Dipuja dan Dibenci
I.G.N. Arya Wedakarna
President The Hindu Center of Indonesia ini mulai dikenal sebagai sosok yang kontroversial setelah memprotes sampul novel Dewi Lestari, sampul album Iwan Fals, dan film Sinta Obong yang disutradarai Garin Nugroho karena dianggap melecehkan simbol agama Hindu. Dia juga dipandang radikal dan intoleran karena menolak keras pihak-pihak yang anti-Pancasila dan anti-NKRI serta nilai-nilai asing yang berasal dari luar Bali. Tak heran, bila banyak pihak yang membenci dia.
Arya Wedakarna memiliki nama lengkap yang sangat panjang yakni Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III. Pria kelahiran Denpasar, 23 Agustus 1980 ini terpilih menjadi Senator mewakili Provinsi Bali pada Pemilu 2014 dengan mengantongi 178.934 suara. Perolehan tersebut mengalahkan I Kadek Arimbawa 161.607 suara, Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi 150.288 suara, dan Gede Pasek Suardika 132.887 suara.
Arya Wedakarna menempuh pendidikan SD hingga SMA di kota kelahirannya. Putra dari Shri Wedastera Suyasa dan Suwitri Suyasa ini melanjutkan pendidikan di Melbourne Language Center, Australia tahun 2000. Pada 2002 dia kembali ke Indonesia dan masuk ke Jurusan Manajemen Transportasi Udara di Universitas Trisakti. Pendidikan S-2 dan S-3 dia selesaikan di Universitas Satyagama Jakarta. Dia pernah dinobatkan sebagai Doktor Ilmu Pemerintahan Termuda di Indonesia (saat berusia 27 tahun) dan Rektor Universitas Termuda di Indonesia (saat berusia 28 tahun) oleh Museum Rekor Indonesia (MURI). Ia mengklaim memiliki keahlian dalam bidang transportasi udara dan manajemen pemerintahan.
Saat ini dia menjabat sebagai Rektor Universitas Mahendradatta Bali, yang dikatakannya sebagai universitas tertua di Bali. Universitas itu didirikan oleh ayahnya, Shri Wedastera Suyasa, bersama Presiden Sukarno. Dia juga menjabat sebagai President The Sukarno Center dan President The Hindu Center Indonesia.
Sebagai President The Hindu Center of Indonesia, Wedakarna memiliki program ekonomi Satyagraha, yakni ekonomi Hindu untuk Bali berdaulat. Dalam gerakan itu, dia menolak ekonomi syariah dan moratorium bank syariah di Bali. Selanjutnya, mengedepankan ekonomi adat melalui Lembaga Perkreditan Desa, ekonomi Pancasila melalui Koperasi dan pemberdayaan Bank Perkreditan Rakyat.
Namanya mulai mencuat setelah memprotes sampul novel Dewi Lestari, sampul album Iwan Fals, dan film Sinta Obong yang disutradarai Garin Nugroho karena dianggap melecehkan simbol agama Hindu. Di Pulau Dewata sendiri dia pernah jadi perbincangan publik setelah dia menobatkan dirinya sebagai Raja Majapahit Bali dan mengumumkannya dalam media massa di Pulau Dewata.
Pelan-pelan, Arya Wedakarna makin dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Pada 7 Agustus 2014 melalui akun facebooknya, Arya Wedakarna, menulis status yang menyatakan penolakannya terjadap perbankan syariah di Bali. “Aliansi Hindu Muda Indonesia dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) hari ini berdemonstrasi di depan Kantor Bank Indonesia Denpasar untuk moratorium/stop izin Bank Syariah di pulau seribu pura. Bersuaralah anak-anak muda Hindu. Pertahankan ekonomi Pancasila! Lanjutkan!!!” tulis President World Hindu Youth Organisation (WHYO) itu.
Namanya kembali menjadi perbincangan publik tatkala dia dituduh sebagai provokator penolakan Ustad Abdul Somad yang akan melakukan dakwah di Bali pada Desember 2017. Ustad Somad sebelumnya sempat mendapatkan penolakan dari ormas Bali pada 8 Desember 2017.
