Saya Bukan Risk Taker, tapi Calculated Risk

 
0
410
Saya Bukan Risk Taker, tapi Calculated Risk
e-ti | mi

[WAWANCARA] Wapres Jusuf Kalla sempat menyindir ruangan dirut Bank Mandiri di lantai 3 Plaza Mandiri, Jakarta, seluas lapangan sepak bola. Namun, itu cerita masa lalu. Kini ruangan semua direksi jauh lebih kecil, termasuk ruang kerja Agus yang hanya berkisar 20 meter persegi. Ruang itu berdinding kaca, sehingga tampak dari luar. Rupanya, Agus ingin memberikan teladan soal transparansi dan kebersahajaan di Bank Mandiri.

Di ruang kaca itulah Agus menerima Fadjar Adrianto, Prananda Herdiawan, Houtmand P. Saragih, dan fotografer Sufri Yuliardi untuk sebuah wawancara khusus, Selasa (18/9) lalu. Ia berkisah tentang perjalanan kariernya sebagai bankir dan kondisi terakhir Bank Mandiri. Petikannya:

Survei Warta Ekonomi menempatkan Anda di peringkat ke-2 CEO Idaman 2007. Tahun lalu Anda menempati peringkat ke-6. Komentar Anda?

Kalau ada penilaian seperti itu, saya bersyukur dan berterima kasih. Penilaian itu tentu tak hanya atas dasar prestasi, tetapi juga karakter, attitude, dan etika. Saya melihat untuk jadi orang yang kompeten, mampu, atau andal itu satu aspek. Aspek lain yang tak kalah penting adalah karakter, attitude, dan etika. Selama ini saya pernah bekerja di bank asing, swasta, maupun bank pemerintah. Jadi, mungkin yang saya lakukan di Bank Mandiri pernah saya lakukan sebelumnya, tentu dengan skala berbeda. Bank Mandiri tahun 2005 kondisinya buruk. Kredit bermasalahnya tinggi sekali, gross 26% dan net 16%. Keuntungannya menurun hingga 80%.

 

Image berita media tentang temuan BPK sangat berpengaruh. Ada mantan direksi dan karyawan yang diperiksa kejaksaan, malah sampai ditahan. Semua itu membuat perusahaan ini berat secara finansial dan moril. Namun, kami bersyukur dalam dua tahun terakhir kondisinya jauh berubah. Kredit bermasalah netto turun menjadi 3,9%, net interest margin naik dari 3% menjadi 6%. Lalu, dalam waktu satu tahun, dana murah berupa giro dan tabungan naik Rp31 triliun. Keuntungannya, kalau tahun lalu selama enam bulan masih Rp815 miliar, kini Rp2,1 triliun.

Perbaikan lainnya?

Bukan hanya finansial. AsianMoney menilai good corporate governance kami paling baik dan memberi penghargaan. Ada 300 analis, terdiri dari manager dan fund manager, yang memberikan penilaian. Kalau selama ini selalu Astra atau Unilever, kini Bank Mandiri. Dulu karyawan menganggap, oh, kami bank pelat merah, tak terlalu penting mengutamakan nasabah. Masih ada budaya birokrasi. Itu membuat kami kurang market oriented. Selama 10 tahun terakhir, tak pernah ada bank BUMN yang masuk 10 terbaik untuk service. Namun, Bank Mandiri lompat dari peringkat ke-11 ke peringkat ke-3, dan kini ke-2. Ada beberapa bank swasta terkenal di bidang service, kalah dengan kami. Kami juga bisa mendapat reputasi sebagai bank yang paling efisien.

 

Jadi, ada perubahan corporate culture?

Kami memiliki 21.000 karyawan dan 940 kantor di seluruh Indonesia dan luar negeri. Budaya kami sekarang sangat berbeda. Kalau dulu tidak mau dilihat orang, kini semua ruangan berdinding kaca. Semua orang bisa lihat. Kami turun ke nasabah, mendengarkan keluhan mereka. Kami turun ke karyawan, mendengarkan mereka. Kami berikan reward dan punishment yang jelas. Selama 2005 kami sudah memberhentikan 55 karyawan. Lalu, pada 2006 ada 60-an karyawan. Mereka memanipulasi uang. Kalau sudah manipulasi uang, berapa pun jumlahnya, kami berhentikan. Itu yang membuat wibawa perusahaan meningkat.

 

Robby Djohan menyebut Anda bankir yang bagus. Komentar Anda?

Beliau salah satu guru saya, dan selalu memberi inspirasi. Kekuatan beliau adalah mengelola kegiatan dalam kondisi krisis. Saya banyak belajar dari dia. Namun, kalau dibilang “orangnya” Robby, saya tak setuju. Nah, kalau ditanya tentang style, saya berusaha menjadi manajer dan leader di budaya Timur. Jadi, profesional di negara Timur.

Advertisement

 

Apa bedanya Timur dengan Barat?

Profesional Barat mempermalukan orang di depan umum, suka berargumentasi dengan keras di depan umum. Kalau di Timur, substansinya tetap harus keras, tetapi penyampaiannya harus santun. Kami respek kepada senior, tetapi tak berarti senior selalu benar. Indonesia perlu pemimpin yang tahu budaya Timur.

 

Contohnya?

Contohnya, dengan santun mampu berkata “tidak” kepada orang yang paling dekat dan pernah menolong kita.

 

***

Agus ikut membidani lahirnya Bank Mandiri pada 1998, sampai akhirnya memutuskan mundur dan menjadi konsultan untuk BPPN. Namun, garis tangan sebagai bankir membawa Agus kembali ke kursi perbankan. Pada 2002 ia diminta menjadi dirut bank hasil merger, Bank Permata. Lalu, pada 2005 ia ditugaskan pemerintah kembali ke Bank Mandiri.

Apa masalah terbesar yang dihadapi Bank Mandiri?

Kredit bermasalah yang Rp28 triliun, 75% sumbangan dari 30 nasabah bermasalah terbesar. Mereka sudah 30–40 tahun merasa nyaman karena selalu memperoleh jalur khusus, kehormatan, sekuritas, akses kepada kekuasaan, dan tak mau tertib menyelesaikan kewajibannya.

 

Pernah stres?

Nggak. Stres itu terjadi apabila kita punya keinginan lebih besar dari kemampuan. Selisih itu namanya stres.

 

Anda termasuk tipe orang yang keras?

Ehm… nggak. Saya anggap kepemimpinan itu amanah, harus menciptakan nilai bagi institusi yang dikelola. Dengan cara seperti itu, kita jadi fokus, tidak punya agenda lain, conflict of position, atau conflict of interest. Jadi, enteng saja.

 

Anda berani mengambil risiko karena kerap menghadapi tantangan cukup berat?

Saya setuju. Waktu di Bank Niaga, saya ditugaskan ke Jawa Timur untuk menangani kondisi bermasalah. Saya juga pernah masuk Bank Bumiputera yang bermasalah. Asuransi Jiwa Bumiputera nyaris kolaps. Bank itu kami perbaiki. Kalau sebelumnya selalu rugi, dalam dua tahun langsung untung. Saya juga pernah di Bank Exim, yang kredit bermasalahnya 65%–70% karena krisis. Nah, waktu dimerger, kondisi ekonomi sedang terpuruk, sehingga sulit sekali. Namun, tim akhirnya bisa menggabungkan menjadi Bank Mandiri dalam waktu tujuh bulan. Padahal, waktu itu konsultan dan pemerintah mengatakan paling tidak memerlukan waktu dua tahun. Mengapa bisa? Sebab, kalau waktu itu menunggu lebih lama lagi, pemerintah tak akan sanggup merekapitalisasi Bank Mandiri karena begitu banyak uang yang harus disetor. Jadi, kami bilang harus cepat.

 

Apa bedanya di bank swasta dengan di bank BUMN?

Kalau di bank swasta, cukup ikut UU Perbankan, UU Perseroan Terbatas, dan Peraturan Bapepam. Di bank pemerintah, kami mesti ikut UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Antikorupsi, dan banyak lainnya.

 

Anda risk taker?

Saya rasa bukan, tapi calculated risk ya. Jadi, kita harus berani mengambil risiko, tapi calculated risk.

 

Apakah menjadi dirut Bank Mandiri sudah cukup sebagai aktualisasi diri, atau Anda berencana ke jenjang yang lebih tinggi lagi?

