Pelestari Budaya Betawi
Emma Amalia Agus Bisri
[DIREKTORI] Selama puluhan tahun ia konsisten dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi. Dari tangannya lahir Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Persatuan Wanita Betawi (PWB), Ondel-ondel Botho, dan Samcong. Budaya Betawi seperti busana, kesenian hingga kuliner yang sebelumnya hanya tampil di pelosok kampung, sekarang sudah akrab dijumpai di mal dan hotel berbintang.
Emma Amalia dididik dalam lingkungan keluarga Betawi yang harmonis dan berpikiran maju. Ayahnya yang bekerja sebagai pengusaha elektronik adalah seorang nasionalis. Pada masa penjajahan Jepang, ayah Emma bersama beberapa kawannya menjahit Sang Merah Putih secara cuma-cuma untuk dikirim ke seluruh Indonesia. Sementara ibunda Emma berasal dari keluarga mualim yang cukup terpandang dan disegani.
Sejak belia, perempuan kelahiran Jakarta, 24 November 1943 ini sudah tertarik dengan seni dan budaya Betawi. Didikan dan dukungan dari orang tua membuat ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan cinta budaya Betawi. Emma bahkan diberikan modal untuk mengembangkan usaha sesuai dengan minat dan bakatnya.
Anak keenam dari tujuh bersaudara ini mampu membiayai kuliahnya sendiri dari hasil jerih payahnya berbisnis. Di usia 20-an, Emma mulai mengoleksi benda-benda seni Betawi mulai dari kebaya, kain batik, dan perhiasan, yang usianya mencapai puluhan bahkan ratusan tahun.
Emma kerap berburu barang-barang antik ke seluruh pinggiran Jakarta. Untuk kain batik Betawi, ia sampai harus menyambangi kalangan kolektor batik berkebangsaan Belanda. Dari situ ia berhasil mengumpulkan batik produksi rumah mode Van Zuylen dan Met Zellar, yang banyak dipakai kalangan elite Belanda, China, dan pribumi di bumi Betawi pada masa kolonial. Sedikitnya ada ratusan kain batik klasik Betawi yang sudah ia kumpulkan.
Sebagian diantaranya diserahkan kepada Museum Batik agar dapat dikenal dan dipelajari oleh lebih banyak orang. Menurutnya, batik Betawi pada umumnya berbahan dasar kain katun, berwarna cerah dengan lima motif pokok, yaitu pucuk rebung, belah ketupat, kain panjang pagi-sore, Jawa Hokokai, dan karangan bunga. Batik Betawi juga merupakan hasil perpaduan budaya berbagai bangsa, terutama China, Arab, Jawa, dan Eropa. Sementara, perhiasan khas Betawi yang berhasil dihimpunnya, pada umumnya terbuat dari emas, perak, intan, dan berlian.
Kegemarannya mengoleksi benda-benda bernilai seni tinggi tersebut terus bertahan sampai Emma berkeluarga. Suaminya, Agus Bisri, awalnya belum melihat arti penting mengoleksi barang-barang tersebut. Namun belakangan sang suami mendukung Emma sepenuhnya.
Dari sekadar hobi, Emma mulai tergerak untuk lebih serius melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi. Tekad Emma semakin kuat setelah melihat semakin banyak generasi muda yang melupakan akar budayanya dan lebih suka dengan budaya-budaya luar.
Upaya Emma terbagi dalam dua yakni pertama, menjaga eksistensi kebudayaan Betawi yang belum hilang dan kedua, menghidupkan kembali budaya yang sudah hilang dan tidak terawat. Mulai dari upacara lingkaran hidup, khitanan, tata busana, hingga tata boga yang mendukung ritual Betawi, seperti roti buaya dengan berbagai rasa.
Untuk mendapat dukungan yang lebih besar baik berupa dana dan dukungan moral, Emma mendirikan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) sekaligus menjadi ketua umum. Lembaga itu dibentuk pada 22 Juni 1976 dan dikuatkan dengan Akta Notaris Nomor 145 Tanggal 20 Januari 1977 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta Nomor 197 Tahun 1977 Tentang Pengukuhan Berdirinya Lembaga Kebudayaan Betawi. Pembentukan lembaga itu merupakan tindak nyata hasil Pralokakarya Penggalian dan Pengembangan Seni Budaya Betawi yang digelar pada tanggal 16-18 Februari 1976.