Tuduhan mengarah pada Arya Wedakarna karena dalam akun Facebook-nya, Arya menuding Ustad Abdul Somad adalah anti-Pancasila. “Siapa pun boleh datang ke Bali, Pulau Seribu Pura, bahkan Raja Arab Saudi saja tidak masalah datang ke Bali untuk berlibur asal tanpa agenda politik terselubung. Tapi tentu Bali menolak jika ada oknum siapapun yang datang ke Pulau Dewata dengan agenda anti Pancasila. Ngiring kawal NKRI dan Tolak Agenda Khilafah tersosialisasi di Bali,” kata Wedakarna melalui fan page Facebook @dr.aryawedakarna, Jumat (1/12/2017).
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Eddy kemudian melaporkan Arya Wedakarna ke Badan Kehormatan (BK) DPD. Diungkapkan Lukman dalam pelaporan itu karena Arya Wedakarna diduga menjadi otak pelaku atas persekusi yang dialami oleh Abdul Somad di Denpasar, Bali. Dalam pembelaannya, Arya Wedakarna menyebut, penolakan itu merupakan aspirasi masyarakat Bali yang sudah viral di medsos beberapa hari sebelumnya.
Terkait tudingan status-status kontroversial berbau SARA di media sosial, Arya menyatakan status-statusnya tidak pernah menyebut nama oknum, kelompok agama, atau komunitas tertentu. Ia menjelaskan niatnya adalah mendapatkan klarifikasi terkait latar belakang terjadinya penolakan.
“Dalam status Facebook saya, saya tidak pernah menyebut nama oknum, kelompok agama, atau komunitas-komunitas. Justru saya meminta klarifikasi ke semua pihak, kenapa ada penolakan,” ucap Arya. “Sisanya imbauan untuk masyarakat Bali waspada akan bahaya gerakan anti-Pancasila. Bisa jadi itu PKI atau HTI yang sudah dibubarkan atau malah gerakan separatis. Diperiksa saja (media sosialnya), saya tidak pernah menyebut nama oknum atau kelompok,” sambung pengagum Presiden Soekarno ini.
Arya mengisahkan Bali memiliki sejarah kelam, seperti Bom Bali I dan Bom Bali II, ditambah teror ISIS pada 2016. “Bali memiliki sejarah kelam, seperti Bom Bali I dan II, tahun 2016 ada teror ISIS di Buleleng, dan ada beberapa kasus pelecehan pecalang Bali dan kasus pelecehan agama Hindu yang belum tuntas. Sebagai pejabat negara, saya meminta semua waspada, apalagi Bali masih berduka karena erupsi Gunung Agung,” pungkas Arya yang pernah menjadi model cover boy di Majalah Aneka Jakarta pada 1997 ini.
Arya Wedakarna memutuskan kembali bertarung menjadi senator pada Pemilu 2019. Dia mendatangi KPU pada hari pertama, Senin (9/7/2018). Saat itu, ada 5 kandidat yang mendaftar sebagai daftar calon semantara (DCS), termasuk mantan Bupati Badung AA Gde Agung.
Arya Wedakarna mengatakan bahwa dirinya kembali maju ke DPD RI atas dasar semangat keberpihakan terhadap program Presiden Jokowi dengan program Tri Sakti, melalui kamar DPD RI di Senayan. “Tak semua happy dengan mendukung program Presiden Jokowi. Banyak juga ingin jegal program beliau. Pak Jokowi butuh dukungan dari parlemen. Bali sangat berkepentingan agar pemerintahan ini stabil, ekonomi maju, infrastruktur terbangun dan tegas menjaga ideologi Pancasila,” tandas Arya Wedakarna.
Arya Wedakarna juga ingin memperjuangkan revisi UU 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Provinsi Bali, NTB, NTT. Revisi UU 64/1958 ini mendesak dilakukan, karena terkait dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali dari perspektif agama, sosial, budaya, adat istiadat, dan geografis. “Jika revisi berhasil, maka Bali memiliki Undang-undang tersendiri. Artinya tinggal selangkah lagi, sudah 50 persen masalah di Bali akan bisa diselesaikan dari sisi kewenangan, anggaran, kelestarian budaya Bali, dan desa adat,” kata pria yang rajin menggunakan Udeng (ikat kepala khas Hindu Bali) pada saat menjalankan tugas kenegaraan baik dalam negeri maupun luar negeri. Bio TokohIndonesia.com | cid, red