
[WAWANCARA] Wawancara Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono (2 dari 8) – Ada lima pesan Presiden selaku Kepala Negara yang paling berkesan bagi Laksamana Agus Suhartono waktu diangkat jadi Panglima TNI. Yakni: Pertama, jaga keterpaduan antara ketiga angkatan; Kedua, arahkan kekuatan kepada minimum essential force; Ketiga, tinjau kembali organisasi; Keempat, untuk sementara lakukan zero growth; Kelima, jangan terpengaruh rekanan.
Kelima pesan Kepala Negara/Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut dikemukakan dan dijelaskan Panglima TNI Agus Suhartono dalam wawancara khusus dengan Wartawan TokohIndonesia.com di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu 11 April 2012. Saat wawancara, Panglima TNI didampingi Kapuspen TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul dan Kadispenum Puspen TNI Kolonel Cpl. Minulyo Suprapto. Sebelum wawancara, Kasubdisgiatblik Dispenum Puspen TNI Letkol Arh Hari Mulyanto, didampingi staf Puspenum TNI Mayor TNI Herbert Sembiring, memberi penjelasan dan masukan kepada TokohIndonesia.com untuk dapat mengefektifkan keterbatasan waktu yang tersedia.
Dalam menjawab pertanyaan TokohIndonesia.com perihal keyakinan bahwa TNI tidak ingin kembali ke situasi Orde Baru, Panglima TNI menegaskan bagi TNI pikiran-pikiran seperti itu juga tidak ada. Berpolitik pun juga tidak ada. Simak juga pernyataannya tentang tampilnya TNI untuk membackup Polri dalam mengamankan demonstrasi dan apa pesannya kepada masyaarakat khususnya para generasi muda.
“Dengan rightsizing dan zero growth, kita menginginkan ada keseimbangan dalam postur anggaran. Artinya, setiap tahun anggaran naik, tapi kenaikan ini harus kita upayakan untuk menaikkan pemeliharaan dan pengadaan Alutsista, bukan untuk belanja pegawai. Belanja pegawai, kita tahan tetap.”
Sebagai panglima, dia pun mengaku tidak ada merasakan kecenderungan dan keinginan penguasa menggunakan TNI untuk kepentingan kekuasaan. “Nggak ada, semuanya ada rambu-rambu undang-undangnya. Semuanya digunakan dengan benar. Karena saya mengalami sendiri. Jadi sangat yakin bahwa tidak ada unsur untuk kepentingan kekuasaan di situ, semuanya untuk kepentingan negara,” jelas Agus Suhartono.
Selengkapnya, berikut bagian kedua (berjulul Lima Pesan Kepala Negara) dari delapan bagian wawancara tersebut:
TI: Apa pesan Presiden selaku Kepala Negara yang paling berkesan waktu Anda diangkat menjadi Panglima TNI?
AS: Pesan beliau begini: Pertama, jaga keterpaduan antara ketiga angkatan. Ini yang paling pokok. Jangan sampai ada satu angkatan dengan yang lainnya ada kompetisi yang tidak sehat. Jadi upayakan keterpaduan itu dilakukan. Kedua, mengarahkan kekuatan kepada minimum essential force. Kemudian yang ketiga, tinjau kembali organisasi, lakukan rightsizing (menurunkan jumlah) penyempurnaan masing-masing organisasi, kecilkan organisasi yang tidak perlu. Tetapi bisa dibentuk organisasi, yang memang diperlukan.
Berikutnya, keempat, untuk sementara lakukan zero growth (pertumbuhan nol). Jadi pergantian personil hanya untuk yang pensiun atau penambahan secara terbatas saja. Dan yang paling pokok, kelima, dalam hal pengadaan barang, jangan terpengaruh rekanan. Itu yang menjadi pedoman saya untuk menjalankan tugas saya selama ini.
TI: Setelah menerima lima pesan itu, tentu ada reaksi dalam pikiran. Setelah menerima pesan itu, apa kira-kira yang Anda pikirkan?
AS: Iya, bagaimana mengimplementasikan arahan ini ke dalam bentuk kegiatan nyata.
TI: Secara kongkritnya, tindakan apa kemudian dari pesan ini?
