dan keadaan ini disebabkan “kekeliruan” pemikir dan pembentuk UU, yang tidak mempertimbangkan bahwa subjek dan sekaligus objek penegakan hukum adalah manusia dengan segala kefitrahannya. Sebaliknya, pembentuk UU bahkan telah menetapkan jumlah masa penahanan mencapai 400 hari sampai pada tingkat kasasi di MA; belum lagi pemeriksaan PK yang tidak ada batas waktunya di dalam KUHAP. Kita bisa bayangkan seseorang dalam tahanan, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai dengan 120 hari di tingkat penyidikan; 60 hari di tingkat penuntutan; 60 hari di tingkat pengadilan negeri, dan seterusnya sampai di MA. Bayangkan kebebasan yang dibatasi selama 24 jam sehari sering tanpa kepastian hukum kapan akan diperiksa!
Diskresi penyidik sangat luas dan tidak terbatas dalam menjalankan ketentuan penangkapan dan penahanan. Perpanjangan masa penahanan dalam praktiknya seperti “ban berjalan” Seorang tahanan diperlakukan sebagai “komoditas” tanpa nyawa. Batasan antara ditahan dan tidak ditahan sering tidak jelas dan terkadang hanya kekuasaan, uang, dan nepousmelah yang mampu membatasi atau menghentikan diskresi tersebut. Sekalipun secara yuridisi normatif tahanan dan hukuman itu berbeda, dalam realitas hukum, keduanya tidak berbeda; bahkan di dalam lingkungan para tahanan dan penegak hukum, dikenal pemeo “tahanan merupakan panjar hukuman” Persoalannya, bagaimanakah jika tahanan itu kemudian dibebaskan oleh pengadilan?
Dari sisi proses stigmatisasi, tidak ada perbedaan makna antara tahanan dan hukuman sekalipun secara yuridis normatif mereka dapat dibedakan. Dampak stigmatisasi sosial sebagai “penjahat” atau “koruptor” telah melekat sejak seseorang ditahan sampai dengan duduk sebagai terdakwa di sidang pengadilan dan diputus pengadilan, bahkan setelah bebas dari hukuman. Masyarakat, bahkan kawan terdekat, sering melihat seseorang yang ditahan dan dihukum sebagai berpenyakit kusta; tidak ada yang mau mendekat atau menyapa.
Realitas hukum inilah yang mendorong kita semua bahwa sebaik-baik menahan dan menghukum seseorang, lebih baik kita dapat mencegah seseorang melakukan kejahatan. Sebaik filosofi dan perlindungan hukum di dalam konsep dan aturan, tidak lebih baik lagi jika kita melihat dan mengamati kenyataan bagaimana pemegang amanah penegakan hukum sering memberlakukan dan mempermainkan hukum atas dasar kepentingan pribadi, kelompok, atau kekuasaan; terlupa mereka terhadap sisi kemanusiaan yang adil dan berada di dalam Pancasila.
Di dalam negara demokrasi, seharusnya masalah perlakuan terhadap tahanan dan di penjara dijadikan ukuran peradaban suatu bangsa, bukan dijadikan ukuran keberhasilan untuk mempertahankan dan memelihara citra penegakan hukum; bahkan justru menambah beban anggaran negara dengan banyaknya orang dijebloskan ke dalam tahanan dan penjara. Opini TokohIndonesia.com
Penulis adalah Guru Besar Universitas Padjajaran, Bandung