Terpanggil Melayani di Perkantas
Mangapul Sagala
[DIREKTORI] Nama Mangapul Sagala tidak bisa dilepaskan dari sebuah organisasi Kristen antar perguruan tinggi di Indonesia bernama Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas). Lewat organisasi itu, dosen STT IMAN dan STT Reformed Injili ini giat mengerjakan panggilannya sebagai pekabar Injil dan pembina rohani khususnya di kalangan intelektual muda.
Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, M.Th lahir di Bonandolok, Samosir pada 19 Mei 1956. Anak bungsu dari enam bersaudara ini lahir dari pasangan W Sagala dan L Sitanggang. Mangapul dibesarkan tanpa kehadiran figur seorang ayah karena enam belas hari sebelum kelahirannya, ayahnya dipanggil Sang Pencipta. Sepeninggal ayahnya, Mangapul dibesarkan dalam balutan kasih sayang seorang ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai petani dan penenun ulos. Namun kebersamaan dengan ibunya tidaklah lama. Untuk meringankan beban ibunya, abangnya yang paling sulung mengajaknya ke Balige lalu menyekolahkannya hingga masuk perguruan tinggi.
Abangnya yang bekerja sebagai kepala di departemen kehutanan kerap berpindah-pindah tugas. Ketika abangnya pindah tugas dari Balige ke Tanjung Pura, Langkat, Mangapul juga diboyong. Di Balige, Mangapul menyelesaikan pendidikan SMA hingga kelas dua. Pada tahun 1974, menjelang naik kelas tiga, ia pindah ke SMA Negeri 30 Jakarta agar bisa lebih mudah masuk ke Universitas Indonesia. Sebab pada waktu itu, beredar isu bahwa lulusan sekolah dari luar Jakarta atau luar Jawa sulit diterima di Universitas Indonesia (UI).
Sebagai anak yang cerdas, berprestasi dan sering menjadi juara kelas sejak SD hingga SMA, Mangapul memang sudah menyimpan impian untuk masuk ke salah satu universitas bergengsi di Indonesia itu. Setelah melalui serangkaian proses seleksi yang ketat, impian Mangapul itu akhirnya terwujud. Ia diterima di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Metalurgi pada tahun 1975. Boleh dibilang, ia sangat beruntung saat itu, karena ia satu-satunya lulusan SMA Negeri 30 yang berhasil lolos masuk UI.
Meski sering mendapat tawaran untuk menjadi pendeta di luar negeri dengan gaji yang tinggi, Mangapul tetap setia melayani di Perkantas yang dianggapnya sudah seperti rumah sendiri.
Semasa mahasiswa, Mangapul aktif dalam kegiatan pelayanan kampus bernama Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas). Semenjak ikut dalam pelayanan kampus itu, hati Mangapul terombang-ambing antara merampungkan studinya atau terlibat penuh dalam pelayanan rohani. Selama kurang lebih dua tahun, konsentrasinya untuk belajar terpecah dan gairah belajarnyapun semakin tidak menentu. Dalam pikirannya menggelayut sebuah pertanyaan tentang seberapa pentingkah mendapatkan gelar insinyur itu. “Perlu nggak gelar dalam pekerjaan Tuhan. Memangnya Tuhan akan menanyakan kita insinyur apa bukan?” tanya Mangapul saat itu.
Memasuki tahun kedua kuliah, Mangapul sebenarnya sudah tidak ingin lagi menyelesaikan kuliahnya. Apalagi Mangapul selalu bergumul dengan rasa jenuh dan kantuk saat mempelajari ilmu metalurgi. Anehnya, ia merasakan situasi yang berbeda saat membaca Alkitab. Ia merasa antusias dan tidak merasakan kantuk. Berjam-jam membaca Alkitab malah membuatnya bertambah semangat dan segar bugar.
Jawaban atas pergumulannya tentang apakah menyelesaikan kuliah atau fokus ikut pelayanan, akhirnya ia temukan setelah ia bertemu dengan seorang hamba Tuhan bernama dr. Belt. Saat itu, dokter itu menjadi salah satu pembicara utama pada Konferensi Nasional Perkantas. Mangapul kemudian menceritakan pergumulannya dengan dokter itu dan mendapatkan pencerahan bahwa menyelesaikan kuliah sangatlah penting.
Salah satu perkataan dr. Belt yang amat membekas di hati Mangapul adalah, “Don’t think that to do your ministry will more holy then to finish your study (jangan kira mengerjakan pelayananmu, itu lebih suci daripada menyelesaikan studimu)”. Tidak berhenti di situ, dokter Belt kembali melanjutkan nasehatnya, “Kalau kamu drop out, lalu kamu melayani, orang akan berkata, ‘Iya dia drop out sih, pelayanan cuma jadi pelarian, ” kata Mangapul menirukan perkataan dokter itu. “But if you finish your study, you become engineer and yet you reject position, you reject money for your ministry then the people will say, aha, he loves God. That would be a good testimony to all people who listen to you (tetapi bila kamu menyelesaikan kuliah dan memilih menolak semua posisi dan uang demi pelayanan, orang-orang akan melihat bahwa kamu sungguh-sungguh mengasihi Allah dan itu akan menjadi kesaksian bagi orang lain, red)”.
Setelah bertemu dokter itu, Mangapul kembali semangat untuk kuliah. Akhirnya, setelah delapan tahun menempuh perkuliahan dimana dua tahun lamanya ia harus bergumul menyelesaikan skripsi, Mangapul berhasil menyandang gelar insinyur, sebuah gelar yang sangat prestisius saat itu. Meski gelar itu menawarkan pekerjaan bergaji tinggi, Mangapul lebih memilih bekerja sebagai staf di Yayasan Perkantas, tempat ia bertumbuh melayani saat menjadi mahasiswa.
Setelah tujuh tahun bekerja di Perkantas, ia mendapat kesempatan belajar untuk meraih gelar M.Div di Trinity Theological College Singapura tahun 1988-1991. Setelah selesai, ia kembali ke Indonesia. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1998, ia mengambil master theologia (M.Th) di kampus yang sama dan selesai tahun 2000. Lima bulan sekembalinya dari Singapura, pada bulan Oktober, ia mengambil program doktor yang ditawarkan Trinity Theological College.
Meski sering mendapat tawaran untuk menjadi pendeta di luar negeri dengan gaji yang tinggi, Mangapul tetap setia melayani di Perkantas yang dianggapnya sudah seperti rumah sendiri. Di sanalah ia bisa menggenapi panggilan pelayanannya dan terus bertumbuh secara rohani. “Saya kira biasanya Tuhan memimpin kita ke tempat dimana kita dilahirkan, dibesarkan dan merasa di rumah sendiri, ” kata pengagum Jonathan Parapak dan Herlianto, keduanya merupakan insinyur yang menjadi pelayan Tuhan.
Selain membina generasi muda lewat Perkantas, aktif menjadi penulis, pendeta, dan pengajar, Mangapul sedang merintis pengembangan Sekolah Tinggi Theologia Trinity di Parapat, Sumatera Utara yang akan dibuka pertengahan Agustus 2012 ini. Mangapul harus benar-benar mempersiapkan diri secara fisik dan mental karena ia harus menghabiskan waktu belasan jam hanya untuk pulang pergi Jakarta-Parapat bila menjalankan tugasnya sebagai dosen dan rektor di STT itu. mlp, san, bety | Bio TokohIndonesia.com