AS: Kalau namanya rightsizing kita sudah melakukan, setiap angkatan sudah melakukan rightsizing masing-masing. Kemudian kalau zero growth juga sudah dilaksanakan. Dalam pengadaan sistem personil, kita menghitungnya dengan betul. Berapa yang pensiun, berapa yang dibutuhkan sehingga kita tidak menambah jumlah personil yang terlalu banyak.
Tapi yang paling penting adalah memberikan pemahaman kepada seluruh prajurit kita. Mengapa sih kok perlu rightsizing, mengapa perlu zero growth. Ini saya kira tidak mudah untuk memberikan pemahaman. Karena pada umumnya angkatan kita ini besar. Sering juga masyarakat mengkritik, kurang, perlu dibesarkan. Nah ini yang perlu kita optimalkan.
Nah, intinya begini, mengapa itu kita aturkan adalah untuk memperbaiki postur anggaran di lingkungan TNI. Kalau mencermati beberapa waktu yang lalu anggaran di TNI itu hampir 60 persen habis untuk belanja pegawai. Empat puluh persen untuk pemeliharaan dan pengadaan Alutsista. Artinya apa, nggak berkembang. Kalau Alutsistanya rusak tidak bisa diperbaiki, gedung rusak nggak bisa diperbaiki. Beli baru mau menggantinya juga nggak bisa.
Dengan rightsizing dan zero growth, kita menginginkan ada keseimbangan dalam postur anggaran. Artinya, setiap tahun anggaran naik, tapi kenaikan ini harus kita upayakan untuk menaikkan pemeliharaan dan pengadaan Alutsista, bukan untuk belanja pegawai. Belanja pegawai, kita tahan tetap. Kalau ada kenaikan, yang naik pemeliharaan dan pengadaan Alutsista. Dengan demikian kita sangat berharap, nantinya 33 persen biaya pegawai, kemudian 33 persen untuk perawatan, 33 persen untuk pengadaan yang baru. Nah, sekarang itu, sudah mulai bagus.
TI: Kemudian, tadi ada sinkronisasi antarangkatan. Pastinya ada juga egonya per angkatan, tentu pula ada tantangannya. Kira-kira apa tantangan yang Anda hadapi?
AS: Memang setiap angkatan mempunyai kekhasan masing-masing. Kekhasan ini tidak boleh diubah. Ini memang, ciri khas masing-masing angkatan harus tetap dijaga. Jadi bagaimana memadukan kekhasan tersebut menjadi satu kesatuan yang kuat. Impelementasinya adalah dengan kegiatan operasi selalu melibatkan dari ketiga angkatan supaya mereka mempunyai keterpaduan. Dalam latihan juga begitu, bersama-sama.
Bahkan sekarang TNI bercita-cita dan sudah mulai mengimpelentasikannya, kalau di satu wilayah rumah sakitnya TNI Angkatan Udara itu besar, nggak perlu Angkatan Darat dan Angkatan Laut membuat rumah sakit sebesar itu, cukup balai-balai pengobatan, rujukannya ke rumah sakit yang besar. Ini keterpaduan. Kalau dikatakan di Angkatan Laut besar, sudah bagus, Angkatan Darat dan Udara nggak perlu sebesar itu tapi cukup untuk pengobatan yang kalau ada apa-apa bawa ke rumah sakit itu. Ini juga akan menghemat.
TI: Sangat pas?
AS: Kemudian risikonya juga. Jika TNI AU punya perawatan pesawat jenis Colibri, AL juga punya pesawat Colibri, cuma dua, nggak perlu AL membikin perawatan Colibri tersendiri. Kita bekerja sama dengan TNI AU saja. Ini menghemat banyak. Menghemat anggaran cukup banyak. Nah, keterpaduan seperti itu, akhirnya menghemat. Tapi sekali lagi bahwa kekhasan masing-masing angkatan ini mesti tetap harus dipelihara, itu malah kekuatannya.
TI: Kemudian, sebagai seorang panglima, itu bukan sembarang. Apa kira-kira pesan Anda kepada generasi muda bangsa sebagai seorang Panglima TNI?
AS: Di dalam negara demokrasi sekarang ini, ada hak dan kewajiban yang harus kita punya bersama-sama. Saya memohon masyarakat itu agar bisa memahami akan hak dan kewajiban di negara demokrasi. Agar kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara ini berjalan dengan baik. Dan TNI sebagai alat negara, justru ingin mengawal demokrasi ini agar berjalan sesuai dengan arah yang ditetapkan.
