
[WAWANCARA] Wawancara Dewi Fortuna Anwar Deputi Sekretariat Wakil Presiden Bidang Politik (1 dari 2) – Untuk satu bangsa yang baru belajar demokrasi, Indonesia sudah menempati kelas berkali-kali. Demokrasi Indonesia sudah jauh dari apa yang dicapai oleh banyak negara. Bahkan oleh beberapa negara Indonesia dijadikan sebagai role model.
Hal itu dikemukakan Deputi Sekretariat Wakil Presiden Bidang Politik Dewi Fortuna Anwar. Ia tidak setuju jika disebutkan proses demokrasi Indonesia saat ini telah kebablasan. Menurutnya demokrasi tidak ada titik untuk berhentinya. Demokrasi adalah proses yang terus menerus yang dipengaruhi kondisi masyarakat itu sendiri dan kondisi regional dan global.
Ia mengatakan, warga negara demokrasi pasti cerewet. “Nggak menerima, kalau ada yang dilihat salah, ditegur. Tapi bukan dia hancurkan. Karena itu milik (rakyat) kok. Gedung DPR itu dibuat oleh duit rakyat. Masa kita hancurkan. Kantor bupati itu duitnya dari rakyat masa dibakar. Karena nanti duit diambil dari APBD lagi. Uang yang harusnya bisa memperbaiki jalan, akhirnya harus dibikin untuk membikin kantor lagi, yang rugi rakyat juga,” kata Dewi Fortuna Anwar kepada wartawan TokohIndonesia.com, Bety Bahagianty dan Bantu Hotsan di Gedung Sekretariat Wakil Presiden Lt. 3, Jl. Kebon Sirih, Jakarta (8/5/2012).
Selain berbicara tentang demokrasi, Dr. Dewi Fortuna Anwar, MA juga memberikan pandangannya tentang posisi politik Indonesia dan peranannya di tingkat regional dan global. Berikut wawancara selengkapnya.
Dilihat dari kacamata politik, bagaimana Anda melihat persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, mulai dari proses demokrasinya sendiri yang sepertinya kebablasan. Bagaimana Anda melihatnya?
Saya kira saya tidak setuju dengan ucapan atau ungkapan demokrasi yang kebablasan. Demokrasi itu tidak pernah ada point (titik) untuk berhentinya. Demokrasi itu adalah proses yang terus menerus dan sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri di dalam dan juga kondisi regional dan global. Jadi tidak pernah bisa statis harus selalu bisa menyesuaikan diri.
Saya percaya dengan semakin baiknya kondisi di dalam negeri, itu akan membantu peranan Indonesia pada tingkat regional dan global. Sekarang saja belum terlalu jauh dalam kemajuan, kita sudah memainkan peran yang cukup terhormat.
Dan Indonesia ini baru mulai belajar demokrasi. Untuk satu bangsa yang baru belajar demokrasi, Indonesia ini sudah menempati kelas berkali-kali. Amerika itu sudah mempraktekkan demokrasi itu sejak tahun 1776 dan itupun belum bisa dikatakan sempurna. Perempuan baru bisa memilih pada pertengahan abad ke 20. Orang kulit hitam baru bisa memilih setelah konflik yang cukup lama dan berdarah-darah juga. Banyak yang bergumul. Presiden kulit hitam pertama Amerika baru sekarang (Presiden Obama).
Kita melihat di negara-negara tetangga kita, ada yang mencoba demokrasi gagal. Kitapun dulu pernah mencoba demokrasi, gagal. Jadi kita masih pada tahap awal. Dan saya kira apa yang sudah kita capai itu, sudah jauh dari apa yang dicapai oleh banyak negara lain dalam waktu yang sama. Tapi perjalanan kita itu masih sangat jauh. Karena di dalam berdemokrasi itu kita tidak hanya cukup membuat undang-undang yang baik, tetapi harus ada kemampuan masyarakat untuk menjalankan undang-undang secara konsisten.
Nah, membuat undang-undang itu relatif mudah. Mengubah institusi, membuat institusi baru itu relatif mudah. Tetapi membangun budaya masyarakat yang akan menghidupi institusi dan undang-undang itu pekerjaan lama. Itu membutuhkan pendidikan bertahun-tahun.
Saya kira ketika dikatakan kebablasan sekarang ini adalah kita sudah membuat undang-undang yang memberi kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul. Sudah membuat institusi yang membagi kekuasaan, tidak ada lagi institusi yang menguasai kekuasaan. Kalau dulu hanya eksekutif, sekarang legislatifnya juga berkuasa, judikatif juga independen, civil society-nya juga sangat mandiri. Tapi budaya dari masyarakat yang menjalankannya itu belum sepenuhnya dapat sama.
Orang Indonesia ini masyarakatnya sangat beragam. Ada orang yang seperti Prof. BJ Habibie yang bisa membuat pesawat terbang yang tidak kalah hebatnya dari scientist terkemuka di dunia, tapi ada juga masyarakatnya masih hidup di jaman batu. Keragaman ini yang menjadi tantangan lebih bagi Indonesia dibandingkan dari masyarakat lain yang lebih homogen.
Jadi saya kira tidak boleh putus asa, tidak boleh mencaci maki sistem yang kita bangun. Kita bisa mengkritisi yang berbuat salah di DPR, tapi jangan sekali-sekali mengkritisi DPR-nya sendiri. Kita boleh mengkiritisi presiden tapi kita jangan mengkiritisi lembaganya. Kalau kita mengkiritisi lembaganya, kita harus melihat apa yang perlu kita perbaiki. Bukan dengan niat untuk menghancurkan tetapi dengan niat untuk memperbaiki. Saya kira itu yang penting.
Dan perjalanan kita ini harus dilakukan bersama-sama. Karena suatu negeri itu terdiri dari negara bangsa. Negara itu dibuat oleh rakyatnya, dia tidak datang dari langit. Tidak ada orang yang dari planet Mars yang membuatkan itu (ha-ha-ha). Itu dibuat.
Anggota DPR itu dipilih oleh rakyat, tapi kalau anggota DPR-nya kualitasnya seperti yang kita pilih sekarang, kita yang memilih atau ikut memilih harus ikut bertanggungjawab.
Jadi ketika kita membangun demokrasi, itu mengharuskan adanya masyarakat yang aktif. Tidak masyarakat yang pasif. Demokrasi itu mengharuskan adanya citizen, warga negara, artinya tahu hak dan kewajibannya. Tahu kewajibannya harus membayar pajak. Tahu kewajibannya harus patuh kepada undang-undang. Tahu haknya berhak memilih pemimpinnya. Berhak mengkritik kalau ada yang salah. Berhak untuk tidak disakiti, berhak untuk tidak dilecehkan dan sebagainya. Dan ini hanya warga negara yang bisa melakukan itu.
Sekarang ini sayang sekali. Karena masyarakat kita masih beragam, masih ada masyarakat kita yang belum tahu tentang haknya sendiri. Bahwa ada misalnya warga kita yang tidak diberikan pelayanan yang baik. Masih nggak berani itu untuk menuntut yang tidak memberikan pelayanan yang tidak baik itu.
Ada misalnya kasus, ketika lobang di jalan, gorong-gorong tidak ditutup, anak jatuh. Itu harusnya kalau (warga) sudah tahu hak warga negara, menuntut walikota. Kenapa ini terjadi, Anda tidak teliti. Karena warga sudah berani menuntut, pemerintahnya itu sendiri tidak berani lagi main-main.
Jadi ini mengubah masyarakat yang nrimo menjadi warga negara yang agak cerewet. Demokrasi itu warga negaranya pasti cerewet. Nggak menerima, kalau ada yang dilihat salah, ditegur. Tapi bukan dia hancurkan. Karena itu milik rakyat kok. Gedung DPR itu dibuat oleh duit rakyat. Masa kita hancurkan. Kantor bupati itu duitnya dari rakyat masa dibakar. Karena nanti duit diambil dari APBD lagi. Uang yang harusnya tadinya bisa memperbaiki jalan, akhirnya harus dibikin untuk membikin kantor lagi, yang rugi rakyat juga.
Jadi sekarang yang perlu kita dorong adalah kesadaran warga itu, kalau dia menyakiti dirinya sendiri, yang rugi dia. Karena yang membayar dari dia juga. Saya kira yang diperlukan adalah tidak hanya pendidikan umum tapi pendidikan politik. Itu tanggungjawab kita semua, nggak mungkin negara melakukan semua itu dan juga tidak boleh negara hanya memberi tanggungjawab, itu adalah hak kita. Untuk membuat diri kita lebih melek terhadap politik itu. Jadi civil society memegang peranan yang sangat besar di dalam hal ini.
Bagaimana Anda melihat posisi politik Indonesia di tingkat regional maupun secara global di masa yang akan datang?
Saya percaya dengan semakin baiknya kondisi di dalam negeri, itu akan membantu peranan Indonesia pada tingkat regional dan global. Sekarang saja belum terlalu jauh dalam kemajuan, kita sudah memainkan peran yang cukup terhormat. Di lingkungan ASEAN saya kira sudah diakui. Ketika Indonesia memainkan kekuatan ASEAN kemarin, itu seluruh masyarakat baik di tingkat regional maupun global menganggap bahwa ini adalah betul-betul peranan yang sangat luar biasa. Belum pernah mereka melihat di dalam ASEAN kepemimpinan yang bisa mentransformasi ASEAN yang tadinya sangat tidak peduli masalah demokrasi dan HAM, tidak terlalu memperhatikan rakyat. Itu bisa sedikit demi sedikit diubah oleh Indonesia. Walaupun tetap ada keterbatasan karena Indonesia bukan negara hegemonik dan tidak punya keinginan untuk menjadi negara hegemonik. Tapi secara konsensus kita berangsur-angsur ke situ.
Dan di dalam demokrasi kita yang masih tertatih-tatih membangun ini, masih jauh lebih baik dari negara-negara tetangga kita. Masih jauh lebih baik dari apa yang dialami di Timur Tengah. Di negara-negara yang saat ini lagi begolak itu banyak yang melihat ke Indonesia, bagaimana caranya untuk membangun. Mereka tentunya tidak melihat ke Inggris atau ke Amerika karena itu terlalu jauh. Mereka melihat ke negara yang hampir serupa dan baru mengalami hal yang sama.
Jadi Indonesia sekarang banyak dijadikan role model. Saya pribadi sudah diundang beberapa kali, saya sudah berbicara di Tunisia, Kairo, Rabat di Maroko, Washington DC, ke forum-forum yang membawa kelompok dari Afrika Utara dan Timur Tengah ini, mereka ingin mendengarkan pengalaman Indonesia dalam bidang ini.
Pada tingkat global, kita sekarang anggota G-20. Posisi kita baru nomor 16, maunya kita kan negara ke empat terbesar di dunia, kita mau ke sana tapi masih jauhlah. Tapi kita sudah berada dalam posisi yang cukup diperhitungkan. Ke depan mudah-mudahan kita bisa 10 besar, itu harapan saya. Dengan kita bisa meningkatkan pembangunan, rakyat kita makin sejahtera, itu akan meningkatkan posisi dan kapasitas kita.
Sekarang ini kita nggak bisa terlalu bermimpi muluk-muluk tentang peranan kita pada tingkat regional dan global. Karena kapasitas kita untuk melakukan peranan itu kan terbatas. Kita misalnya kalau disuruh, kita harus melakukan ini dan itu, pasti nanti akan diperdebatkan. Dari pada uangnya dibawa ke Libya, mendingan ditaruh di Maluku, begitu kan. Daripada jauh-jauh mengurusi orang di Myanmar, ini di NTB kemiskinan belum tertangani. Jadi kita masih menghadapi kendala-kendala seperti itu, jadi saya kira kalau kita masih banyak PR di dalam negeri, itu akan membatasi sejauh mana kita bisa menginvestasikan waktu dan uang kita untuk misi-misi di luar negeri.
Tapi kita juga tidak boleh tidak peduli karena Indonesia sejak awal oleh founding fathers kita sudah diberi tanggung jawab di pembukaan undang-undang dasar kita, ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jadi kita tetap harus punya idealisme, punya tanggung jawab. Cuma bagaimanapun itu tadi harus disesuaikan dengan kemampuan yang kita miliki. Berita wawancara TokohIndonesia.com | san, bety
<==== Sebelumnya 2 dari 2