
[DIREKTORI] Ketua Komisi Nasional PA periode 2010-2014 ini sebelumnya dikenal luas sebagai aktivis buruh. Namun perjumpaannya dengan anak-anak yang kurang mendapat perhatian membuat ia memutar haluan menjadi aktivis sekaligus sahabat anak Indonesia bersama-sama dengan Kak Seto. Perjuangannya berfokus pada pemenuhan dan perlindungan terhadap hak anak.
Arist Merdeka Sirait melewati masa kecilnya di daerah perkebunan Pematang Siantar, Sumatera Utara. Di sana ia tumbuh bersama teman-temannya yang kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan. Banyak di antara mereka yang terpaksa putus sekolah karena terhimpit kemiskinan. Kalau pun mereka sekolah, tidak lebih dari tingkat Sekolah Dasar (SD).
Keadaan itu membuat ayah Arist yang meski saat itu bekerja sebagai penjahit tergerak untuk berbuat sesuatu. Sang ayah, Arist dan teman-temannya berinisiatif membuat sekolah di lingkungan perkebunan itu. Sang ayah menjadi koordinator guru (bukan Kepala Sekolah) yang berusaha mengadakan pendidikan murah untuk anak-anak sekitar.
Setamat SMA, pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Agustus 1960 ini meneruskan kuliah di Jakarta dan aktif di organisasi kampus. Jiwa aktivisnya tersalurkan dengan bergabung di organisasi buruh dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sekitar tahun 1981, Arist terkejut ketika melihat banyak anak putus sekolah yang bekerja di lingkungan kerja berbahaya seperti di industri bahan kimia. Hal itu mendorong ia untuk berbuat sesuatu dengan memberikan pendidikan alternatif bagi anak-anak yang bekerja. Kemudian di tahun 1986, Arist mendirikan yayasan yang bergerak untuk melindungi buruh. Yayasan tersebut memberikan pendidikan bagi pekerja anak yang bekerja dalam situasi buruk. Pada tahun 1987, Arist membentuk Yayasan Komite Pendidikan Anak Kreatif (Kompak) Indonesia. Di yayasan itu, ia juga memberikan berbagai pendidikan alternatif bagi anak yang bekerja, seperti pendidikan toleransi, demokrasi dan baca tulis.
Kiprahnya sebagai aktivis mulai dikenal publik setelah ia bersama Seto Mulyadi (Kak Seto) dan aktivis lainnya mendirikan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 1998. Kehadiran Komnas PA tersebut menjadi bukti nyata peran Indonesia sebagai negara yang telah ikut meratifikasi konvensi PBB tentang hak anak di tahun 1990. Setelah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komnas PA, ia terpilih menjadi Ketua Umum Komnas PA untuk periode 2010-2014 menggantikan Seto Mulyadi yang telah menjabat selama 12 tahun (tiga periode). Arist terpilih secara aklamasi dalam kongres Komnas PA yang digelar di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, 25-27 Mei 2010. Sedangkan Seto Mulyadi diangkat menjadi Ketua Dewan Konsultatif Nasional.
Dalam kongres yang dihadiri 129 orang pengurus lembaga perlindungan anak se-Indonesia itu dilakukan tiga tahap pemilihan pengurus Komnas PA. Tahap pertama adalah pemilihan Ketua Komnas, Komisioner Komnas dan Komisoner Regional. Menurut Aris, komposisi pengurus Komnas PA yang baru lebih didominasi kaum muda. “Dengan komposisi yang baru ini, saya optimistis mampu menekan angka kekerasan terhadap anak di Indonesia,” katanya.
Arist mengatakan bahwa angka kekerasan terhadap anak Indonesia pada 2007 mencapai 1.726 kasus dan meningkat menjadi 1.998 kasus pada 2009. Sekitar 65 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Selain itu, menurut Arist, merujuk data layanan pengaduan masyarakat melalui Hotline Service dalam bentuk pengaduan langsung, telepon, surat menyurat maupun elektronik, Komnas PA menerima 2.386 kasus sepanjang tahun 2011.
Salah satu masalah klasik yang dihadapi anak Indonesia hingga saat ini adalah kepemilikan akta kelahiran. Badan Pusat Statistik 2010 mencatat jumlah anak usia 0-18 tahun di Indonesia sebanyak 79.729.824 orang. Dari jumlah tersebut baru 45 persen bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia yang dinyatakan memiliki akta kelahiran. Ini artinya, ada sekitar 40 juta anak di Indonesia belum mendapat pengakuan dan pemenuhan hak sipilnya.
Ini berarti bahwa setiap bulannya, Komnas PA menerima kurang lebih 200 (dua ratus) pengaduan pelanggaran terhadap hak anak. Angka ini meningkat 98% jika dibandingkan dengan pengaduan masyarakat yang diterima Komnas PA pada tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan.
Dalam laporan pengaduan tersebut, pelanggaran terhadap hak anak tidak semata-mata meningkat pada tingkat kuantitas saja, namun juga semakin kompleks dan beragamnya modus pelanggaran hak anak itu sendiri. Pengaduan hak asuh (khususnya perebutan anak pasca perceraian) misalnya, mendominasi pengaduan sepanjang tahun 2011.
Semakin bertambahnya jumlah pengaduan hak asuh diperkuat oleh data yang dihimpun Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI bahwa di tahun 2010, terdapat 285.184 kasus perceraian. Angka ini tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa 10.019 kasus perceraian dipicu cemburu, 67.891 dipicu masalah ekonomi, 91.041 kasus dipicu ketidakharmonisan dalam keluarga, dan 334 kasus dipicu masalah politik. Sebanyak 59 persen gugatan cerai dilakukan oleh perempuan dan 48 persen perceraian dipicu oleh kasus perselingkuhan, dan selebihnya dipicu oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perceraian ini membuat ratusan ribu anak menjadi korban terpisah dari salah satu orangtuanya.
Untuk menyikapi berbagai masalah yang dihadapi oleh anak itu, Komnas PA telah membuat agenda jangka pendek dan jangka panjang. Agenda jangka pendek adalah melakukan amandemen terhadap produk hukum yang tidak berpihak pada anak. Seperti Undang-undang (UU) Pengadilan Anak serta mendorong lahirnya peraturan daerah (Perda) perlindungan anak di setiap kota dan provinsi. Sedangkan agenda jangka panjang adalah melakukan konsolidasi dan penguatan kelembagaan serta membentuk lembaga perlindungan anak sampai tingkat daerah. Tujuannya, agar bisa merespon secara cepat kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
Setelah satu tahun memimpin Komnas PA, Arist menutup tahun 2011 dengan catatan-catatan yang ditujukan kepada pemerintah, masyarakat dan orangtua dalam menjaga dan melindungi anak Indonesia. Menurut Arist, meningkatnya berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 2011 menunjukkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak anak di Indonesia.
Kegagalan itu dapat dilihat dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat terhadap berbagai bentuk pelanggaran terhadap anak. Selain itu, bentuk-bentuk pelanggarannya pun telah menunjukkan tindakan sadisme. Komnas PA sebagai lembaga independen yang dibentuk oleh masyarakat dan diberi tugas mengupayakan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak Indonesia, sadar betul mempunyai banyak keterbatasan dalam menghadapi berbagai peristiwa dan bentuk pelanggaran terhadap hak anak. Di sisi lain, Komnas PA juga dituntut oleh masyarakat untuk bertindak cepat dan segera dalam menyelesaikan serta memberikan jalan keluar terhadap pengaduan masyarakat tersebut.
Menurut Arist, dalam UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak (PA) setidaknya ada empat hak anak yang harus diperhatikan agar generasi penerus dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Hak pertama adalah hak hidup dengan mendapatkan identitas yang jelas, kebebasan beribadah sesuai dengan agama yang dianut, mendapatkan layanan kesehatan yang baik dan memiliki status kewarganegaraan.
Salah satu masalah klasik yang dihadapi anak Indonesia hingga saat ini adalah kepemilikan akta kelahiran. Badan Pusat Statistik 2010 mencatat jumlah anak usia 0-18 tahun di Indonesia sebanyak 79.729.824 orang. Dari jumlah tersebut baru 45 persen bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia yang dinyatakan memiliki akta kelahiran. Ini artinya, ada sekitar 40 juta anak di Indonesia belum mendapat pengakuan dan pemenuhan hak sipilnya. Padahal, sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 28 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, mendapatkan akta kelahiran merupakan bentuk pengakuan pertama negara terhadap keberadaan seorang anak.