Oleh karena itu jangan dianggap TNI justru menjadi penghalang bagi kehidupan berdemokrasi, tidak. Masyarakat, para politis harus yakin betul bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat politisi tentang reformasi TNI itu telah berhasil. Jangan sampai mereka tidak yakin reformasinya belum berhasil, tidak. Dia (masyarakat) harus yakin bahwa apa yang dilakukan TNI itu sudah berhasil. Sehingga TNI saat ini, sudah sangat mengikuti peraturan perundangan yang seharusnya dilakukan oleh TNI.
Satu hal lagi yang ingin saya pesankan, TNI adalah aset negara, sangat salah manakala negara memiliki aset tidak digunakan, didayagunakan. Oleh karena itu apapun kegiatannya, manakala UU itu membenarkan di dalam keterlibatan, salah satu aset negara tentunya itu harus perlu diakomodasikan.
Nah, hal-hal yang tidak dinginkan perlu dibatasi hal-hal tertentu saja yang mereka tidak yakin akan kebenarannya. Contohnya, kalau Bapak punya rumah, listriknya 1000 watt, kemudian Bapak juga pasang genset 1000 watt. Suatu saat Bapak pingin punya acara ulang tahun, pasang sama-sama lampu butuhnya 1500 watt. Bapak tidak menggunakan genset ini, begitu lampu mati baru gensetnya dihidupkan. Itu menurut saya, pemikiran itu harus diubah, bagaimana untuk mengisi 1500 watt itu, 1000 watt dari PLN, dan 500 watt dari genset sehingga tidak khawatir lampunya mati.
Pemikirannya seharusnya seperti itu, punya aset genset, tapi tidak pernah dimanfaatkan. Menunggu lampunya mati dulu, baru dihidupkan. Artinya, sudah ada gangguan di dalam perayaan pesta ulang tahun tadi. Jadi saya kira contoh sederhana yang belum dilakukan.
Jadi (TNI) sebagai aset negara kita harus dimanfaatkan, kita gunakan dalam batasan pendanaan yang mengizinkan untuk sama-sama menjaga, mengawal kehidupan berdemokrasi. Tapi sekarang masyarakat sudah paham bahwa TNI benar-benar sudah bisa membatasi kapan TNI harus tampil dan tidak. Saya kira (masyarakat) sekarang sudah tahu.
Kalau kemarin kekhawatirannya kenapa TNI diturunkan dan sebagainya. Dan itu pemahamannya yang belum sama dengan kita, tapi dengan apa yang kita lakukan, sudah paham. Oh, ya memang TNI hanya mem-backup kepolisian, dilibatkan, kalau belum perlu juga tidak akan digunakan. Kalau sudah diperlukan baru akan digunakan.
Tetapi kehadiran ini luar biasa dalam arti menguatkan Polri di dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya anarkis. Mengapa menguatkan? Kalau dia (kepolisian) jebol, di belakangnya masih ada. Kalau tidak tahu di belakangnya sudah tidak ada, pasti akan melakukan hal yang lebih keras lagi. Karena tahu di belakangnya masih ada, pasti gerak. Tapi kalau disuruh mundur, disuruh mundur. Jadi ini hanya untuk menguatkan teman-teman kita dari Polri.
Di sisi lain juga saya kira masyarakat yang ingin berbuat kerusuhan, itu juga pasti akan menahan diri, jangan sampai. Tapi sekali lagi, TNI hanya ingin mengawal proses berdemokrasi ini sesuai dengan arah yang benar. Jangan sampai orangtua melihat anaknya mau masuk jurang dibiarkan saja. Harus berupaya mencegah, meskipun bermainnya tidak diganggu, tapi dicegah di pinggir jurang, jangan sampai masuk jurang, begitu.
Sebenarnya juga begitu. Kalau ada teman-teman yang berdemonstrasi, silahkan tapi sampai di sini, jangan sampai merusak yang ini, jangan sampai masuk jurang. Maksud saya jangan sampai melanggar undang-undang. Selama masih bermain di lingkaran itu, silahkan. Tapi kalau sudah mulai ke luar masuk jurang, harus kita cegah. Jadi intinya seperti itu.
