
[WAWANCARA] – Dia tak jemu-jemu memajukan jamu di forum nasional dan internasional. Sebagai cucu Sri Susuhunan Pakoe Boewono X Keraton Surakarta kehidupan BRAy Mooryati Soedibyo sangat erat ke segala hal yang berkaitan dengan kecantikan, jamu tradisional, dan lingkungan keraton.
Pengetahuannya di bidang itu tak diragukan lagi. Maklum, sejak usia tiga tahun ia sudah tinggal menetap di Keraton Surakarta, yang dikenal sebagai sumber kebudayaan Jawa. Di keraton, Mooryati akrab dipanggil Ibu Moor saja, memperoleh pendidikan tradisional yang sangat menekankan tata krama, seni tari klasik, kerawitan, membatik, ngadi saliro ngadi busono, mengenal tumbuh-tumbuhan berkhasiat, meramu jamu dan kosmetika tradisional dari bahan alami, bahasa sastra Jawa, tembang dengan langgam mocopat, aksara Jawa Kuno, dan bidang seni lainnya.
Sejak belia ia sudah hobi minum jamu. Persis sejak tahun 1973 hobi itu dikembangkannya menjadi ladang usaha. Ramuan jamu resep Keraton Surakarta yang semula diberikan kepada teman-temannya, dikemasnya menjadi bisnis. Dalam perkembangan selanjutnya produk-produk jamunya terdiri 800 item yang bisa ditemukan di lebih 20 negara. Mulai dari produk untuk balita, umum, super, dan premium, dari produk untuk orang tua hingga remaja puteri.
Berikut petikan wawancara BRAy Mooryati Soedibyo dengan wartawan TokohIndonesia.Com, pada Selasa, 7 September 2004 di gedungnya yang megah Mustika Ratu Center, Pancoran, Jakarta Selatan.
Anda dikenal sebagai tokoh utama penggali, pejuang, pemrakarsa, sekaligus pelaku industri jamu terkemuka. Bagaimana perjalanan hidup Ibu bersama jamu yang dikembangkan oleh Mustika Ratu?
Saya, menggali tradisi nenek moyang kita yang sudah hampir terpendam dan sudah hampir dilupakan masyarakat. Tradisi perawatan kesehatan dan kecantikan sesungguhnya sudah berkembang dengan baik dan menjadi budaya yang benar-benar dipelihara oleh nenek moyang kita sejak ratusan tahun lalu, hingga munculnya pengobatan modern di tanah air. Tentu, tidak mudah mengembangkan budaya yang sudah hampir dilupakan masyarakatnya.
Itulah makanya, saya harus memulai usaha saya dari kecil, dari industri rumahan atau home industry yang sangat sederhana, yang kemudian berkembang secara alamiah menjadi perusahaan yang semakin besar. Kini, setelah hampir 30 tahun mengembangkan jamu, PT Mustika Ratu sudah berkembang menjadi suatu perusahaan besar berbasis industri, bahkan telah menjadi perusahaan yang sudah go public atau menjual sahamnya kepada masyarakat.
Mengapa jamu sempat terpendam dan tidak menarik digunakan masyarakat?
{pub}
{/pub}
{reg}Dulu, jamu-jamu yang secara intensif digunakan nenek moyang kita, itu mulai ditinggalkan masyarakat seiring dengan masuknya obat-obatan hasil produksi perusahaan farmasi ke Indonesia. Di sinilah, jamu mulai tersisihkan dan dilupakan. Masyarakat tidak lagi memakai jamu dengan semestinya. Demikian pula dengan ahli pengobatan tradisionil, yang selama ini melayani masyarakat, mulai ditinggalkan.
Ketika para dokter yang sudah mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran mulai eksis di masyarakat, maka, para pengobat alternatif pun semakin kehilangan perannya. Namun sangat disyukuri, sebagian besar rakyat kecil masih tetap setia memelihara warisan budaya nenek moyang kita, termasuk dalam menggunakan jamu. Sehingga masih tetap berakar dalam kehidupan mereka, walaupun pada satu sisi hal itu didorong karena obat-obatan hasil farmasi yang relatif mahal.