Di sisi lain, fakta menunjukkan, bagi anak yang tidak memiliki akta lahir, keberadaannya sangat rentan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi, praktek-praktek manipulasi terhadap asal-usul anak. Oleh sebab itu, pencatatan kelahiran sangatlah penting dimiliki anak, sebagai bagian integral dari hak kependudukan dan kebebasan sipil.
Menurut Arist, dampak dari lemahnya pelayanan pemerintah dalam pemberian pengakuan atas hak penduduk dan kebebasan sipil, bisa dilihat di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Sebagian besar pelajar SMA yang berada di tiga kecamatan, yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia, justru mengantongi akta kelahiran yang dikeluarkan pemerintah Malaysia. Sementara itu, kurang lebih 32.000 anak yang dilahirkan dari pasangan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di perkebunan sawit di Sabah dan Sarawak tidak mempunyai akta lahir. Akibatnya puluhan ribu anak tidak bisa mendapatkan akses pendidikan.
Berdasarkan pengalaman dan analisis data pengaduan yang dilakukan Komnas PA selama ini dapat disimpulkan bahwa akar munculnya pelanggaran hak anak ini dapat dilihat dari power relation yang timpang. Misalnya relasi antara anak dengan pihak lain yang tidak seimbang, seperti anak dengan orang tua, anak dengan guru, anak dengan temannya, ataupun kebijakan negara yang belum sepenuhnya berpihak kepada anak secara holistik.
Negara sebagai pembuat regulasi dan pemerintah sebagai implementator dalam menjalankan regulasi dan program belum mampu melaksanakan tugasnya seperti yang diamanatkan konstitusi. Sementara masyarakat, bahkan keluarga dan orang tua sebagai pihak terdekat bagi anak justru belum mampu bertanggung jawab terhadap pemenuhan dan perlindungan terhadap hak anak. Ini sama artinya bahwa negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai pilar yang diberikan tanggung jawab dalam pemenuhan dan perlindungan anak telah gagal melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak.
Meski masyarakat dan dan pemerintah dari berbagai tingkatan telah melakukan berbagai layanan dan program untuk memberikan perlindungan terhadap anak, namun faktanya masih sangat banyak anak belum mendapatkan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-haknya yang memadai. Pemerintah sendiri mengakui bahwa hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya yang ada. Keterbatasan ini disertai pula dengan belum adanya sistem manajemen perlindungan anak yang berlaku di Indonesia sehingga program layanan pemenuhan dan perlindungan hak anak berjalan sporadis dan reaksioner.
Kendati banyak disibukkan dengan berbagai kasus yang dialami anak-anak, namun bukan berarti Arist kurang perhatian pada keluarganya. Sebagai suami dari Rostymaline Munthe dan ayah dari Debora, Christine dan Namalo, Arist lebih banyak mendidik dengan cara membangun satu bentuk komunikasi lewat dialog. Misalnya, memberitahu anak bahwa tidak boleh menonton televisi di saat belajar.
Dalam hal ini, Arist memberikan pengertian dan sanksi bila sang anak melanggar. Namun sanksi yang dibuat itu harus datang dari keinginan anak sendiri dan tidak dipaksakan. Ini dimaksudkan agar mereka (anak) tidak merasa sanksi itu sebagai bentuk hukuman tapi lebih pada konsekuensi dari kesepakatan yang telah dibuat bersama. “Intinya, pendidikan pengasuhan harus dialogis komunikatif dan partisipatif,” ujarnya.
Menyoal urusan keluarga, Arist mengatakan bahwa anak-anak harus dibela hak-haknya. Tapi jangan sampai gara-gara sibuk mengurusi anak orang lain, lantas anak sendiri dikesampingkan. Keadilan harus ditegakkan, setidaknya dari rumah sendiri. Baginya, anak adalah sosok yang lemah sehingga tidak bisa membela diri. Karena itulah, mereka rentan dieksploitasi baik secara ekonomi, seksual maupun politik. Selain itu dari sisi teologi, anak merupakan titipan atau anugerah dari Tuhan sehingga harus dilindungi secara maksimal dari segala bentuk tindakan negatif. cid, red | Bio TokohIndonesia.com