Pendiri Grup Barito Pacific

Prajogo Pangestu
 
0
7163
Prajogo Pangestu
Prajogo Pangestu | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Kedekatannya dengan keluarga Cendana di zaman Orde Baru memuluskan jalannya sebagai pengusaha di bidang perkayuan. Lewat kerajaan bisnis Grup Barito Pacific, taipan yang pernah menjadi supir angkutan umum dan penjual ikan asin ini, masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

Prajogo Pangestu dikenal sebagai pengusaha kayu tersukses sebelum krisis ekonomi 1997. Nama pria keturunan Tionghoa ini bahkan masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes pada tahun 2010 bersanding dengan nama-nama pengusaha top lainnya seperti Eka Tjipta Widjaya, pemilik Sinar Mas Group; Martua Sitorus, Raja Minyak Sawit; dan Ciputra, pengusaha properti.

Sebelum berhasil sebagai pengusaha sukses, Prajogo harus meniti jalan terjal dan berliku. Ia lahir pada tahun 1944 di Sungai Betung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, tidak jauh dari Kota Singkawang. Ayahnya bernama Phang Siu On yang bekerja sebagai penyadap getah karet. Penghasilan ayahnya yang pas-pasan membuat Prajogo kecil, hidup dengan kondisi yang serba kekurangan.

Merasa penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi keluarga dari hanya menyadap getah, Phang kemudian alih profesi menjadi tukang jahit di Pasar Sungai Betung. Oleh ayahnya, Prajogo kecil diberi nama Phang Djun Phen, yang dalam mitologi suku Khek (orang Cina di Taiwan) berarti burung besar terbang tinggi menguak awan mendung. Nama tersebut merupakan doa orang tuanya agar suatu saat anak laki-lakinya itu dapat mengatasi mendung kemiskinan keluarga.

Kesulitan ekonomi pada akhirnya membuat Prajogo yang di masa kecilnya akrab disapa A Phen ini hanya mengenyam pendidikan formal hingga tingkat SMP, tepatnya di SMP Nan Hua, sekolah berbahasa Mandarin di Singkawang. Meski putus sekolah, ia tetap bersemangat untuk meraih penghidupan yang lebih baik. Didorong tekad dan keyakinan yang kuat itulah, Prajogo akhirnya hijrah ke Jakarta.

Sayangnya, dewi fortuna belum berpihak kepada Prajogo. Ia gagal merubah nasib di ibukota lantaran tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Prajogo terpaksa memutuskan kembali ke Kalimantan. Di kampung halamannya itulah, ia kemudian mencari nafkah, mulai dari menjadi supir angkutan umum yang melayani trayek Singkawang-Pontianak, hingga akhirnya memberanikan diri untuk memulai usaha kecil-kecilan, berjualan keperluan dapur, bermacam-macam bumbu dan ikan asin.

Pada pertengahan tahun 60-an, ia berkenalan dengan Bong Sun On atau yang lebih dikenal dengan Burhan Uray, seorang pengusaha kayu asal Serawak, Malaysia. Burhan masuk ke Indonesia lewat Pontianak ketika penyelundupan kayu ke Malaysia tengah marak. Ketika itu penebangan hutan besar-besaran masih menganut sistem persil dan petak rakyat sehingga Burhan mendulang keuntungan berlimpah. Namun di sisi lain, sistem tersebut membuat pemerintah kesulitan mengawasi manipulasi jumlah tebangan.

Burhan merekrut Prajogo untuk bekerja di perusahaan miliknya, PT Djajanti Group di tahun 1969. Saat itu ia diserahi tugas mengurus Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di daerah Kalimantan Tengah. Enam tahun berselang, nama Prajogo mulai dikenal orang, saat Burhan Uray memindahkan PT Djajanti dari Pontianak ke Banjarmasin. Setahun kemudian, Burhan menunjuk Prajogo untuk menduduki posisi sebagai General Manager Pabrik Plywood Nusantara di Gresik, Jawa Timur.