TI: Kalau ingin tahu seperti yang barusan Anda katakan bahwa TNI mem-backup Polisi dalam manangani demonstrasi kenaikan harga BBM beberapa waktu yang lalu. Pertama, apakah itu atas intruksi Presiden atau memang inisiatif Panglima TNI. Kedua, dengan kejadian tersebut apakah citra daripada TNI itu sendiri tidak malah seolah-olah kembali ke jaman Orde Baru dimana pada pemerintahan waktu itu terkesan diktator dan militeristik?
AS: Kalau menurut Anda bagaimana?
TI: Di satu sisi memang publik memandang kayak kembali ke jaman Orde Baru, ya?
AS: Saya kira, Anda belum yakin bahwa reformasi yang Anda lakukan kepada TNI belum berhasil. Kalau sudah merasa TNI berhasil, semestinya TNI tidak akan berbuat seperti dulu.
Jadi saya jawab begini. Pertama, bahwa sesuai dengan peraturan perundangan pengerahan TNI itu ada di presiden. Tentunya di dalam rapat kabinet Presiden sudah memberikan arahan: Polri lakukan ini di backup oleh TNI. Saya rasa cukup seperti itu, jabarannya ada di kita. Kedua, apakah kita harus berbuat tersebut, pasti tidak. Karena pada prinsipinya TNI itu menjaga objek vital nasional atau menjaga kepentingan masyarakat banyak, agar tidak dirusak oleh para pengunjuk rasa. Jadi kita bukan mau menghalau demonstrasi, bukan. Tapi kita menjaga objek vital saja.
Jadi bayangkan kalau ini ada gedung, saya menjaga di sini. Kalau misalkan jurang, saya ada di sini (diperagakan). Konsentrasi massa yang besar itu cenderung anarkis, diakui atau tidak. Kalau ada satu membakar, dia itu ngomong, bakar, dibakar itu. Satu ngomong, gulingkan mobil itu, digulingkan. Cenderung anarkis.
Kita tidak ingin, teman-teman kita yang demonstrasi itu melanggar undang-undang. Oleh karena itu, kita cegah. Contohnya begini, kalau mereka tahu ini gedung yang vital atau misalnya Plumpang dan Istana Negara, rusak, bakar, katanya. Itu kan melanggar undang-undang. Jadi supaya tidak melanggar, jangan gitu. Jadi jangan dibayangkan bahwa nanti TNI turun langsung ditembaki. Itu saya kira tidak proporsional. Sekarang ini TNI justru hanya menjaga objek-objek vital yang memang dibebankan penugasan tersebut kepada TNI.
Tapi dari kacamata yang lain dari masyarakat, itu dipandangnya seperti itu. Mereka di sana itu, menjaga kita agar tidak melanggar hukum. Harusnya dibaca seperti itu. Kalau dibacanya sebagai musuh pasti berpikirnya lain. TNI itu menjaga begini, selama mereka itu tidak merusak atau saya ibaratkan bermainnya masih di lingkaran, it’s fine, silahkan, tidak ada masalah. Tapi begitu dia masuk jurang kita harus dorong, itu sangat salah. Manakala sudah tahu orang masuk jurang, jangan dibiarkan.
TI: Jadi kita harus yakin bahwa TNI itu tidak ingin kembali ke situasi (Orde Baru) tersebut?
AS: Sebenarnya kita sangat konsen dengan tugas-tugas yang dibebankan kepada kita, itu saja. Kembali ke sana, pikiran-pikiran seperti itu juga tidak ada. Berpolitik pun juga tidak ada. Tapi kita juga berpikiran jangan sampai negara punya aset tidak termanfaatkan dengan baik.
TI: Sebagai panglima, apakah Anda masih merasakan bahwa TNI sebagai milik bangsa yang sangat berharga ini, ada kecenderungan nggak keinginan dari penguasa untuk menggunakannya demi kepentingan kekuasaan?
AS: Nggak ada! Semuanya ada rambu-rambu undang-undangnya. Semuanya digunakan dengan benar. Karena saya mengalami sendiri. Jadi sangat yakin bahwa tidak ada unsur untuk kepentingan kekuasaan di situ, semuanya untuk kepentingan negara. Bersambung 3 dari 8 Wawancara TokohIndonesia.com | Ch. Robin Simanullang
<=== Sebelumnya 1 dari 8