Program kerja LKB diantaranya, melaksanakan inventarisasi, klarifikasi, dan evaluasi terhadap nilai-nilai budaya Betawi; memberikan informasi kepada badan-badan, lembaga-lembaga, instansi-instansi, maupun perorangan yang berminat pada kebudayaan Betawi; memberikan perlindungan atas hasil-hasil karya seni budaya Betawi; dan menggalakkan masyarakat agar lebih menghargai nilai-nilai budaya Betawi sebagai salah satu bagian dari budaya bangsa Indonesia.
Kreasi dan inovasi yang dilakukan Emma itu tidak bermaksud untuk menghilangkan hal-hal yang tradisional dan menggantinya dengan kreasi baru yang kontemporer. Ia justru ingin menyampaikan pesan bahwa orang Betawi sebagai makhluk berbudaya juga bebas berekspresi dan berkreasi dalam seni tradisi. Dengan kebebasan itulah, revitalisasi seni budaya Betawi diharapkan berjalan bahkan menguat.
Bersama tokoh masyarakat Betawi, ia kemudian mengarahkan LKB untuk menjadi mitra Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Selama aktif di LKB, Emma juga memperhatikan nasib seniman Betawi yang mayoritas terpinggirkan oleh perkembangan zaman. Ia mengundang para seniman untuk mendengarkan apa yang mereka alami dan rasakan, lalu mengajak sejumlah tokoh Betawi yang bervisi sama untuk membina para seniman itu.
Selain berkiprah di LKB, Emma pernah menjabat sebagai salah satu pemimpin Badan Musyawarah (Bamus) Masyarakat Betawi selama beberapa periode. Badan yang didirikan pada 22 Juni 1982 tersebut merupakan induk dari semua organisasi kebetawian. Dengan adanya Bamus Betawi, Emma bisa berbuat lebih banyak dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi.
Memajukan perempuan Betawi juga tidak luput dari perhatian Emma. Berangkat dari keprihatinan bahwa di antara semua organisasi kebetawian yang ada, tidak ada satu pun organisasi perempuan, maka pada tahun 1982, ia memprakarsai pendirian Persatuan Wanita Betawi (PWB). Organisasi ini ingin membina persatuan dan kesatuan wanita Betawi; mencerdaskan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Betawi pada khususnya; mengangkat harkat dan martabat kaum wanita pada umumnya dan wanita Betawi khususnya; dan membantu Pemerintah dalam memelihara dan mengembangkan seni budaya Betawi yang merupakan salah satu khazanah budaya bangsa.
Kehadiran PWB rupanya mendapat sambutan yang baik sehingga berhasil menggalang kaum perempuan dan tokoh-tokoh penting Betawi untuk mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) Pertama Wanita Betawi pada 25 Maret 1984. Mubes pertama itu kemudian mengukuhkan Emma sebagai Ketua Umum PWB.
Seiring dengan semakin berkembangnya PWB, Emma mulai fokus mengembangkan budaya Betawi lewat jalur beasiswa pendidikan. Melalui Yayasan Sirih Nanas yang didirikannya, ia aktif memberikan beasiswa dan bantuan studi kepada kaum muda sekaligus mengembangkan produk budaya Betawi, khususnya dalam hal busana.
Emma juga membuka butik Betawi yang secara khusus merancang kebaya, batik, serta perhiasan khas Betawi dengan memadukan karakteristik peninggalan leluhur dan interpretasinya sendiri atas busana Betawi. Butik ini juga menjadi sarana untuk memberdayakan kaum perempuan sekaligus turut membangun industri ekonomi kreatif.
Di samping PWB, Emma juga aktif menjadi anggota organisasi perempuan atau yang dipimpin oleh kaum perempuan, seperti Himpunan Pencinta Kain Adati Wastraprema dan Women’s International Club (WIC). Dalam organisasi tersebut, selain aktif memperkenalkan busana tradisional Betawi, khususnya batik, Emma juga aktif mempelajari kain-kain tradisional dari daerah lain.
Ia berpandangan bahwa kebudayaan Betawi tidak dapat diangkat sendiri begitu saja, tetapi harus bersama-sama dengan kebudayaan lain dalam upaya memperkenalkan keberagaman budaya secara nasional. Apalagi ia menyadari bahwa budaya Betawi merupakan hasil akulturasi budaya berbagai bangsa. Itulah sebabnya, dalam bukunya yang berjudul Koleksi Kain Batik Antik Nusantara 1891-1948, Emma tidak hanya mengangkat batik Betawi, tetapi juga kain batik Nusantara.