Apakah itu sebab, selama masa krisis ekonomi yang menurunkan daya beli masyarakat jamu kembali menjadi eksis dalam masyarakat?
Oh, ya…. Setelah krisis ekonomi menimpa Indonesia, penggunaan jamu dalam masyarakat langsung mendongkrak peningkatan hidup para pengusaha jamu. Karena masyarakat tidak mampu membeli obat-obatan hasil produk farmasi, maka mereka berusaha mengkonsumsi jamu-jamu sebagai wujud dari paradigma sehat. Paradigma sehat, maksudnya, agar jangan sampai menderita sakit. Sebab kalau sakit, pada saat itu biayanya akan menjadi sangat mahal. Dengan demikian, sebelum sakit dirawat dengan obat-obatan tradisional dan jamu-jamuan. Bersambung hp-tsl
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Perintis Industrialisasi Jamu
Sebagai perintis industrialisasi jamu, apa yang melatari visi Ibu mengembangkan jamu serta merealisasikannya sehingga Ibu dikenal sebagai penggali, pejuang, pemrakarsa sekaligus pelaku industri jamu?
Saya tidak hanya merintis pembangunan jamu-jamu dalam bentuk yang sophisticated. Tetapi, mengembangkan produk-produk yang lebih modern melalui proses yang canggih. Misalnya beras kencur, gula asam, jamu kunir asam, dan segala macam, itu yang saya awetkan.
Demikian juga dengan freshdrink, atau minuman segar yang dapat dikonsumsi secara instant, langsung, cepat, awet, dan tanpa pengawet. Menurut saya, kemasan seperti itu merupakan jawaban dari kebutuhan (demand) masyarakat karena mereka mau mengkonsumsi jamu yang siap dikonsumsi.
Sebagai sebuah industri bagaimana Ibu melihat keberlanjutan usaha industri jamu Indonesia di masa depan?
Industri jamu memiliki dukungan yang sangat kuat dari alam Indonesia, berupa kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan yang sangat berlimpah dan tumbuh suburnya di Indonesia.
Apapun yang ditanam, jika kita ingin mengembangkannya, maka relatif mudah karena didukung dengan tanah yang sangat subur. Namun sebagai sebuah industri, produk jamu hanya akan bertahan jika didukung dengan permintaan dari konsumen. Jika tidak ada pembeli jamu, tentu saja industri itu tidak akan berkembang.
Demikian juga dengan rakyat, dalam hal ini petani, juga tidak akan mendapat pekerjaan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil kalau tanaman yang digunakan sebagai bahan dasar jamu juga berpotensi punah. Tentu masyarakat petani akan berpikir berkali-kali untuk menanam kencur, kunyit, temu lawak, kalau tidak ada yang membeli. Dengan kata lain, siklus perdagangan harus berlangsung secara ideal. Dimana ada permintaan (demand) harus ada penawaran (supply). Kalau demand dan supply tidak seimbang maka akan mengakibatkan munculnya kelangkaan pasokan kalau demand tinggi, atau sebaliknya mengakibatkan oversupply.
Keberhasilan saya, saya tidak hanya berhasil merintis mengembangkan jamu dalam produk yang sophisticated (canggih). Karena, saya juga memakai ekstrak. Kalau dulu jamu itu direbus 5 gelas, menjadi 1 gelas. Sekarang, siapa yang sempat memeras begitu. Maka kemudian saya membuatnya ekstrak. Saya cari mesin Ultra High Treatmen (UHT) untuk mengawetkan.
Beras kencur misalnya, supaya tidak hanya tahan dua hari tapi dua tahun. Tidak usah 5 gelas menjadi 1 gelas, tapi sesudah di ekstrak, dari 100 kg menjadi 10 kg, hingga dipil. Pil sendiri tidak usah 10, minumnya ngggak usah segelas atau secangkir, tapi cukup satu pil karena sudah diekstrak dari 100 kg menjadi 10 kg. Bersambung hp-tsl
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Inovasi Sesuai Kemajuan Zaman
Itu, adalah salah satu inovasi untuk mengikuti kemauan masyarakat yang sudah modern dan serba praktis, tidak seperti jaman nenek moyang kita dahulu?
Sekarang kita juga harus mengikuti globalisasi. Yang namanya ekspor adalah perdagangan global. Akan ada entry barrier ke negara lain, batasan-batasan untuk masuk. Nanti diciptakan kesepakatan-kesepakatan seperti ASEAN, AFTA, WTO, dan lainnya.
Kita mau tidak mau harus mengikuti, dan kita tidak bisa ekspor kalau tidak mengikuti requirement dari sana. Misalnya, kita harus ada GNP (Goodman Newfactoring Practicied). Kita tidak boleh mengekspor ke negara lain kalau tidak punya sertifikat GNP.
Maka pemerintah harus memberikan, memudahkan, atau membimbing. Memang mahal membimbing pengusaha-pengusah kecil untuk mempunyai sertifikat GNP. Kalau dia tidak bisa bayar karena mungkin juga membutuhkan tempat yang luas. Atau ada peraturan-peraturan yang berlaku dari Departemen Kesehatan, misalnya apakah ada aturan dindingnya harus dicat, harus marmer, atau yang lainnya. Pokoknya peraturan-peraturan standar itu.
Mestinya, khusus kepada sekelompok pengusaha-pengusaha kecil diberikan satu sertifikat untuk memenuhi persyaratan demikian?
Terus sekarang harus ada apoteker. Tidak bisa bayar apoteker, karena paling tidak harus ada satu juta rupiah. Perusahaan kecil mana bisa bayar satu juta buat seorang apoteker.
Saya, bukan Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu lagi, tapi sebagai penasehatnya karena saya sudah lima kali dipilih jadi ketua. Dan saya tidak mau memonopoli. Pada Munas, saya serahkan, sekarang saya tidak bersedia lagi. Kalau tidak, mau dipilih terus. Selanjutnya, Kadin memberi kesempatan pikiran-pikiran baru pada anak-anak muda.
Nah mengenai apoteker tadi, itu sudah pernah kita laporkan kepada Departemen Kesehatan supaya satu Apoteker untuk lima perusahaan. Ini dilakukan untuk mendapatkan ijin GNP itu tadi, dimana harus ada Apoteker sebagai alah satu persyaratannya. Sebab persyaratan itu sendiri banyak sekali.
Jadi, mereka juga sudah bisa ekspor, kalau yang sudah mampu, mempunyai kualitas yang bagus, dididik, dibina. Kalau nggak dibina dan dididik, hanya jalan sendiri, ya… jalannya bagaimanalah nanti. Namanya juga bisnis, kalau nggak dibikin pasarnya…. Pemerintah itu bisa membuat pasar.
Membuat pasar, bukan hanya mempromosikan, atau mengeluarkan iklan saja. Tetapi dengan memberikan bimbingan bagaimana memproduksi yang bagus, mendidik yang baik apakah sistemnya atau kualitasnya, khasiatnya, memilih bahan bakunya, standarnya. Kalau itu dibina, tentu saya rasa bisa maju karena meskipun krismon, ini jamu pertumbuhannya bisa naik 20%. Malah lebih dari situ juga bisa. Kalau ekspor lebih bisa, sampai 100% bisa.
Jamu saya, itu di luar negeri saya ekspor dalam masa krismon, malah jadi naik menjadi 100%. Untung kalau dollar naik. Kalau rupiahnya melemah, kan dollarnya naik. Misalnya kemarin sempat Rp 10.000/$1, sekarang sudah Rp. 8.000, pendapatan saya malah turun. Maka, apakah saya mengharapkan rupiah melemah, nggak juga. Tapi, seharusnya pemerintah bikin pasar, dibantu, begitu.
Saya mikirnya bukan hanya untuk…. tapi juga perusahaan-perusahaan kecil. Karena kita berpenduduk 220 juta, bersaingnya nggak habis kok, kita dapat 3 juta orang saja, duitnya sudah banyak kok. Pasarnya banyak. Kita tidak takut saingan, kok.
Yang penting, orangnya harus dididik supaya menjadi senang dengan perawatan kesehatan, dengan alat-alat yang ada sesuai dengan tradisi Indonesia sendiri yaitu jamu. Karena, Malaysia saja sudah meniru membuat jamu.
Di Eropa kabarnya juga sudah demikian, ya?
Ya, Eropa itu kan tradisionalnya yaitu… Suplemen, King…. Di Amerika juga ada, seperti Herbal dan lainnya. Kalau di Jepang namanya Sun Corella. Dari Cina juga perdagangannya besar sekali. Jadi, kita harus meniru. Bersambung hp-tsl
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Kesempatan Indonesia Mencari Pasar
Sekarang sudah jaman serba industri dan jamu semakin berkembang di seluruh dunia seperti yang Ibu sebutkan. Bukankah ini kesempatan Indonesia mencari pasar, misalnya ke Afrika?
Itu, sudah dilakukan sendiri-sendiri. Mereka itu, kerja keras lho, menjual jamu ini. Tapi di kita itu belum ada seperti dorongan, dukungan di negara Cina.
Di Cina itu, dari nanamnya itu pemerintah memberikan lahan untuk tanam, kemudian bibit diteliti, meneliti khasiatnya dari bahan-bahan yang ada di dalam tumbuhan obat itu, kemudian juga boleh dipakai oleh pengusaha-pengusaha. Ada pengusaha pemerintah, ada pengusaha yang swasta. Kalau ada khasiatnya, mereka bisa pakai, ndak usah mereka bayar sendiri. Jadi ada fasilitas pemerintah karena itu asetnya bangsa.
Kemudian masuk ke hospital, dokter-dokternya itu pegawi negeri, ada namanya dokter tradisional ada juga dokter modern. Mereka bekerja sama erat sekali, karena di universitas China itu ada universitas untuk obat tradisional, ada unversitas untuk obat modern. Itu dua-duanya bisa saling mengisi.
Di Indonesia hal demikian belum terjadi, menurut Ibu?
Ya, belum ada. Sekolahan saja, yang Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) ajak kerja sama untuk membuka satu pendidikan untuk ahli jamu, baru ada dengan Universitas Gajah Mada, Universitas Tri Sakti, dan satu lagi dengan Universitas Parahyangan.
Kita itu pengusaha, bukan scientis. Kalau ilmunya itu tidak dilestarikan, yaitu khasiatnya ini apa, ramuan ini dengan ini lebih cocok ini, kalau ini jangan dicampur dengan ini. Dari semua bidang yang memiliki ilmu, ya, dokter yang ajarkan, ahli-ahli jamu yang mengajarkan, kemudian ahli farmasi juga mengajarkan, orang-orang ini ahli jamu. Itu, sudah ada di Gajah Mada untuk program D-3. Nanti lama-lama bisa jadi S-1. Itu juga supaya pendidikan dokter, pendidikan farmasi, juga mendapatkan pendidikan khasiat obat-obatan tradisional Indonesia itu sendiri.
Pemerintah pernah merencanakan memasukkan obat-obat ramuan tradisional (jamu) ke rumah sakit, bagaimana kelanjutannya?
Itu, kan baru rencana. Keinginan dari GP Jamu, karena pengusaha-pengusaha jamu ini sudah lama, pada waktu saya masih memegang Ketua Umum GP Jamu sudah berusaha melakukan pendekatan dengan dokter, pendekatan dengan rumah sakit agar jamu di pakai. Tapi, karena dokter itu dididik untuk menggunakan obat-obatan yang sudah melalui penelitian, hanya bisa memakai obat-obatan yang sudah mendapatkan sertifikat-sertifikat Clinical Trial (uji klinik), itu baru boleh. Dia itu memang mendapatkan pendidikan obat-obatan modern.
Ada obat-obatan lain, apakah dari Cina atau India, yang namanya Iyurveda atau dari Indonesia yang namanya Jamu, tapi harus melalui clinical trial. Itu bisa dimengerti. Tapi dalam hal ini, tentunya, pemerintah juga bisa mendorong bagaimana caranya mempercepat hal ini. Sebab, di Cina dan di India itu sudah berlaku. Kalau di India itu, lulusan sekolahnya namanya ‘Hakin’.
Menurut Ibu, yang sudah melakukan banyak hubungan dengan Pemerintah, mengapa kita begitu lambat mengadaptasi kemajuan seperti di Cina dan India?
Mungkin karena budget yang diberikan kepada Departemen Kesehatan itu tidak diarahkan pada obat tradisional. Tapi, diarahkan pada obat farmasi, obat modern, rumah sakit, puskesmas, yang dananya harus generik, yang murah kepada rakyat kecil. Itu bagus, tapi jamunya juga harus dikembangkan.
Disamping obat modern hasil farmasi, obat tradisional (jamu) bisa membantu si sakit agar bisa lebih cepat sembuh. Tidak salah kalau pemerintah membentuk sistem pemberian obat dengan racikan ganda, satu dari obat hasil farmasi dan satu lagi racikan jamu. Itu yang diinginkan GP Jamu.
Secara medis, hal demikian tidak salah bukan?
Tentu, tidak menyalahi. Yang penting, harus melalui penelitian. Pemeritah dapat melakukan penelitian secara cepat dan murah, dan tidak perlu berbentuk resep. Jamu itu kan formula. Ramuannya terdiri dari 15 atau 16 ramuan yang dijadikan menjadi satu. Tetapi untuk memformulasi 15, atau 16 ramuan menjadi satu akan relatif lebih lama dan mahal. Tetapi, ramuan dari bahan tunggal pun dapat digunakan untuk membantu pasien.
Misalnya, dari bahan baku (raw material) kunyit dapat mengklaim khasiat sebagai penyembuh penyakit mulas. Departemen Kesehatan pun sudah melakukan uji klinis terhadap kunyit tersebut. Sekarang, pemerintah harus membantu agar bahan kunyit yang diproduksi GP Jamu dapat memasuki rumah sakit, dan dokter-dokter dapat memberikan kunyit tersebut kepada pasien-pasien yang menderita penyakit mulas.
Demikian juga dengan jahe sebagai bahan tunggal, tanpa dicampuri bahan lain, boleh mengklaim dapat menyembuhkan masuk angin, mual. Sekarang, para pengusaha jamu itu mempunyai ramuan yang beraneka ragam dan berbeda beda satu sama lain.
Perbedaan ini bisa dilatarbelakangi berbagai hal. Misalnya, seperti ramuan yang diperoleh dari nenek moyangnya sendiri, atau dari buku, maupun sumber-sumber lain. Ramuan-ramuan ini harus diperiksa lagi oleh pemerintah sebelum masuk ke rumah sakit. Sementara ramuan tunggal relatif tidak membutuhkan pemeriksaan, karena rumah sakit sendiri pun sudah memiliki clinical trial atau penelitian secara ilmiah untuk bahan-bahan tunggal. Jadi, dapat dengan segera direkomendasi pemerintah untuk dipakai para dokter sebagai bagian dari resep para pasien.
Saat ini, PT Mustika Ratu mempekerjakan ribuan orang baik mereka yang menjadi karyawan maupun yang tidak. Seperti pedagang jamu yang disediakan outlet-nya oleh PT Mustika Ratu. Ini membuktikan bahwa industri jamu dapat menyerap banyak tenaga kerja.