Akan tetapi, Prajogo hanya setahun bekerja di perusahaan tersebut. Waktu setahun dirasa cukup baginya untuk merintis bisnis sendiri, apalagi sebelumnya ia sudah banyak belajar seluk-beluk masalah hutan dari para ahli Malaysia yang didatangkan PT Djajanti. Prajogo kemudian membeli perusahaan CV Pacific Lumber Coy, yang ketika itu sedang mengalami kesulitan keuangan akibat turunnya harga kayu log. Modalnya ia peroleh dari pinjaman kredit Bank BRI yang berhasil dilunasinya dalam tempo satu tahun. Perusahaan tersebut sebelumnya milik Obos, pengusaha kayu asal Barito Selatan. Prayogo kemudian mengganti nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific Lumber.

Di tangannya, PT Barito Pacific Lumber semakin berkembang dengan keberhasilannya memperoleh HPH di Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua serta menguasai lahan lebih dari 5.5 Juta Hektare di seluruh Indonesia (setara dengan luas Negara Swiss). Pada dekade 80-an, PT Barito Pacific Lumber mencapai puncak kejayaannya setelah berhasil melakukan ekspansi bisnis hingga memiliki lebih dari 20 anak perusahaan. Kesuksesan perusahaan itu kian meningkat di era 90-an dengan menaungi 120 perusahaan yang bergerak di luar bidang HPH seperti Pabrik Pulp (PT Tanjung Enim Lestari), Petro Kimia, real estate, serta Taman Industri dan Transportasi Laut.

Advertisement

Sejalan dengan kemajuan usahanya, pria yang pernah dijuluki Raja Kayu oleh majalah Far Eastern Economic Review ini semakin mendekatkan diri dengan dinasti Cendana. Jika sebelumnya ia hanya dekat dengan paman dari anak-anak Soeharto, Prajogo mulai mendekati putra-putri presiden bergelar Bapak Pembangunan itu.

Konon, kesuksesan Barito tidak lepas dari HPH gelap yang digarapnya di Kalimantan Timur milik PT Panambangan, pimpinan Soekamdani Sahid Gitosardjono, yang merupakan kerabat dekat Presiden Soeharto. Di era Soeharto, hak pengelolaan hutan memang telah dibagi-bagikan kepada kerabatnya, terutama di kalangan militer. Namun, hak tersebut tidak disertai keseriusan mengelolanya. Dalam banyak kasus, operasi pengelolaan hutan diserahkan kepada orang lain meski sebenarnya melanggar undang-undang. Prajogo diuntungkan oleh sistem tersebut. Ia memang harus bekerja lebih keras dibanding pemilik HPH sebenarnya, namun sekaligus mendapatkan kemudahan karena telah “membantu” kerabat Cendana.

Salah satu kemudahan yang dimaksud adalah menyelundupkan kayu ke Malaysia dengan rekanan lokal. Haji Sulaiman disebut sebagai orang kepercayaan Prajogo untuk mengangkut kayu-kayu selundupan ke Malaysia pada pertengahan 1970-an. Akan tetapi Sulaiman membantah, sembari menyatakan bahwa tudingan tersebut merupakan fitnah. Pendiri klub sepak bola Barito Putera itu memang mengaku sudah berbisnis dengan Prajogo sejak 1976. Ia menjadi kontraktor penarikan kayu-kayu log dari hutan di pedalaman sampai ke Banjarmasin. Menurut pengakuannya, ia memang memiliki usaha penarikan kayu namun operasionalnya hanya ditunjang dengan rakit dan kapal kecil, sedangkan kalau ke Malaysia, itu harus menggunakan kapal besar.

Kedekatannya dengan lingkaran keluarga Cendana membuat sepak terjang Prajogo kala itu tidak tersentuh hukum. Walau demikian, bisnisnya sempat limbung lantaran pemerintah mengeluarkan peraturan melarang ekspor kayu gelondongan pada 1980. Namun, Prajogo cepat mengatasinya dengan membangun perusahaan pengolahan kayu setelah berhasil mendapatkan pinjaman dari Credit Lyonais Bank Prancis sebesar 150 juta franc. Dengan dana itulah, Prajogo membangun pabrik sawmill dan plywood, yang merupakan cikal-bakal Barito Pacific Timber (BPT). Prajogo pun kembali mereguk kesuksesan sebagai produsen dan eksportir plywood terbesar di dunia.