Oh, saya tidak berorientasi pada langkah apa yang akan datang. Saya lebih pada yang ada, lakukan yang terbaik. Saya yakin, kalau kita sayang dan berdedikasi terhadap pekerjaan, nanti pekerjaan itu yang menyayangi kita.

 

Adakah CEO yang menjadi inspirasi Anda?

Julius Tahija, dulu pemilik Caltex Indonesia dan Bank Niaga. Dia bukan hanya kompeten, tetapi juga bijaksana, etika bisnisnya kuat, nilai-nilai bisnisnya kuat. Kalau businessman di Indonesia seperti Tahija, negara ini bakal maju. Kalau level global, saya pikir Jack Welch. Ada satu budaya di Bank Mandiri yang cocok dengan Jack Welch, yaitu tak pernah ada kata puas. Namun, sebenarnya saya lebih suka menjunjung nilai ketimuran. Jack Welch kalau disuruh menerapkan ilmunya di Indonesia belum tentu bisa.

 

***

Agus lahir di Amsterdam, 24 Januari 1956. Ia dikenal sebagai satu dari tiga bankir senior Indonesia, selain Rudjito (mantan dirut BRI) dan Sigit Pramono (dirut BNI). Sebelum terpilih, Agus dan Sigit adalah kandidat kuat dirut Bank Mandiri. Kini, di pucuk pimpinan Bank Mandiri, Agus kerap merasa kesepian. Namun, itu diterimanya secara sadar sebagai konsekuensi dari jabatannya.

Apa target Anda lima-sepuluh tahun ke depan?

Di Bank Mandiri ada talent management, ada successor planning. Misalnya, setiap saat setiap orang bisa pindah tugas atau diganti, dia harus punya calon pengganti. Kita harus yakin orang-orang di bawah jauh lebih pandai dari kita. Kalau di cerita silat Cina, guru harus menyimpan satu ilmu supaya muridnya tidak lebih pandai dari dia. Kami tidak seperti itu.

 

Merasa kesepian saat menjadi pemimpin?

Saya ini sebagai pemimpin feel lonely. Mengapa? Sebab, saya harus menjaga organisasi berjalan sesuai standar dan peraturan. Saya sebagai pemimpin itu lonely karena harus menjaga tegaknya prinsip-prinsip. Orang yang melakukan kesalahan, meski kita sayang, harus dihukum.

 

Apa pegangan Anda saat mengambil keputusan penting?

Kalau merasa tidak bisa menjalankan tugas, harus dilepas. Tahun 2002, waktu saya tinggalkan Bank Mandiri, asetnya Rp250 triliun. Sebagai direktur, mau apa saja saya tinggal bilang, nanti disiapkan. Akan tetapi, waktu itu saya merasa perlu mencari tantangan baru. Saya menjadi konsultan BPPN. Namun, baru dua bulan di BPPN, saya ditugaskan ke Bank Permata. Di sana ada kasus Bank Bali dengan karyawannya yang melakukan aksi demo ke DPR. Kasus Bank Bali itu sampai membuat presiden jatuh. Lalu, ada kasus Bank Universal dan Prima Express. Saya datang ke sana sebagai direktur utama dan boleh membawa siapa saja sebagai direktur. Namun, saya tidak lakukan. Saya membangun tim. Alhamdulillah, kemajuannya bagus. NPL-nya turun dari 27% menjadi 8% dalam waktu dua tahun. Waktu dijual ke Astra dan Standard Chartered, itu harga tertinggi yang pernah terjadi.

 

Apa hobi Anda untuk mengisi waktu luang?

Membaca, nonton film, dan mendengarkan lagu. Kalau olahraga, saya berenang. Saya ini bankir yang tak bisa main golf dan tenis. Selalu mau belajar golf dan tenis, tetapi belum berhasil juga… hehehe.

 

Anda pernah mengorbankan hobi karena kesibukan?

Saya merasa tak ada yang dikorbankan… hahaha. Saya yakin ini penugasan. Kalau situasinya normal, ya saya bekerja normal. Namun, kalau situasinya abnormal, ya harus bekerja abnormal.### (Rabu, 17 Oktober 2007 00:00 WIB – warta ekonomi.com) e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

 

Tokoh Terkait: Agus Martowardojo, | Kategori: Wawancara | Tags: Wakil Presiden, pmi

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here