Kalau outlet yang saya sediakan (PT Mustika Ratu) mungkin hanya mempekerjaan puluhan ribu saja, tetapi kalau outlet yang disediakan seluruh perusahaan jamu, khususnya yang tergabung dalam GP Jamu, sudah mempekerjakan 40 sampai 50 ribu pekerja. Di sini belum termasuk pedagang jamu gendong. Bersambung hp-tsl
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
05 | Mata Rantai Perdagangan Jamu
Mata rantai perdagangan jamu Indonesia sendiri, hingga saat ini sudah bagaimana?
Perdagangan jamu sudah meluas ke berbagai negara, mulai dari Asia, Amerika Serikat, Eropa, hingga Afrika. Bahkan, jamu gendong sudah meluas hingga ke Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Kenapa di Malaysia berkembang jamu gendong, karena Malaysia itu merasa serumpun dengan Indonesia. Sehingga lebih mudah menjelaskan dan menerangkan faedah dan khasiat jamu, dibandingkan dengan masyarakat Eropa atau Amerika Serikat.
Dilihat dari kemampuannya menyediakan lapangan kerja, apakah Ibu percaya industri dan perdagangan jamu dapat menjadi alternatif penyediaan lapangan kerja?
Kalau ini dikembangkan secara otomatis akan menyerap tenaga kerja. Kalau penggunaan jamu di kalangan masyarakat juga berkembang, maka pengusaha jamu juga akan berkembang. Bagaimana mengembangkan penggunaan jamu di kalangan masyarakat? Disinilah peranan pemerintah.
Kalau pemerintah sudah membantu melakukan penelitian akan khasiat jamu, disosialisasikan, dan diumumkan, maka masyarakat akan percaya pada manfaat penggunaan jamu tersebut. Dengan adanya kepercayaan masyarakat, secara otomatis akan meningkatkan demand (permintaan) terhadap jamu. Dan hal itu akan berdampak positif terhadap peningkatan usaha jamu.
Kendala pengembangan jamu apakah hanya karena pemerintah belum serius melakukan penelitian dan mensosialisasi manfaat jamu tersebut?
Sebenarnya, peranan pemerintah yang diharapkan para pengusaha jamu lebih dari sekadar penelitian dan sosialisasi penggunaan jamu. Kalau boleh dibilang, dampak dari penelitian dan sosialisasi seperti ini, tergolong kecil.
Saat ini pun Departemen Kesehatan RI selalu mengiklankan “Cintailah Produk Dalam Negeri”. Tetapi, iklan itu tidak berdampak apa-apa karena pasarnya sudah dikuasai produk luar negeri. Bahkan, dapat dikatakan, iklan tersebut menjadi kontradiktif. Yang sangat diharapkan masyarakat pengusaha jamu adalah membantu agar jamu berkembang, diproduksi dengan mutu yang lebih baik, produksi yang innovatif, sehingga mutunya lebih bersaing.
Pada era perdagangan bebas, apakah memungkinkan jamu diperlakukan sebagai komoditi ekspor Indonesia?
Hampir semua komoditi dapat menjadi komoditi ekspor, termasuk jamu. Permasalahannya, bagaimana membuat jamu sebagaimana yang diinginkan konsumen luar negeri.
Kalau Anda bertanya, bagaimana agar jamu menjadi komoditi ekspor, maka kita harus memenuhi referensi konsumen (requirement) dan peraturan luar negeri terhadap komoditi-komoditi yang mereka impor. Di luar negeri, kita harus meneliti setiap pasar negara masing-masing. Disamping peluang pasarnya, kita juga harus mengetahui siapa pesaing-pesaing kita dalam segmen pasar jamu itu, bagaimana lifestilyle masyarakat negara yang bersangkutan.
Misalnya, apa obat tradisional yang ada di negara itu. Satu persatu masalah itu harus kita teliti, dan itu juga harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Kalau misalnya seorang pengusaha jamu hendak memasarkan jamu di Meksiko, maka kita harus dapat memperoleh informasi dari BPEN tentang bagaimana peluangnya, pasarnya, dan peraturan impornya.
Kalau pengusaha jamu sendiri yang berinisiatif meneliti pasar setiap negara, bagaimana?
Biayanya akan menjadi sangat mahal. Anda dapat membayangkan berapa biaya yang akan dikeluarkan kalau Jamu Jago melakukan penelitian sendiri, Air Mancur melakukan penerlitian sendiri juga, demikian juga dengan Mustika Ratu.
Disamping itu masing-masing perusahaan jamu, juga mungkin tidak punya dana sebesar itu untuk meneliti peluang pasar di luar negeri. Oleh karena itu, jalan terbaik menurut saya adalah kerjasama antara pemerintah dengan swasta. Tetapi pemerintah harus secara konkrit menyediakan dana.
Kalau perusahaan jamu yang melakukan penelitian, sebenarnya bukan tidak mungkin, tetapi hal itu akan lebih lama dan membuat perusahaan jamu Indonesia tidak berkembang. Saat ini saja, berdasarkan hasil penelitian suatu lembaga pengembangan ekspor internasional, menyebutkan bahwa perbandingan volume ekspor obat-obatan tradisional antara Cina dengan Indonesia sangat jauh berbeda. Cina telah mengekspor obat-obatan tradisional hingga miliaran dolar AS, sedangkan Indonesia hanya dapat mengekspor beberapa juta dolar AS saja. Bersambung hp-tsl
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
06 | Persaingan dengan China dan India
Bila dibandingkan, bagaimana perkembangan jamu Indonesia dengan negara lain yang juga memiliki kekhasan obat-obat tradisional seperti Cina dan India?
Cina dan India merupakan negara yang memiliki potensi besar dalam menghasilkan obat-obat tradisional. Di India terkenal dengan Ayoverda-nya, dan Cina terkenal dengan Shinsei-nya. Produk kedua negara ini tidak hanya eksis di dalam negerinya sendiri, tetapi juga telah menembus pasar luar negeri dengan volume yang cukup besar.
Mengapa obat-obat tradisional dari India dan Cina itu bisa berkembang lebih cepat dari jamu Indonesia?
Di India, ada pendidikan khusus untuk pengobatan alternatif yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. Lulusan pendidikan ini disebut dengan ‘hakin’. Setelah menyelesaikan pendidikannya, para ‘hakin’ dapat berpraktek sebagai practisioner seperti dokter. Saya pernah mendatangi seorang ‘hakin’ untuk mendapat pengobatan, dan mendapat resep.
Lalu, resep itu saya bawa ke toko obat tradisional dan mendapat obat-obatan, yang diantaranya terdapat juga kunyit. Dengan adanya praktek-praktek dan toko-toko obat tradisional, maka jelas akan menyerap tenaga kerja yang memadai. Di Indonesia, fenomena positif obat tradisional seperti di India dan Cina tidak akan terjadi bila pelaku usaha pengobatan tradisional selalu dilarang untuk melakukan sesuatu.
Mengapa Depkes tidak melakukan seperti apa yang dilakukan negara lain mengembangkan obat-obat tradisional?
Saya juga tidak tahu. Mungkin mereka belum memahami perkembangan obat tradisional di dunia, atau mungkin belum ada dana yang dialokasikan APBN.
Kalau pemerintah tetap saja konservatif, seperti selama ini, Ibu punya prediksi masa depan obat-obatan tradisional Indonesia?
Menurut saya, eksistensi jamu tradisional Indonesia tidak hanya terancam, tetapi juga pangsa pasarnya yang sangat besar akan dibanjiri produk jamu dan obat-obatan tradisional dari negara-negara lain. hp-tsl
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) {/reg}