Sejalan dengan kemajuan usahanya, pria yang pernah dijuluki Raja Kayu oleh majalah Far Eastern Economic Review ini semakin mendekatkan diri dengan dinasti Cendana. Jika sebelumnya ia hanya dekat dengan paman dari anak-anak Soeharto, Prajogo mulai mendekati putra-putri presiden bergelar Bapak Pembangunan itu. Pertengahan tahun 80-an, Prajogo berkongsi dengan putri tertua Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau yang akrab disapa Tutut, dalam perusahaan-perusahaan yang bermarkas di Sumatra seperti PT Enim Musi Lestari, Perkebunan Hasil Musi Lestari, dan Gandaerah Hendana.

Pada tahun 1991, keduanya mendirikan perusahaan PT Musi Hutan Persada. Di tahun yang sama, Prajogo bersama Kwok Brothers mendirikan sebuah hotel di Pulau Sentosa, Singapura. Kemudian ia menggandeng perusahaan asal Taiwan untuk bekerja sama mendirikan perusahaan plywood. Sebelum berkongsi dengan Tutut, Prajogo juga menggaet Bambang Trihatmodjo, bos Grup Bimantara, untuk mendirikan pabrik bubur plastik Chandra Asri di Cilegon, Jawa Barat, dan Bank Andromeda pada 1990.

Bersamaan dengan itu, ia masuk ke lingkungan yang paling inti dari kekuasaan Soeharto. Secara personal pun, hubungannya dengan The Smilling General itu kian lekat. Prajogo bahkan kerap terlihat menemani Soeharto bermain golf dengan membawakan tongkatnya. Namun, lantaran kedekatannya dengan keluarga Soeharto itulah, bisnis Prajogo menuai masalah manakala pemimpin Orde Baru itu dipaksa lengser.

Sebagai pengusaha ulung, Prajogo  cukup lihai membaca situasi. Setelah Soeharto kehilangan tajinya, ia beralih mendekati Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Usahanya tak sia-sia, Gus Dur melindungi Prajogo dengan pernyataannya untuk menunda penyidikan terhadap sang konglomerat, dan menyebutnya sebagai aset negara yang telah membuka lapangan kerja dan menambah nilai ekspor. Namun kemudian, posisi Prajogo nampaknya belum cukup aman setelah muncul desakan lebih kuat untuk menuntut para koruptor dan pengusaha ke meja hijau.

Pada Mei 2006, Prajogo kembali tersandung masalah. Ia terlibat perseteruan dengan mantan pemegang saham PT Tripolita, Henry Pribadi. Kasus itu berawal setelah Henry mengadukan Prajogo ke pihak yang berwajib atas tuduhan penipuan jual beli saham PT Chandra Asri senilai US$ 20 juta. Merasa tidak terima, Prajogo kemudian balik mengadukan mantan koleganya itu atas tuduhan pencemaran nama baik.

Selain itu, Prajogo, melalui pengacaranya, Hotman Paris Hutapea juga melaporkan Henry karena telah melakukan pemerasan, laporan palsu, serta melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Atas laporan Henry, Prajogo bahkan sempat ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan, karena dinilai tidak cukup bukti, pihak kepolisian pun menghentikan proses penyidikan dugaan penipuan yang dilakukan Prajogo Pangestu seperti dilaporkan Henry Pribadi.

Tiga tahun setelah kasus tersebut, tepatnya pada 2009, nama Prajogo Pangestu kembali mencuat karena perannya dalam Proyek Menara Jakarta. Ia disebut-sebut menjadi pemegang saham mayoritas pembangunan menara setinggi 558 meter yang pembuatannya menelan dana sekitar Rp 5 triliun itu. Sebelumnya proyek menara Jakarta sudah menjadi buah bibir masyarakat, namun sempat tertunda pengerjaannya karena krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997/1998.

Setelah memasuki usia senja, Prajogo tengah bersiap menyerahkan kepengurusan Grup Barito kepada salah satu putranya, yakni Agus Salim Pangestu. Sebelumnya, Agus menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur Barito Pacific sejak Juni 2002. Meski mendapat kepercayaan untuk mengibarkan kejayaan Barito Grup, namun Agus menekankan bahwa ayahnya masih memegang peranan sebagai Chairman sekaligus Presiden Komisaris. muli, red

Data Singkat
Prajogo Pangestu, Pengusaha, Chairman dan Presiden Komisaris Grup Barito Pacific / Pendiri Grup Barito Pacific | Direktori | Pengusaha, Dirut, bisnis, taipan, komisaris, tionghoa, kayu, cendana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini