
[WAWANCARA] – Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak lahir secara tiba-tiba di saat negara ini sudah mapan. Secara historis, cikal-bakal TNI adalah sebagian rakyat bersenjata yang berjuang mengorbankan jiwa dan raganya mengusir penjajah. Keniscayaan sejarah TNI itu yang tidak boleh hilang. Sebab, itulah jati diri TNI.
Budi Harsono, pensiunan Jenderal Bintang Tiga TNI-AD, menggarisbawahi hal itu. Menurut mantan Ketua Fraksi TNI/Polri DPR-RI (2001-2002) itu, profesionalisme TNI sudah sepantasnya seperti halnya tentara di banyak negara di dunia. Profesionalisme tentara bersifat universal.
Tapi, “Jati diri TNI sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rakyat tidak boleh hilang, apalagi dihilangkan dengan alasan apapun. Jati diri TNI adalah kebersamaannya dengan rakyat, karena TNI mengabdi pada kepentingan rakyat,” jelas anggota Fraksi Partai Golkar DPR-RI (2004-2009) yang pernah menjabat Assospol Mabes ABRI (1997) itu kepada Anis Fuadi, wartawan TOKOH INDONESIA, dalam satu kesempatan bincang-bincang di ruang kerjanya Gedung DPR/MPR, Jakarta, belum lama ini.
Di bawah ini bisa disimak paparan lengkap seputar persepsi, harapan, sekaligus keprihatinan mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar (2002-2004) itu ihwal jati diri TNI.
Majalah Tokoh Indonesia (MTI): Bisa Bapak jelaskan apa itu jati diri TNI?
Budi Harsono (BH): Tentara di setiap negara memiliki ciri khas dalam proses kelahirannya dan berproses sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Tentara harus memiliki kekhasan agar tak mudah dilumpuhkan.
Begitu pun dengan TNI. Proses pembentukannya berawal dari rakyat pejuang bersenjata yang disatukan ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR adalah embrio sekaligus bukti TNI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat. TNI mengabdi pada kepentingan rakyat. Ada kebersamaan TNI dengan rakyat. Itulah jati diri TNI yang menjadi ciri khasnya.
Jati diri TNI bukan sesuatu hal yang dicari-cari atau direkayasa, tapi sudah terbentuk sejak lahir. Jati diri TNI menyiratkan kebersamaan rakyat dengan tentara. Jati diri inilah yang membuat TNI kuat.
Realitas itu yang tidak boleh dihilangkan dari sejarah bangsa ini. Bangsa ini sama artinya telah melupakan sejarahnya sendiri bila memisahkan TNI dari rakyat. Selamanya, TNI tidak boleh dipisahkan dari rakyat. Bila dipisahkan dari rakyat, TNI tidak punya kekuatan lagi (lemah) karena telah kehilangan jati dirinya.
Jadi jangan sekali-kali memisahkan TNI dari rakyat. TNI tidak punya kekuatan lagi secara batiniyah, atau akan kehilangan ruhnya, jika terpisah dari rakyat. Bila TNI kehilangan kekuatannya, akhirnya, bangsa ini akan menderita.
MTI: Idealnya, di manakah jati diri TNI diposisikan pada kondisi bangsa saat ini?
BH: Dalam perjuangan bangsa dan negara ini untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional seluruh komponen bangsa dilibatkan sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Setiap komponen bangsa ini punya posisi yang sederajat sesuai dengan peranan masing-masing dalam proses pertumbuh-kembangan negara ini. Tidak ada yang berposisi lebih tinggi atau paling tinggi.
Profesi guru punya peran sendiri. Profesi dokter punya peran sendiri. Begitu juga TNI punya peran sendiri. Dengan kebersamaan itu, ikatan antarkomponen bangsa menjadi kuat.
TNI adalah bagian yang tak terpisahkan dari rakyat yang mesti diberdayakan pemikirannya dalam setiap langkah yang ditempuh bangsa dan negara ini mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya.
TNI jangan ditempatkan di luar proses perjuangan itu sebab pada hakikatnya TNI berjuang untuk kepentingan rakyat. Sampai kapanpun, TNI punya tanggung jawab menjaga keselamatan bangsa dan negara ini.
Karenanya, TNI sepatutnya bisa memberikan kontribusi pemikirannya bagi bertumbuhkembangnya bangsa ini, agar TNI benar-benar merasa memiliki dan dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia.
Untuk menyumbangkan pemikirannya TNI tidak harus berada di parlemen seperti dulu, yang nota bene wilayah politik praktis.
Dewan Ketahanan Nasional atau Lembaga Ketahanan Nasional, misalnya, bisa difungsikan sebagai wadah pemerintah mengakomodasi darmabakti, sumbang saran, gagasan, aspirasi, dan pemikiran TNI untuk kemajuan bangsa dan negara ini, khususnya dari pengamatan dari aspek Hankam terhadap berbagai konsep kebijakan nasional.
Di negara manapun, tidak ada masalah yang didekati secara sektoral saja. Solusi atas masalah di berbagai bidang kehidupan yang dihadapi bangsa dan negara ini akan komprehensif bila juga memperhatikan dan mempertimbangkan dari aspek Hankam.
Manfaatkan pemikiran dan pandangan TNI yang konstruktif terhadap masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini. Sehingga, pada akhirnya, setiap kebijakan negara diambil atas satu masalah bersifat komprehensif.
Memang, tugas TNI menjaga kedaulatan negara dari pihak luar yang mengancam keselamatan bangsa. Tapi, tanggung jawab TNI bukan sekadar mempersepsikan ada atau tidaknya ancaman musuh dari luar secara fisik, tetapi juga ancaman nonfisik (seperti Narkoba atau pornografi) yang akan melemahkan bangsa ini secara keseluruhan. Sebagai komponen bangsa, tentunya TNI/Polri ikut terpanggil untuk memberikan pemikiran untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
Kita ingin, TNI dapat kembali pada jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. Jati diri prajurit TNI inilah yang menjadi sumber kekuatan moral pengabdian prajurit kepada negara dan bangsa.
MTI: Soal tuntutan profesionalisme TNI?
BH: Kita sepakat TNI harus profesional. Ketika kita bicara profesionalisme TNI, kita bicara soal profesionalisme tentara secara universal di dunia.
Misalnya, kemampuan menggunakan senjata (tank, pesawat tempur, kapal laut) atau kemampuan taktis tentara dalam menyerang posisi musuh. Atau, kemampuan tentara menembak. Hal-hal teknis ketentaraan seperti itu kan bersifat universal. Saya berpendapat bahwa profesionalisme TNI memang harus ditingkatkan kualitasnya, agar mampu melaksanakan tugasnya menjaga keselamatan bangsa dan negara. Namun kekuatan TNI tidak sekadar kemampuan profesionalisme, namun perlu juga kekuatan mental/spirit perjuangan.
Oleh karena itu, selain profesionalisme, kekuatan TNI juga perlu didukung oleh semangat dan mentalnya sebagai tentara yang berasal dari rakyat dan berjuang untuk rakyat. Kekuatan khusus TNI adalah jati dirinya.
‘Tentara bagiannya hanya mengurusi perang. Tentara yang profesional. Bagianmu itu saja!’ demikian peran TNI diposisikan. Tapi menurut saya, janganlah TNI dikotak-kotakkan seperti itu sebab akan menghilangkan jati dirinya.
TNI ingin bersama rakyat, bukannya ingin memperalat rakyat. TNI ingin berbakti pada negara ini. TNI ingin mengabdi pada kepentingan rakyat karena jati dirinya memang berasal dari rakyat.
Karena itu, bila TNI dipisahkan dari rakyat sehingga hilang jati dirinya, maka TNI akan menjadi lemah. TNI tidak punya kekuatan lagi secara batiniyah, atau akan kehilangan ruhnya, jika terpisah dari rakyat.
Bila TNI kehilangan kekuatannya, akhirnya, bangsa ini akan menderita. Lemahnya TNI berarti lemahnya bangsa dan negara ini.
MTI: Maksud Bapak, profesionalisme jangan sampai menghilangkan jati diri TNI?
BH: Benar. Kekuatan TNI adalah pada kemampuan profesionalismenya dan semangat kejuangannya mengabdi pada negara. Dan hal ini tidak lepas dari proses kelahirannya.
Sejarah TNI sangat berbeda dengan sejarah tentara di negara-negara lain. Kita tidak bisa menyamakan jati diri TNI dengan tentara di negara-negara lain. Kalau dipersamakan begitu saja, jati diri TNI akan hilang. Padahal di situlah letak kekuatannya.
Dengan semangat kebersamaan, TNI bersatu padu dengan rakyat yang hanya bersenjata bambu runcing mengusir penjajah yang memiliki persenjataan hebat.
Kita ingat sejarah, TNI berperang melawan penjajah, rakyat membantu dengan menyediakan makanan. Itu kan satu proses kerja sama yang secara alamiah terbentuk ketika bangsa ini melawan penjajah.
Oleh karena itu, kebersamaan dan kemanunggalan TNI dengan rakyat jangan sampai hilang. Singkatnya, tanpa rakyat TNI menjadi nothing. Tapi, bersama rakyat TNI akan menjadi something.
Tapi dalam perkembangannya pada saat ini, TNI cenderung hendak dibuat dan dikembangkan seperti tentara di negara-negara lain. Tentara yang jauh dari rakyat. Padahal kekuatan TNI justru berada pada kebersamaannya dan menyatunya dia dengan rakyat. Menjadi tentara yang profesional boleh, tapi jati dirinya jangan sampai hilang.
TNI berasal dari rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat. Jadi berbeda dengan tentara di negara-negara lain. Kita harus hati-hati sekali jangan sampai TNI lepas jati dirinya.
MTI: Ada indikasi-indikasi upaya sistematis memisahkan TNI dari rakyat?
BH: Tanda-tanda yang jelas belum ada, tapi gejala ke arah itu sudah mulai terasa. Dan, kewajiban saya sebagai mantan anggota TNI untuk mengingatkan, bahwa jati diri TNI dan kebersamaannya dengan rakyat harus tetap dilestarikan.
Generasi Angkatan ’45 telah mewariskan semangat kebersamaan TNI dengan rakyat. Kebersamaan TNI-rakyat itu jangan sampai hilang. Jati diri TNI itu harus tetap dilestarikan sepanjang zaman oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Bagaimanapun, upaya memisahkan TNI dari rakyat justru potensial melemahkan TNI sendiri. TNI yang kuat bukan hanya pada badannya tapi juga jiwanya. Jiwa TNI yang merakyat yang bersama rakyat dan merasakan/empati pada kesulitan rakyat akan lebih mempererat hubungan TNI dan rakyat.
Meski punya senjata lengkap tapi percuma saja bila jiwa anggota TNI kosong. Sebab, sosok orang yang ada di belakang senjata (man behind the gun) itulah yang menentukan.
Prajurit TNI harus merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya di lapangan. Jadi harus tercipta kondisi yang membuat nyaman yakni dengan selalu mengidentifikasi TNI sebagai bagian dari rakyat.
Konsep jati diri bangsa ini adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Kalau kita silau dengan yang ada di negara-negara maju dan lantas menirunya mentah-mentah, dengan melupakan jati diri bangsa sendiri, kita tidak akan menjadi apa-apa. Mengambang di awang-awang.
Kewajiban saya sebagai anak bangsa untuk mengingatkan, semangat reformasi jangan sampai membuat TNI keluar dari jati dirinya. Saya tidak berprasangka buruk pada pihak-pihak lain. Sekadar mengingatkan.
MTI: Tapi harapan Bapak akan berhadapan dengan sinisme dan trauma pada masa lalu?
BH: Saya sangat menyadari, trauma terhadap eksistensi dan peranan TNI di masa lalu masih menghantui pikiran sebagian besar elit politik di negeri ini, termasuk rakyat sampai saat ini.
Kalau diibaratkan gerakan bandul, dulu TNI bergerak terlampau ke kanan. Kini bandul terlalu diayunkan ke kiri. Belum bergerak sampai ke tengah, posisi idealnya. Nah, untuk mengembalikan bandul kembali ke tengah atau posisi ideal itu memang membutuhkan waktu dan proses.
Kita ingin bandul mengayun ke tengah kembali. Maka kewajiban saya mengingatkan itu. Kalau tidak diingatkan, pasti akan hilang jati diri TNI. Dunia politik bukan bidang TNI lagi.
Lepas dari realitas itu, kita harus memberikan informasi-informasi untuk meyakinkan masyarakat soal jati diri TNI sehingga tidak sampai timbul prasangka negatif bahwa TNI ingin berkuasa lagi atau TNI ingin berpolitik praktis lagi.
TNI ingin bersama rakyat, bukannya ingin memperalat rakyat. TNI ingin berbakti pada negara ini. TNI ingin mengabdi pada kepentingan rakyat karena jati dirinya memang berasal dari rakyat.
Di masa sekarang, ketika negeri ini dilanda berbagai musibah bencana alam seperti gelombang pasang tsunami, banjir bandang, atau tanah longsor, aparat TNI adalah yang pertama kali turun ke lokasi bencana.
Itu dilakukan karena kecintaannya pada negara dan karena kecintaannya kepada saudara-saudaranya yakni rakyat. Tanpa disuruh, TNI langsung turun membantu saudaranya yang sedang dirundung kemalangan dan kesusahan. Itu implementasi sekaligus refleksi dari jati diri TNI sebagai bagian dari rakyat.
Tidak ada kan TNI kemudian mereklamekan dirinya sebagai garda terdepan negara ini dalam penanganan bencana alam?
Itu membuktikan, rakyat dan negara sangat membutuhkan tentara yang kuat. Tentara bisa kuat bila ia menyatu dengan rakyat sebagai bagian dari keluarga besar Indonesia. Bukannya ia terpisah dari keluarga besarnya.
Ibarat sebuah keluarga besar, TNI adalah bagian dari keluarga besar itu. TNI dilahirkan dari keluarga itu. Makanya, TNI pasti ikut bertanggung jawab moral terhadap apa pun yang menimpa keluarga itu, termasuk berbagai ancaman terhadap keselamatan hidup keluarganya. TNI bukanlah orang luar.
Jadi sungguh disayangkan bila, semata-mata didorong kepentingan politis, ada pihak yang berusaha memisahkan atau menghilangkan kebersamaan yang sudah terjalin di dalam keluarga itu.
Mungkin terkait trauma pada kiprah TNI di masa lalu. Karena TNI punya senjata sehingga dikhawatirkan TNI akan menguasai semua bidang bila tidak diatur.
Masa lalu kan begitu sehingga tentara bilang A semua juga bilang A. Trauma itu membuat pikiran yang jernih menjadi hilang karena ketakutan akan muncul lagi kondisi seperti itu. Jangan sampai trauma tersebut menghilangkan jati diri TNI.
MTI: Apa ini sekadar romantisme sejarah ataukah memang ada yang pasti dipetik dengan melestarikan jati diri TNI ini?
BH: Kelestarian jati diri TNI, menurut saya, adalah hal yang positif sampai kapan pun dan tidak boleh tergilas perkembangan zaman. Jati diri TNI itu harus tetap lestari sepanjang zaman dan harus dijaga oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Kebersamaan TNI dan rakyat tidak hanya terwujud secara lahiriah tapi juga dari aspek pemikiran dan batiniah. Pemikiran-pemikiran TNI dapat menjadi sumbangan pemikiran yang positif terhadap berbagai kebijakan nasional.
Mengapa saya katakan begitu? Karena, semua masalah di semua bidang kehidupan yang dihadapi bangsa dan negara ini akan komprehensif pengamatannya, di samping dari aspek kesejahteraan, juga didekati dari aspek pertahanan dan keamanan.
Di negara manapun, tidak ada satu masalah yang didekati secara sektoral saja. Itu pasti dipandang dari berbagai aspek kehidupan sehingga sifatnya menyeluruh atau komprehensif.
Pandangan dari aspek Hankam diharapkan datang dari TNI sehingga, pada gilirannya, TNI bertanggung jawab atas pertumbuh-kembangan, dan merasa ikut memiliki, negara ini.
MTI: Jadi aspek Hankam harus jadi pertimbangan?
BH: Ada dua pendekatan yang secara umum dipakai dalam menyikapi masalah, yakni pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan. Jadi, pendekatan keamanan adalah salah satu kebutuhan hakiki setiap individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Memang, tugas TNI menjaga kedaulatan negara dari musuh yang mengancam keselamatan bangsa dan negara. Dan tanggung jawab TNI itu bukan sekadar mempersepsikan ada atau tidaknya ancaman musuh dari luar secara fisik, tetapi juga ancaman nonfisik.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan pornografi dan Narkoba, sekadar menunjuk dua contoh, adalah masalah-masalah yang akan melemahkan bangsa ini secara keseluruhan. Menyelesaikan masalah Narkoba dan Pornografi yang sudah demikian merajalela di negara kita ini memerlukan juga pandangan dari aspek Hankam.
Bangsa ini akan memiliki ketahanan yang tangguh bila kondisi fisik and nonfisiknya kuat. Itulah hakekat yang ingin dicapai dalam pembangunan nasional.
Kita bukan hanya ingin membangun badan, tapi juga jiwa bangsa ini. Kita bisa simak kembali petikan lagu kebangsaan Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, baru bangunlah badannya.
Percuma saja kalau kita bangun badan bangsa ini dulu jika jiwanya kosong. Kita ini kan sekarang terbalik, yang dibangun badannya (fisik) tapi jiwanya (mental) kurang mendapatkan perhatian. Buktinya, kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara sudah mengalami degradasi yang tajam.
Padahal, maksud WR Soepratman menciptakan lagu Indonesia Raya, kita harus membangun jiwa bangsa ini lebih dahulu, yang ditandai terbangunnya SDM yang berkualitas. Baru setelah jiwa terbangun, kemudian dibangun badan atau fisiknya.
Sekarang, pembangunan jiwa kurang mendapatkan perhatian. Kita larut dengan perkembangan keadaan. Tanpa daya, hanyut mengikuti arus yang mengalir. Kesadaran mencintai negara ini sudah hampir tidak ada lagi akibat tergilas oleh pragmatisme dan egoisme pribadi atau kelompok.
MTI: Bukankah di partai-partai politik, di pemerintahan dan di parlemen ada beberapa orang pensiunan TNI. Apakah keberadaan mereka belum bisa menjamin bahwa aspek Hankam akan tetap terakomodir dalam proses bangsa ini mencapai tujuan nasionalnya?
BH: Keberadaan para purnawirawan TNI di partai politik dan DPR kan lebih bersifat individual sesuai kemampuannya masing-masing.
Keberadaan para purnawirawan tersebut tentunya berperan cukup positif dalam arti kata sumbangan pemikiran dari aspek Hankam, dalam pelaksanaan tugasnya sebagai anggota Dewan.
Namun, karena jumlahnya terbatas dan perannya dilakukan secara individual maka hasilnya kurang maksimal.
Selanjutnya, saya ingin menyampaikan bahwa aktivitas dan peran purnawirawan TNI adalah sangat tergantung pada kemampuan yang dimiliki dan bagaimana lingkungan dapat menerima dan memerankan purnawirawan tersebut. Dan ini berlangsung secara alamiah.
Purnawirawan TNI adalah juga bagian dari rakyat. Tidak ada pengkotak-kotakan lagi. Setelah pensiun, ia menjadi rakyat sipil biasa dan mendapatkan pekerjaan sesuai tuntutan dari lingkungan yang membutuhkan.
Misalnya, seorang pensiunan TNI mempunyai bakat di bidang politik. Ia bisa menyumbangkan pemikirannya di bidang politik. Bila partai-partai politik menerimanya, itu karena sang pensiunan TNI dinilai punya kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan.
Ada lagi mungkin pensiunan TNI yang ahli di bidang hukum, silahkan saja bila ia mau berkarier di dunia hukum.
Pensiunan tentara bekerja di pabrik atau perusahaan kontraktor karena punya kemampuan di bidang engineering. Kalau ia kemudian dipercaya memimpin perusahaan, itu karena ia memang punya kemampuan, bukan karena ia bekas tentara. Lingkungan kerjanya membutuhkannya sebagai pemimpin.
Termasuk di pemerintahan. Presiden memilih pensiunan TNI duduk di kabinet dalam kapasitasnya sebagai pribadi-pribadi yang sudah tidak aktif di militer. Pada lingkungannya tersebut, para purnawirawan tentunya akan menekuni bidangnya masing-masing dan otomatis pertimbangan-pertimbangan dari segi keamanan akan menyertainya dalam melangkah.
Di negara-negara maju berlaku hal seperti itu. Semua berjalan dengan sendirinya atau alamiah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Negara itu tidak melihat latar belakang asalnya tapi kemampuannya.
MTI: Pendapat Bapak soal Koter?
BH: Menurut saya, keberadaan Koter memang diperlukan. Karena sistem pertahanan dan keamanan yang kita bangun selama ini adalah sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata).
Dalam menghadapi ancaman, sistem itu tidak hanya dipersiapkan pada masa perang saja, tapi juga harus dipersiapkan sejak dini di dalam keadaan damai.
Misalnya, bagaimana membina potensi daerah dalam menghadapi ancaman. Karenanya sangat perlu dibentuk suatu komando kewilayahan, entah itu bernama Koter atau apa pun namanya. Kalau istilah Koter mungkin masih menimbulkan trauma masa lalu, silahkan dibuat nama yang lain.
Tapi yang jelas, komando kewilayahan bagi tentara itu sangat perlu. Komando kewilayahan itu harus diberikan ruang lingkup tugas yang jelas sehingga dia tidak akan masuk ke wilayah pihak lain. Tidak seperti yang berlangsung di masa lalu di mana TNI juga menangani masalah politik.
Oleh karenanya, Koter harus focus pada tugas pokoknya, yakni mempersiapkan daerah yaitu membina potensi kewilayahan menjadi kekuatan kewilayahan untuk menghadapi ancaman.
MTI: Banyak pihak yang menuntut agar sistem Koter dihilangkan?
BH: Kalau komando kewilayahan ingin dihilangkan sama sekali, maka sistem pertahanan dan keamanan kita mesti diubah dulu dong. Sishankamrata harus diubah dulu. Sebab, sampai sekarang Sishankamrata tetap disepakati. Tidak berubah.
Kekeliruan implementasi pada masa yang lalu tentunya tidak serta merta menyalahkan system yang dianut. Koter pada masa lalu banyak melakukan tugas-tugas di luar tugas pokoknya ini yang harus kita perbaiki.
Sishankamrata yang kita anut sudah teruji keampuhannya pada masa perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Sishankamrata adalah sistem yang melibatkan seluruh potensi komponen bangsa ini dalam menghadapi segenap ancaman dari luar. Sistem Hankam itu yang kita sepakati dalam UUD 1945. Sampai sekarang masih diakui dan tetap kita lakukan. Konsekuensi kita menggunakan Sishankamrata itu diperlukan komando kewilayahan yang selama ini kita dikenal sebagai Komando Teritorial. Jadi, Koter itu sangat perlu dan harus ada tentu dengan rambu-rambu yang tegas agar apa yang dikerjakannya tidak sampai keluar pagar. Koter itulah yang membina potensi daerah menjadi kekuatan kewilayahan untuk menghadapi ancaman. e-ti/af
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)