Agar kebudayaan Betawi semakin dikenal, Emma aktif menyelenggarakan pameran, khususnya batik klasik Betawi, seperti dalam Pameran Tunggal Kain Antik (1996), Pameran Tunggal Kain Antik Bersejarah (2009), dan Pameran Tunggal Wastraprema (2009).
Emma juga terus berupaya menampilkan wajah baru budaya Betawi yang dapat diterima masyarakat dengan membuat Ondel-ondel Botho, sepasang Ondel-ondel yang berparas cantik dan tampan, yang dilengkapi dengan busana tradisional Betawi yang indah. Kreasi Emma itu berbeda dengan ondel-ondel pada umumnya yang berwajah seram, dianggap sebagai penolak bala dan pada umumnya ditakuti oleh anak-anak. Sementara di bidang seni, Emma secara kreatif memadukan Samrah, seni musik khas Betawi yang terancam punah, dengan Keroncong, hingga terciptalah Samcong.
Kreasi dan inovasi yang dilakukan Emma itu tidak bermaksud untuk menghilangkan hal-hal yang tradisional dan menggantinya dengan kreasi baru yang kontemporer. Ia justru ingin menyampaikan pesan bahwa orang Betawi sebagai makhluk berbudaya juga bebas berekspresi dan berkreasi dalam seni tradisi. Dengan kebebasan itulah, revitalisasi seni budaya Betawi diharapkan berjalan bahkan menguat.
Dedikasi Emma sebagai pelestari budaya Betawi bahkan terdengar hingga ke Istana Negara. Ibu Negara Ainun Habibie pernah mengundangnya untuk memperkenalkan budaya Betawi kepada para duta besar. Karena Emma-lah, budaya Betawi bisa masuk istana kepresidenan pada acara coffee morning.
Semua pengetahuan sejarah, ritual dan benda budaya Betawi yang berhasil dikumpulkan oleh Emma disarikan dalam bentuk buku. Beberapa buku itu diantaranya Tata Cara Perkawinan Adat Betawi (2004); Warisan Batavia (2006); Perhiasan Betawi Tempo Dulu (2009); dan Koleksi Kain Batik Antik Nusantara 1891-1948 (2010). Buku-buku ini juga diharapkan bisa menjadi sarana untuk mengubah persepsi negatif terhadap budaya Betawi yang ada di sekolah-sekolah. Emma amat menaruh harapan agar kebudayaan Betawi dapat diterima sebagai bagian dari pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah.
Cita-cita komunitas Betawi mempunyai perkampungan Betawi sebagai tempat bagi konservasi kebudayaan pun terwujud atas prakarsa Emma. Ia mendukung secara total pembangunan perkampungan Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan, tempat berbagai aktivitas kebetawian diadakan.
Rencananya, Emma dan rekan-rekannya ingin membangun Museum Betawi di lokasi perkampungan Betawi itu. Museum itu akan menampilkan koleksinya maupun koleksi para kolektor dan budayawan Betawi agar budaya Betawi semakin dikenal masyarakat luas.
Atas prakarsanya pula, kebudayaan Betawi yang sebelumnya tampil di pelosok kampung, sekarang bisa tampil di mal dan hotel berbintang. Lagu-lagu Betawi sudah diperdengarkan melalui sarana audiovisual, busana Betawi digunakan pegawai hotel, dan kuliner Betawi sudah disajikan baik dalam cita rasa asli maupun hasil modifikasi di berbagai tempat.
Itulah sebabnya, Universitas Indonesia menilai Emma pantas menerima penghargaan Makara Utama Universitas Indonesia bidang Sosial Budaya. Penghargaan yang diberikan langsung oleh Rektor UI, Prof. Dr. der Sos. Gumilar Rusliwa Soemantri pada 18 Februari 2012 itu merupakan penghargaan tertinggi dari Universitas Indonesia yang didedikasikan kepada tokoh yang memberikan kemaslahatan dan menjadi teladan bagi masyarakat, terutama mereka yang dianggap memiliki andil dalam bidang sosial-budaya.
Hj. Emma Amalia Agus Bisrie dinilai konsisten dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Betawi mulai dari upacara tradisi, busana, perhiasan, kesenian, hingga kekayaan kulinernya. Emma juga mensosialisasikan dan memperkenalkan kebudayaan Betawi baik secara lokal, nasional, dan internasional melalui pameran, pertunjukan, kerja sama, pengiriman kesenian Betawi ke luar negeri, serta mengisi acara-acara formal kenegaraan. muli, red